
Kongres HMI XXXI di Surabaya
Penulis: Ahmad Deni Rofiqi (Ketua Umum HMI Cabang Jember Komisariat Al-Fatih)
Awal mengikuti Basic Training tahun 2017, narasi keberislaman dan keindonesiaan dianggap nilai harga mati, tentang suatu transformasi nilai ideologis yang menyebabkan HMI berdiri. Ia dikuatkan sebagai pijakan elementer yang membentuk militansi dan semangat perjuangan membangun peradaban yang lebih egaliter, menolak status quo, memberdayakan pikiran-pikiran kritis, akademis, serta tanggap bergerak membela pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan.
Hingga pada akhirnya, doktrin semangat itu bergerak, berterus-terang, kokoh berdiri, berada di baris terdepan membela dan berada di pihak yang benar. Musuh terbesar kita adalah kejumudan, keterbelakangan, ekskulsivisme, gaya konsumerisme, serta hal-hal lain yang menjauhkan kita dari denyut keislaman dan keindonesiaan.
Tapi setelah jauh dan terdepak keluar menuju disoroentasi, bagaimana bisa HMI terus bertahan dan secara simultan memegang nilai-nilai ke-HMI-an?
Lutut kiri sudah tidak beres
Berangkat ke Surabaya pada Kongres XXXI di Surabaya dengan harapan bisa berbagi pengetahuan, silaturrahmi, bertukar gagasan, dan meletakkan mimbar gagasan-gagasan besar itu lahir, seolah mitos belaka. Apa yang sebenarnya sudah terang dan jelas dalam Konstitusi HMI tentang status musyawarah tertinggi di tingkat PB HMI adalah kongres, merupakan pseudo-konstitusi.
Tentang lutut kiri yang cidera dan tak lagi beres, ia tidak hanya membuat sakit. Ia bahkan membuat tubuh tinggi sebelah, berjalan tidak normal, terdiskriminasi dari circle social, dan suatu label kecacatan berarti bagi korban.
Kepincangan ini nampak terafirmasi secara sempurna dalam tubuh HMI. Kedatangan Romli (Rombongan Liar) sebagai kelompok partisipan Kongres, nampak tak berdaya di hadapan superioritas elite HMI. Ujung yang tidak pernah selesai, seolah solidaritas dan rasa kepemilikan terhadap HMI selalu diroad show anarkis. Kolektif yang bertumpu pada kepentingan-kepentingan praktis, yang membuat HMI dikubur hidup-hidup oleh kadernya sendiri.
Bahwa HMI sebenarnya tidak butuh factor eksternal untuk lebur dan lemah, atau bahkan gulung tikar, karena kader kita sendiri yang telah mengambil dan menyebabkan kita pincang. Itu pun kaki kiri yang dibikin bermasalah.
Analogi “kiri” yang memang lekat dengan kepentingan rakyat, berpihak pada kepentingan umum, serta menjunjung tinggi semangat kesejahteraan social, telah kabur sejak kemarin—untuk tidak mengatakan eksploitasi organisasi ini telah berlangsung lama dan secara structural menjadikan ini sebagai kultur terbaru, setelah melenceng jauh dari amanah diberdirikannya HMI.
Kembali pada pseudo-kongres XXXI. Tentang sesuatu yang diterjemahkan sebagai alur dan fase melahirkan pandangan yang lebih maju dan inclusive terhadap perubahan yang lebih baik, tidak jauh berbeda dengan kondisi primordialisme yang melulu menegakkan monarkhi absolut, dan diam-diam memaksa kita tidak merdeka.
Sesuatu yang digambarkan sebagai pertemuan-pertemuan gagasan terbaik, runtuh begitu saja. Cidera kaki kiri yang diderita sulit diobati. Karena korban pun enggan diobati, atau setelah diobati, ia merobek-robek dan memukul kaki kirinya yang pincang. Itu artinya, ini korban yang tidak waras. Pikiran rasioanalnya sudah dijamah kepentingan koorparasi, sehingga redup dan menggelapkan pikiran; sulit membedakan kebenaran dan kemudharatan.
Tidak ada alternative, selain alternative itu sendiri
Kita mengira, desain Kongres merupakan intervensi politik yang merongrong HMI. Apa yang dibicarakan saban hari tentang perkaderan, tentang perekrutan, tentang visi-misi, mentah begitu saja. Kolektif Pengurus Besar (PB) HMI sebagai lembaga tertinggi kita, tidak mampu menerjemahkan organisasi ini. Tidak mampu membangun semangat perjuangan. Tidak mampu menyusun kurikulum perkaderan. Dan tidak mampu menguatkan independensi. HMI ini organisasi yang sudah seharusnya punah. Sebab tidak ada alternatif, maka ia harus selesai disini.
Kita semarakkan, bahwa tidak alternatif selain alternatif itu sendiri. Tidak ada HMI selain HMI itu sendiri. Tidak ada kader selain kader itu sendiri. Dan tidak ada keberislaman dan keidonesiaan selain keberislaman dan keindonesiaan itu sendiri. HMI bubar pun adalah bubar itu sendiri, bukan HMI. Kita selamatkan bersama Himpunan tercinta ini.