Beranda Opini Anies, Ganjar dan Prabowo, Dimanakah Ulama?

Anies, Ganjar dan Prabowo, Dimanakah Ulama?

0

Oleh : Ponirin Mika*

Pemilihan Presiden (Pilpres) telah di depan mata. Rakyat Indonesia akan disuguhi kembali hajat 5 tahunan ini. Hampir seluruh media massa dihiasi para kandidat calon, baik di televisi, koran, majalah dan media-media lainnya. Hingga saat ini, telah ada tiga kandidat yang diusung oleh partai politik (parpol), di antaranya Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Mereka tengah mengambil start lebih awal untuk menjual dirinya. Pertarungan ide dan gagasan telah mereka suguhkan di berbagai kesempatan. Namun apakah rakyat akan membelinya?. Ini persoalan yang harus segera di-clear-kan, tentu membutuhkan riset yang ampuh.

Ketiga kandidat itu masih melakukan safari politik dengan mengunjungi elemen-elemen politik yang bisa meraup suara. Ada yang mendekati ulama, kiai, ustaz dan tokoh lintas organisasi, ada pula yang turun menyapa rakyat. Pendekatan politik dengan berbagai macam cara tak lepas dari pekerjaan saban hari ketiga kandidat. Namanya politik, tak sejuk kalau tidak ada bumbu-bumbu sebagai pemanis dan pengasin dari permainan politik. Sehingga, sangat wajar apabila rakyat disuguhi dengan tontonan politik yang terkadang menggelikan.

Partai politik sebagai pengusung dari tiga calon kandidat presiden ini, mendesain komunikasi politik dengan melakukan citra positif dengan memuji dan mengunggulkan potensi yang dimiliki. Para pendukungnya pun menyambut para kandidat bak seorang pahlawan, dan bahkan nabi. Desain yang menghipnotis kalangan masyarakat Indonesia telah berhasil, meskipun itu hanya sekadar lipstik untuk mempercantik wajahnya di permukaan. Melihat ketiga calon itu, saya tidak menemukan sosok ulama. Padahal, pemimpin dari kalangan ulama adalah salah satu harapan masyarakat Indonesia, terlebih rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi ilmu dan ulama.

Dimanakah Ulama?

Keberadaan ulama tidak boleh hanya menjadi supporting para politisi. Ia harus menjaga marwahnya sebagai orang berilmu yang memiliki tugas untuk menjaga bangsa dan negara. Tugas ulama sebagai pewaris nabi bukan hanya sebagai pengisi ruang-ruang pengajian semata, melainkan harus hadir di tengah-tengah problematika kebangsaan melalui jalur politik. Terjun pada politik tidak dimaknai harus menjadi calon dewan, presiden, dan bahkan pimpinan-pimpinan di lembaga negara dan pemerintahan. Ulama memiliki tanggung jawab untuk mengontrol budaya yang kurang baik dari sisi apapun.

Jika ulama dijadikan sebagai alat politik oleh oligarki untuk memuluskan misinya, ini sebuah kecelakaan yang sangat dahsyat. Di situasi di mana rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintah, kehadiran ulama seyogyanya menjadi jawaban yang menyejukkan bagi rakyat. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menyampaikan, sebaik-baiknya pemerintah adalah mereka yang datang menemui ulama. Dan seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang datang menemui pemerintah/penguasa yang zalim. Pesan ini disampaikan agar ulama lebih mulia daripada penguasa.

Magnet ulama mendekati pemilu raya sangat nampak sekali. Tak sedikit para politisi berkunjung ke pondok pesantren, bahkan pula berkunjung ke kediamannya untuk meminta doa barokah. Lebih dari itu, meminta dukungan politik dan moral agar misi politiknya tercapai.

Saya memiliki harapan, ulama jangan sampai menjadi kaki politisi. Tapi mampu memberikan masukan-nasehat-dan bimbingan pada politisi. Ini tugas yang berat dan mungkin “sebagian” politisi tidak terlalu menyukainya. Politisi yang menyukai nasehat ulama itulah yang disebut oleh Imam Ghazali sebagai politisi yang baik. Sebaliknya, politisi yang anti terhadap nasehat ulama merupakan politisi abal-abal yang tidak akan mampu memikul tanggung jawab yang diamanahkan oleh para ulama.

Kembali pada tiga kandidat calon presiden (capres) di atas. Akan berlabuh untuk mendukung pada siapa ulama yang ada di Indonesia?. Mungkin juga perkumpulan ulama (ijtima’ ulama) perlu digagas untuk menentukan arah politiknya. Ijtihad dari para ulama akan menemukan kandidat yang terbaik. Bisa jadi calon presiden yang diusulkan bukan ketiga calon itu. Ini menarik kita tunggu.

Indonesia Bukan Negara Sekuler

Sebagai bangsa yang mempercayai agama. Sebuah keniscayaan para ulama ikut menjaga marwah agama dari gerombolan politisi, yang hanya pintar mengisap kekayaan bumi Pertiwi. Pada satu sisi tidak memikirkan nasib rakyat yang melarat. Jikalau mengikuti perjuangan nabi sejak dari nabi Adam hingga nabi Muhammad, para beliau memperjuangkan nasib rakyat dari segala penindasan dan ketidakadilan. Memisahkan negara dan agama, sama halnya menginginkan membiarkan kekafiran. Kafir yang saya maksud bukanlah kafir yang bermakna leterlek. Oleh sebab itu, Ulama ataupun para kiai harus menolak permapinan politik yang semata-mata menjadikan nya sebagai komoditas politik.

Sebaiknya, masyarakat yakin bahwa dengan memberikan mandat kepada ulama dalam memainkan politiknya, negara akan aman, masyarakat akan makmur, damai dan sejahtera. Sebaliknya, jika mandat itu dibebankan kepada orang yang tidak paham agama, maka praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi semakin menjamur. Bangsa akan menjerit kembali. Bagi saya, semakin banyak tokoh agama yang mengambil peran dalam menjalankan politik, baik di legislatif, yudikatif, dan eksekutif, maka akan membawa dampak yang lebih positif. Para pemuka agama baik Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan lainnya, jika sudah bersatu dalam meramaikan politik aktif akan membawa kemaslahatan yang lebih besar. Wallahu’alam.

*) Penulis merupakan Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Critical Social Research.

Tinggalkan Balasan