
Oleh : M. Rozien Abqoriy
Sebelum ataupun sesudah masuk ke dalam ke dunia akademik, yang sering di istilahkan dengan dibawah atap perguruan tinggi. Kita pastinya sudah tidak asing lagi dengan kalimat kritis, Kritisisme, idealisme dan lain sebagainya. Konteks sederhananya adalah pemuda maupun mahasiswa dirasa memiliki kewajiban penuh untuk memiliki hal-hal tersebut.
Namun sudah benarkah kita menjadi mahasiswa yang kritis? Lalu ketika kita sudah tau, punya dan menyadari, lantas buat apa?
Pertanyaan sederhananya yang perlu direnungi bersama kepada mahasiswa-mahasiswa yang hanya merasa bangga dengan identitas, gelar maupun jabatannya. Namun kenyataannya masih belum bisa memaknai dan menginterpretasikan secara seutuhnya.
Sebagaimana yang sudah kita ketahui, memiliki sikap Kritisisme atau berpikir kritis memungkinkan kita untuk mengevaluasi ke dasar masalah dan menghasilkan solusi kreatif yang relevan. Dengan demikian, bukan hanya menghasilkan ide, berpikir kritis juga memungkinkan kita untuk mengevaluasi ide baru yang didapat, menyeleksi, dan memodifikasinya jika dirasakan perlu.
Descartes pernah menyampaikan dengan istilah “Cogito Ergo Sum” nya, “Aku berfikir, maka aku ada” yang dimaksudkan untuk membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan manusia itu sendiri. Ketika kita maknai secara sederhana sekan-akan dari mahasiswa, jika kita sudah berfikir, maka identitas kita hari ini secara langsung sudah akan cukup diakui.
Namun perlu diberikan pertanyaan lagi, bahwa dalam mengevaluasi ke dasar masalah dan menghasilkan solusi kreatif yang relevan, sudahkah sedemikian mahasiswa hari ini?
Berfikir sejenak, mempertanyakan kepada diri sendiri tentang kenapa berpikir kritis itu penting bagi semua orang ataupun mahasiswa?
Maka dari itu, sebagai mahasiswa harus membiasakan diri untuk berpikir secara kritis agar dapat membuat keputusan yang matang dan bijaksana. Selain itu hal ini dapat menolong, sebab tidak akan mudah terprovokasi dan menelan informasi secara mentah-mentah. Berikan kepada diri sendiri kesempatan untuk selalu membaca banyak hal, termasuk keadaan, yang seakan-akan hanya mau memanfaatkan saja.
Seperti ketika mahasiswa diharapkan oleh berbagai rona cahaya kehidupan dan itu bisa berupa berbagai bentuk, misalnya seperti senior, dosen, temanpun tidak menutup kemungkinan, yang membagikan berbagai rona-rona itu. Sehingga ketika kita tidak bisa mendeskripsikan secara menyeluruh, memakai pandangan secara utuh, maka yang dihasilkan hanyalah kepentingan semu.
Salah satu manfaat berpikir kritis bila difahami adalah kita dapat lebih terbuka terhadap perbedaan pendapat, eksistensi otak kanan dan kiri disatukan dalam sebuah fikiran. Pada saat kamu menerima informasi baru atau mencari solusi tentang masalah yang ada, kamu tetap bisa objektif dengan sumber-sumber pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dimana yang dikedepankan adalah rasionalitasnya bukan emosionalitasnya. Namun masalahnya hari ini, mungkin lebih kepada objektifitas mahasiswa hanya berada pada kalimat “Kritis” tanpa “Implementasi”.
Kemudian juga berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang filsafat, yaitu Ontologi, Epistemologi dan aksiologi. Dimana dalam menumbuhkan Kritisisme yaitu melalui rasionalitas dan menyanggah empirisme. Meminimalisir kekurangan tentang memaknai, batas-batas yang akan dilewati seperti apa, serta output apa yang akan diberikan sebagain tanda bahwa kita pernah berfikir.
Menurut hegel dalam teorinya terdapat dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan. Dan juga yang dimaksudkan dialektika dari hegel merupakan penalarannya di bidang sosial yang terdiri atas tesis (pengiyaan), antithesis (pertentangan), sintesis (penyusunan) atau pergerakan dinamis menuju perubahan untuk digunakan dalam menggambarkan metode argumen filosofis yang melibatkan semacam proses yang bertentangan antara pihak yang berlawanan, analogi kritis dari hegel.
Berfikir ataupun kritis itu tidak jauh berbeda. Namun jika hanya berfikir sekedar berfikir, maka hewan juga berfikir melalui istilah lain yaitu instingnya, atau hidup hanya sekedar hidup maka apa bedanya dengan hewan yang juga berkehidupan, makan dan minum. Beberapa filsuf terdahulu juga pernah mengistilahkan bahwa “manusia adalah hewan yang berfikir” yang merupakan keistimewaan seorang manusia yang perlu direnungi lagi.
Dan kritis itu merupakan dinamika kehidupan yang memiliki posisi sebagai instrumen kehidupan yang tidak hanya berfokus pada masyarakat akademik. Kemudian dalam setiap cerita kehidupan selalu tidak lepas dari alur kehidupan sosial yang terdapat Kritisisme tersebut.
#Penulis Merupakan Mahasiswa KPI dan Kader HMI Komisariat Insan Cita IAIN Madura