
![]() |
Buku Laut Bercerita, Karya Laeila S. chudori. (Foto: Tempo.co) |
Oleh: Hasiyah Universitas Madura
(aacintasastra17@gmail.com)
Mengupas tuntas makna aktivis dalam buku Laut Bercerita Karya Laeila S. Chudori
Hidup di era orde baru, betapa sangat mengerikan, semua pemikiran manusia dituntut untuk sama. Jika memiliki pemikiran yang berbeda bisa-bisa dibrendel, seperti media masa yang menyuarakan perbedaan pada masa itu, atau lebih dari pada itu semua. Bisa diculik, dihilangkan dengan berbagai cara, manusia seolah tidak memiliki nilai jika tidak memiliki pemikiran yang sama atau sejalan. Entah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana para aktivis menyuarakan revormasi kala itu. Ngeri..!
Itu yang menjadi tema laut bercerita, penulis novel ini membawa kita menyusuri masa Orba, merasakan bagaimana rezim Soeharto memerintah, menyelami pikiran mereka yang berusaha mendobrak, dan ikut mengenang mereka yang dihilangkan.
Laut Bercerita bagi saya tidak hanya cerita fiktif yang menjual, buku ini membuka tabir sejarah bagsa kita yang dibuat tidak seharusnya. Membaca buku ini saya mendapat banyak pengetahuan bagaimana penyiksaan kala itu yang dijatuhkan kepada Mahasiswa bernama Laut, adegan penyiksaan yang terasa nyata, membuat pinggul, engsel saya ikut merasa nyilu. Saya sempat tidak kuat membaca buku ini, adegannya terlau kejam da keji untuk penyiksaan manusia. Saya tidak sanggup membayangkan sakit dan penderitaan yang diderita oleh anggota keluarga yang dihilangkan tanpa tahu di mana dalam novel ini. Terutama Ayahnya Biru laut, saya merasakan keterpurukan yang teramat mendalam. Anak lanangnya hilang entah kemana dan tidak tahu apa yang terjadi, bagaimana ia disekap dan disiksa. Ayahnya kehilangan bertahun-tahun tanpa kepastian kapan akan ditemukannya. Membaca buku Laut bercerita membua saya membuka mata lebar-lebar bagaimana perjuagan aktivis melawan rezim penguasa kala itu, mereka tidak hanya mengorbankan kenyamanan hidup, keluarga bahkan nyawa mereka. Saya merasa tertampar melihat keadaan mereka dan menyayangkan teman-teman yang lantang mengaku aktivis hanya karena berani mendemo Universitasnya sendiri tanpa etika, mendemo Dosen tanpa tahu mikanisme demonstran, sok menjadi orator ulung tanpa melakukan audensi. Nama aktivis di ranah mahasiswa sekarang hanya sebatas nyaring bunyi, menganggap orang yang bolos kuliah karena kepentingan organisasinya itu adalah aktivis sejati, berani menatang pendapat Dosen seolah paling memahami teori tanpa tahu adab adalah keberhasilan, naik ke atas Mobil yang penuh Sound System dan lantang mengatakan “Hidup Mahasiswa” adalah keberanian melawan retorika publik. Padahal jauh dari kata itu. aktivis adalah orang yang tuntas secara materi (Di kampus) biar ketika melakukan aksi atau demontrasi tidak hanya eksis dan selfi. Serta mampu memberikan solusi. Seperti yang dilakukan oleh Tokoh Biru Laut yang mendiskusikan buku secara diam-diam di kontrakan yang sepi penuh semak-semak, karena kalau diskusi di tempat yang terbuka ia akan ditangkap dan di siksa, buku-buku waktu ia dibatasi. Sekarang? Akses buku ditemukan di mana-mana, tapi apa kabar orang yang lantang mengaku aktivis? Mereka bukan membaca buku dan diskusi, melainkan main game online. Dalih-dalih ngopi (Ngobrol Pintar) ajakan untuk ngopi demikian terlalu bombastis bagi saya. Buku Laut bercerita membuka tabir siapa aktivis sebenarnya. Leila sangat mahir memilih diksi sehingga kisah kelam masa lalu seperti hidup kembali.
Biru laut ditangkap, disekap entah di mana, matanya ditutup, tangannya diikat di belakang punggugnya, ia ditahan dan bertemu dengan teman seperjuangannya, aktivis yang sudah beberapa hari disiksa oleh rezim penguasa ada Alex, Sunu, Nuratama dan kawan lainnya. Dan diintrogasi habis-habisan jika tidak bebicara mereka akan disiksa lebih kejam, tetesan lelahan lilin akan mendarat di badan mereka. Hingga tiba pada giliran Biru laut untuk di siksa, matanya kembali ditutup, mulutnya ditutup dengan kain apek hingga susah bernafas, tangannya diikat, hanya telinga yang mendengar mobil melaju, mesin perahu lalu deru ombak yang kuat, ia menuju laut. Dia dibuang kelaut. Dia mengatakan dalam hatinya ketika tubuh tak memiliki daya upaya untuk melakukan apapun.
“Matilah engkau mati, engkau akan lahir berkali-kali”