Beranda Opini Bersama Dalam Kesunyian

Bersama Dalam Kesunyian

0

Oleh: Nasrul Pradana

Virus Corona

Entah bagaimana awal kemunculannya, tiba-tiba virus corona meneror dunia hari-hari ini. Sejak mencuat beritanya sekitar bulan November atau Desember 2019 di sebuah provinsi RRT, sekonyong-konyong sudah menyebar di 202 negara dan dinyatakan lebih dari 500.000 orang sudah dikonfirmasi positif terpapar virus tersebut dengan jumlah kematian lebih dari 20.000 jiwa. virus itu melompat di antara orang-orang yang berhubungan sangat dekat satu sama lain. Virus ini menyebar ketika orang yang terinfeksi tersebut bersin atau batuk atau mungkin virus-virus terdapat pada tetesan kecil pada lendir, liur orang yang terinfeksi yang jatuh ke permukaan, seperti meja atau gagang pintu, dan jika ada seseorang menyentuh permukaan itu dan kemudian menyentuh mata, mulut atau hidung mereka, mereka juga bisa terinfeksi. Otoritas RRT mengatakan bahwa mereka melihat kasus dimana orang yang terinfeksi virus tersebut menularkan kepada orang lain sebelum mereka mulai menunjukkan gejala bahwa ia terinfeksi virus tersebut. Pada intinya virus ini bergerak cepat di seluruh dunia hanya dalam waktu yang sangat singkat.

WHO menyebutkan penyakit yang disebabkan oleh virus corona sebagai COVID-19 – “co” dan “vi” untuk coronavirus, “d” untuk disease (penyakit) , dan “19” untuk tahun ketika penyakit muncul. Gejala-gejala COVID-19 berkisar dari yang ringan, seperti demam hingga yang parah. Sekitar 80 persen dari kasus yang dikonfirmasi adalah menunjukan gejala ringan – setidaknya, 80 persen dari kasus yang diketahui saat ini. Pada sekitar 15 persen orang, penyakitnya cukup parah sehingga mereka perlu dirawat di rumah sakit, dan sekitar 5 persen kasus sangat kritis. Tampaknya sekitar setengah dari orang-orang dengan kasus kritis tersebut meninggal. Sebagian besar kematian dalam wabah ini terjadi pada orang tua dan mereka yang memiliki masalah kesehatan mendasar, seperti penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes.

Jika dibandingkan angka kematian akibat wabah yang lain seperti SARS atau MERS, angka kematian yang diakibatkan oleh virus corona memang lebih kecil hanya sekitar 2–3 persen. Namun Ahli epidemiologi mengatakan jika suatu penyakit tidak terlalu parah (dan hanya membunuh sebagian kecil orang), tetapi penyakit tersebut sangat menular, penyakit itu masih dapat berbahaya. Penyakit yang mudah menular walaupun hanya membunuh sebagian kecil orang yang terinfeksi, akan dapat menyebabkan banyak kematian jika dalam jumlah banyak orang yang terinfeksi. Sebagai contoh Satu proyeksi CDC (U.S. Centers for Disease Control) mengatakan bahwa antara 160 hingga 214 juta orang akan terinfeksi di AS, dan antara 200.000 hingga 1,7 juta orang dapat meninggal. Oleh sebab itu COVID-19 adalah penyakit serius dan berbahaya. Walaupun ada beberapa penelitian yang mununjukan kemungkinan bagaimana mentreatment, namun sejauh ini masih belum ada yang terbukti.

Social Distancing dan Lockdown,

Salah satu cara terbaik untuk memperlambat penyebaran wabah adalah dengan menjauh dari orang lain, yang juga disebut “social distancing”. Hal itu memberi virus lebih sedikit peluang untuk melompat dari orang ke orang. Itu sebabnya sangat tidak danjurkan untuk adakan acara besar, olahraga, piknik, kerja kantoran, sekolah, dan hal-hal yang menimbulkan keramian lainnya untuk sementara waktu. Langkah-langkah itu membantu menumpulkan dampak wabah dengan memperlambat virus. Namun hal ini tentu tidak mudah, khususnya bangsa Indonesia yang dari kecil diajarkan untuk ramah, mencium tangan orang yang dianggap “tua”, bersalaman dengan siapapun yang baru ia kenal, senang mendatangi acara yang menimbulan keramaian baik itu acara keagamaan atau acara seperti resepsi pernikahan, sunatan dsb. Akan terasa sangat “ganjil” bagi seseorang jika ia menjumpai kawannya kemudian ia tidak bersalaman ada saling bersentuhan atau mungkin itu bisa saja dianggap tidak sopan. masyarakat Indonesia juga masyarakat yang rilegius, khusus untuk penutupan tempat-tempat ibadah, mungkin ada rasa “berdosa” dalam hati jika mereka tidak menghadiri upacara keagamaan tersebut.

Tentunya hal ini kemudian menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memberikan himbauan kepada masyarakat agar dapat menerapkan “social distancing” tadi, dengan menutup pusat-pusat perbelanjaan, sekolah dan kantor-kantor bahkan tempat ibadah untuk sementara, mereka belajar atau bekerja dari rumah. Mereka memaksimalkan fasilitas internet agar dapat menghasilkan kinerja yang baik atau hasil belajar yang bagus. Namun tidak semua pekerjaan dapat dikerjakan dari rumah, ada banyak sekali pekerjaan yang harus dikerjakan dilapangan. Belum lagi para pekerja harian yang harus bekerja setiap hari agar ia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Banyak masyarakat yang tidak terlalu ambil pusing dengan himbauan ini sehingga masih saja menghadiri atau pergi ke tempat ramai. Sehingga “social distancing” tidak efektif, jumlah orang yang dikonfirmasi positif COVID-19 tetap saja meningkat dan angka kematian akibat dari virus tersebut terus bertambah.

