
Oleh : A. Ansori *
YAKUSA.ID, OPINI – Pendidikan dianggap sukses apabila melahirkan seorang tokoh, pemikir, atau inovator. Idealnya begitu.
Nurani para pakar pendidikan menginginkan pendidikan bisa memanusiakan manusia. Kenyataannya, pendidikan adalah gudang untuk pekerja adalah alasan lain. Yang terakhir ini menjadi sorotan ahli pendidikan.
Karena dalam pendidikan tidak hanya bicara soal sistem mengelola langkah-langkah pembelajaran, maka siswa adalah prioritas dan subjek yang harus disoroti paling utama. Sebab pendidikan yang sukses apabila siswanya aktif. Yang perlu digarisbawahi adalah aktif secara psikomotorik dan kognitif.
Jadi, Bagaimana caranya siswa aktif?
Hipotesa pertama, Siswa akan aktif apabila pembelajarannya menarik. Rata-rata guru memahami seperti itu. Entah pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran dengan permainan, inquiry dan iquiry terbimbing, karya wisata atau resitasi.
Kurikulum berganti seiring dengan pergantian pemerintah. Pendidikan mesti punya pegangan berupa falsafah pendidikan. Pergantian kurikulum akan berdampak kepada cara belajar dan pembelajaran. Bagaimanapun, tujuannya tetap baik. Harapannya pergantian kurikulum bukan berarti pergantian tujuan pendidikan. Sebab, siswa adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa, agama dan negara.
Dengan pergantian Kurikulum apakah pembelajaran akan berganti? Kenyataannya berganti. Langkah-langkah pembelajaran berubah, yang semula menggunakan pendekatan guru ke pendekatan siswa, lalu Pembelajaran di K 13 yang berbeda dengan KTSP. Karena itu, kurikulum berubah maka otomatis pembelajaran berubah.
Pada hal-hal kecil dari pembelajaran misalnya teknik. Antara satu teknik dengan teknik pembelajaran yang lainnya berbeda. Pada umumnya, pembelajaran dan langkah-langkahnya akan menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Tentu, dengan harapan siswa bisa memperoleh pesan yang kita sampaikan.
Pendekatan guru mungkin dirasa tidak sesuai kebutuhan siswa. Siswa akan lebih cepat mengantuk apabila mendengar ceramah. Teknik ini merupakan teknik lama. Tetapi, kurang efektif. Ia bisa saja efektif digunakan ketika siswa mendengarkan cerita keteladanan nabi, tokoh maupun ajaran agama yang membutuhkan tehnik ceramah.
Banyak guru yang menggeluti kurikulum 2013 sudah mulai meninggalkan teknik ini. Mungkin hanya sebagian kecil seperti saar upacara bendera setiap hari senin. Pembina tidak mungkin menggunakan teknik inquiry terbimbing atau discovery learning.
Hipotesa kedua, agar siswa aktif, guru bisa saja menggunakan asesmen diagnostik kognitif dan non kognitif. Lazimnya, berdasarkan pengalaman penulis saat mengajar di kelas, siswa akan bertanya dan bergurau jika pembelajaran tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka. Penggunaan teknik tertentu dengan asesmen diagnostik kognitif dan non kognitif bisa memungkinkan siswa belajar dengan aktif.
Pada awal pembelajaran asesmen diagnostik kognitif dan non kognitif bisa dilakukan dengan cara menanyakan materi sebelumnya. Sebagai seorang guru, penulis mengawali pembelajaran dengan menghubungkan materi dengan kehidupan di rumah siswa. Misalnya, menanyakan sejauh mana materi yang mereka pahami. Asesmen kognitif harus dilakukan juga setelah pembelajaran selesai.
Kita tidak mungkin mengajar siswa dengan kematangan materi, sedangkan siswa tidak paham apa yang kita ajarkan. Asesmen di awal sebagai cek kesiapan. Asesmen di akhir pembelajaran sebagai cek seberapa jauh mereka paham akan materi.
Karena pendekatakan di K 13 adalah pendekatan murid, maka untuk melengkapi asesmen di atas, guru bisa menggunakan inquiry. Inquiry mungkin akan berhasil apabila siswa diberikan penjelasan langkah-langkahnya serta apa saja yang dilakukan selama satu pertemuan oleh guru dan siswa.
