
Oleh: Khorus Sodikin ( Dosen IAINATA Sampang dan Advokat )
Setiap manusia, oleh tuhan diberi anugrah terbesar untuk menempa diri dalam setiap langkahnya yaitu hati dan otak. Hati berfungsi untuk merasa sedangkan akal memiliki fungsi untuk memikirkan apa yang dirasakan oleh hati, keduanya akan dan harus senantiasa bersinergi dalam menentukan nasib menuju nasab kedukaan diri sebagai manusia.
Kedigdayaan yang dimaksudkan ialah harkat dan martabat diri di mata tuhan dan sedikit prosentasenya dalam lingkup penilaian manusia, sebab tuhan merupakan harapan paripurna, sedangkan manusia hanya harapan yang bersifat limitatif yang mana di dalam diri manusia harus ada nilai timbal balik, dalam istilah pribahasa balas Budi yang tidak akan pernah terelakkan.
Nah, dengan begitu setiap kita manusia khususnya yang berkebangsaan negara Indonesia, harus senantiasa meninggikan nilai-nilai dasar yaitu Pancasila, manusia yang berpancasila ialah manusia yang memiliki kesadaran dan keyakinan tentang adanya tuhan dalam faham masing-masing. Baik itu keyakinan monotheisme, trinitas dan lain sebagainya dan tidak dibenarkan bangsa yang anti tuhan atau atheisme untuk hidup di negara Indonesia.
Dengan begitu, yang beragama diwajibkan untuk mempertahankan keyakinan tertingginya sehingga agama di isyaratkan baginya sebagai candu yang tidak boleh untuk di buat hambar lebih-lebih digadaikan demi kepentingan kelompok, individu apalagi kepentingan perut. Karena hanya dengan beragamalah keseimbangan akan senantiasa antara manusia dan manusia, manusia dan alam, sebab agama hanya memiliki cita luhur yaitu untuk memberikan perdamaian dan kedamaian abadi. Dengan meninggikan nilai-nilai kemanusiaan,kebebasan dalam permusyawaratan (demokrasi) dan peninggian terhadap cita luhur pendahulu yaitu tidak menafikan jasa-jasa manusia terdahulu, sehingga manusia yang beragama tentu akan lebih membuka diri, tidak kaku dan anti terhadap keberadaan perbedaan yang pada hakikatnya perbedaan merupakan Rahmat.
Nilai-nilai agama yang disebutkan di atas. Merupakan nilai diperuntukkan pada pengabdian untuk saling membangun peradaban yang beradab yang bukan mengarahkan pada kebiadaban, sebab yang biadab bukanlah agama tapi itu adalah kefasikan atau pengingkaran terhadap kebenaran adanya keterbatasan antara diri kita sebagai manusia.
Yang begitu miris yaitu adanya demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadikan agama sebagai alas kepentingan demi mendongkrak popularitasnya dan naudzubillah bahkan hanya dijadikan alat untuk membuat saudara sesama manusia dan sesama muslim saling menjerumuskan pada kehinaan, dewasa ini sudah bukan hal yang populer ketika menasuki masa-masa kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat dan memilih calon pemimpin, agama dijadikan sebagai underbow, benar Noer Kholis Majid menyatakan pada masanya “Islam yes partai Islam No”.
Berangkat dari pernyataan cak Nur, bilamana kita renungkan pada masa ini, mohon maaf bukan dalam rangka ingin mendiskreditkan salah satu partai yang mengusung azaz Islam pada tubuh partainya, akan tetapi mengingat gejolak yang terjadi pada era demokrasi ternyata masih belum bisa mewujudkan semangat agama Islam, yaitu agama yang mengedepankan akhlak dan Rahmad (cinta dan perdamaian). Dan juga masih belum mampu menjadi penyeimbang sebagai mana tugas umat yang pertengahan (ummatan wasyathan). Tapi sebaliknya dalam masa demokrasi lebih melancarkan fitnah (hoax) dan ini bukan dalam koridor pernyataan yang hanya mengarah pada yang berasaskan Islam tapi lebih pada wilayah ummatan wasyathan.
Begitupun kita selaku manusia yang sadar akan peran kita sebagai mahluk yang berakal dan berperasaan seyogyanya diri kita yang tidak menjadi manusia fasik akan adanya suatu perilaku yang mengarah pada kerusakan, akan tetapi far’dhu a’in bagi diri kita untuk ikut ambil peran untuk menuntaskan cita kemanusiaan agar terhentinya pola Khabar agama yang hanya mengarah pada kepentingan kelompok yang cendrung mengarah demi mendulang simpati dan dukungan untuk menindas dan menjatuhkan lawan kontestasinya.