Negara tetangga Indonesia seperti singapura, Malaysia, Filipina, Brunai, Timur Leste sudah mengeluarkan perintah resmi untuk mengendalikan pergerakan orang atau kendaraan karena situasi berbahaya atau disebut “lockdown”. Belahan Benua lain seperti Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia sudah banyak yang menerapkan mengambil langkah tersebut. warga diwajibkan untuk berdiam di kediaman masing-masing hingga wabah terebut mereda, jika ada warga yang melanggar maka akan didenda atau dikurung dalam penjara karena dianggap membahayakan nyawa orang lain. Bukan tidak mungkin pemerintah Indonesia akan mengambil langkah tersebut jika angka yang dikonfirmasi positif COVID-19 terus meningkat.

Not only alone together, but together alone.

Sementara belum ditemukan formula yang paling tepat untuk mentreat COVID-19, diyakini cara yang paling ampuh untuk menanggulanginya dengan cara berdiam dirumah masing-masing, menghindari kontak fisik dengan orang lain. Akhirnya WHO mengubah istilah “social distancing” (pembatasan sosial) menjadi “physical distancing” (pembatasan fisik) yang artinya masyarakat tetap dapat terhubung secara sosial (dengan menggunakan internet). Walaupun manusia hidup didalam “Gua”nya masing-masing untuk menghindari kontak fisik dengan orang lain tetapi ia tetap dapat berhubungan atau mengadakan kontak sosial, dengan menggunakan internet tentunya. Dengan diberlakukannya “lockdown”, masyarakat akan diwajibkan didalam kediamannya, bagi warga yang melanggar akan dikenakan hukuman karena dianggap membahayakan keselamatan Rakyat. Karena keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi begitu kata negarawan Romawi yang hidup sekitar 2000 tahun yang lalu. Tentu saja dampak dari kebijakan ini akan sangat berpengaruh kepada rakyat, baik itu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berapa lama “lockdown” tersebut akan berlangsung, bagaimana “lockdown” akan diterapkan, apa saja yang akan terjadi sepanjang “lockdown”, akan menjadi faktor penentu. Ada banyak krisis yang pernah dialami oleh dunia ini, seperti revolusi industry, perang dunia, krisis depresi ekonomi yang akhirnya merubah jalan hidup masyarakat. Demikian juga dengan COVID-19 yang merupakan wabah global yang akan merubah jalan hidup kita berbeda dari yang sebelummnya. Seberapa besar berubahan itu? Apakah lebih besar dari krisis-krisis sebelumnya?. Virus global dan baru yang membuat kita tetap berdiam di rumah kita (mungkin selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun) telah mengubah orientasi hubungan kita dengan pemerintah, ke dunia luar, bahkan ke satu sama lain. Hal ini mungkin terasa asing atau meresahkan: Akankah sentuhan menjadi tabu? Apa yang akan terjadi dengan restoran? Dst. Tetapi saat-saat krisis juga menghadirkan peluang: penggunaan teknologi yang lebih canggih dan fleksibel, Tidak ada yang tahu persis apa yang akan terjadi tapi ada beberapa kemungkinan yang diprediksi oleh para ahli.

Profesor linguistic, Deborah Tannen mengatakan kenyamanan berada tengah orang lain mungkin digantikan oleh kenyamanan tanpa kehadiran orang lain, terutama dengan mereka yang tidak kita kenal secara akrab. Akan menjadi kebiasaan untuk tidak berjabat tangan dengan orang lain atau menyentuh wajah kita — dan kita semua mungkin mendapati diri kita tidak bisa berhenti mencuci tangan. Kita mungkin akan berkomunikasi dengan cara online agar menciptakan jarak dan jarak ini membuat kita merasa aman. Mark Lawrence Schrad seorang profesor ilmu politik mengatakan bahwa akan timbul jenis patriotisme baru, kita yang selama ini menilai patriotisme hanya milik angkatan bersenjata, akan tetapi kita tidak bisa menembak virus. Yang akan menjadi garda terdepan melawan virus corona adalah dokter, perawat, apoteker, guru, pegawai toko, pekerja utilitas, pemilik usaha kecil, dsb.

Sonia Shah penulis buku Pandemic: Tracking Contagions From Cholera to Ebola and Beyond mengatakan dalam skenario kasus terbaik, trauma pandemi akan memaksa masyarakat untuk menerima pengekangan terhadap budaya konsumen massa sebagai harga yang wajar untuk membayar dari mempertahankan diri terhadap penularan di masa depan. Selama beberapa dekade, kita telah memuaskan selera kita dengan melanggar batas yang terus berkembang di planet ini dengan kegiatan industri kita, memaksa spesies liar untuk menjejalkan ke dalam bagian habitat yang tersisa di dekat kita. Itulah yang memungkinkan mikroba seperti SARS-COV2 — belum lagi ratusan lainnya dari Ebola ke Zika — untuk melintas ke tubuh manusia, menyebabkan epidemi.

Bagaimana dengan sekolah? bagaimana dengan pekerjaan? bagaimana dengan bisnis? bagaimana dengan politik? bagaimana dengan cara kita beribadah?, tidak akan ada yang dapat meprediksi secara akurat, namun yang pasti dunia kita tidak akan sama seperti sebelumnya.

Refrensi.
https://www.theverge.com/2020/1/23/21078457/coronavirus-outbreak-china-wuhan-quarantine-who-sars-cdc-symptoms-risk

https://www.politico.com/news/magazine/2020/03/19/coronavirus-effect-economy-life-society-analysis-covid-135579
https://www.freepik.com/free-photo/front-view-coronavirus-infection-with-copy-space_7248138.htm

Tinggalkan Balasan