Siswa di sekolah dasar lebih membutuhkan bimbingan. Guru harus membimbing mereka. Meskipun sekali-kali melepas mereka untuk diarahkan seperti langkah-langkah pembelajaran sesuai RPP. Pendekatan saintifik yang memuat mengamati, menanya, mencari informasi, mengorganisasi informasi, mengomunikasikan harus benar -benar dibuat sedemikian rupa dengan keadaan siswa. Karena siswa akan tetap seperti biasa. Kurang begitu aktif apabila tidak disesuaikan dengan mereka.
Teknik ini mungkin akan terasa ketika siswa mulai bertanya dengan kritis. Mungkin, hanya beberapa saja yang bertanya kritis. Dalam hal ini, teknik yang digunakan tidak mesti satu macam, karena RPP sudah menjadi keharusan bagi guru. RPP menjadi pegangan ketika mau mengajar. Guru harus benar-benar menyiapkan materi dan model pembelajaran yang akan digunakan.
Selain teknik diatas, menggunakan teknik permainan bisa menjadi selingan dalam pembelajaran. Sebab, jika kita menghadapi anak di bangku sekolah dasar maka pikiran mereka akan menjadikan permainan sebagai hal yang paling utama.
Sebagai contoh di kelas 3 sekolah dasar, siswa-siswinya sangat aktif secara psikomotorik. Guru yang jengkel akan memberikan mereka julukan ulat bulu. Istimewanya, mereka memang aktif secara psikomotorik. Ini modal untuk mengembangkan kecerdasan kinestetik ( sila baca mengenai kinestetik).
Mustahil rasanya, materi yang kita sampaikan akan diterima oleh mereka. Tehnik memang berperan disini. Tapi, metode pembelajaran dengan permainan rasanya lebih diterima. Karenanya, kita mesti menerima metode permainan sebagai sebuah kemestian dalam pembelajaran.
Ada yang mengatakan, jika siswa-siswi sudah ribut kita mesti ajak mereka main. Pembelajaran akan kembali terfokus. Kapan menyiapkan permainan? Waktu yang lowong kita siapkan untuk persiapan metode permainan.
Tujuan kita mengajar sudah terpampang jelas di tujuan pembelajaran. Sebagai hasil dan proses, tujuan itu mesti dicapai dengan berbagai cara.
Kita fokusnya pada siswa agar mereka mencapai kompetensi- kompetensi yang telah diatur oleh pemerintah. Mencapai kompetensi bisa juga dengan berbagai metode dan tehnik. Guru mungkin sebagai fasilitator. John dewey menganggap model pembelajaran yang tidak demokratis atau dengan pendekatan guru semata, pembelajaran seperti ini tidak sesuai dengan kebutuhan warga negara yang demokratis.
John dewey dalam beberapa hal memang tidak sepakat dengan model sekolah tradisional. Sekolah yang pelajarannya diatur sedemekian rupa tanpa memperhatikan pengalaman tertentu dari siswa. Kita hanya mencoba bagaimana kurikulum merdeka lebih memuaskan hasilnya daripada kurikulum 2013.
Penggunaan RPP atau modul ajar diferensiasi memungkinkan semua siswa mendapatkan jatah materi sesuai tingkat pemahaman dan pengalaman mereka. Harapannya, tidak ada siswa yang tertinggal dalam pelajaran.
Adalah benar, jika ada pemilahan siswa yang kurang paham dan sudah paham. Kurang paham akan materi adalah satu faktor yang membuat siswa tidak aktif. Selain memang penggunaan tehnik yang kurang relevan dan tidak efektif.
Pembelajaran efektif apabila siswa aktif secara kognitif dan psikomotorik ( dalam kata kerja operasional bloom psikomotorik ditandai dengan P 1 sampai P 5 ). Karena itu, model pembelajaran mesti tersusun rapi, relevan dan menyenangkan.
Bukankah sebuah kebanggaan apabila siswa bertanya sesuai materi yang hal itu membutuhkan sumber pembelajaran yang lebih banyak lagi? Selain mengajar, guru mesti belajar.
*Penulis adalah Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Pamekasan