Beranda Opini Difabel: Dua Sisi yang Tak Presisi

Difabel: Dua Sisi yang Tak Presisi

0
Oleh: Ongen B. Sitorus (Eks Wasekbid PTKP HMI Cabang Palopo Periode 2018-2019)
Pagi buta adalah secerca harapan menyambut hari baru bagi makhluk hidup khususnya manusia. Begitu pula manusia yang mendapatkan label khusus pada lingkup sosial. Dialah seorang penyandang cacat, mendapatkan pembaharuan label lebih halus yang dikatakan DISABILITAS. Secara historis, Disabilitas telah lama ada sejak peradaban zaman klasik hingga jauh hari sebelum zaman klasik, mungkin mereka telah ada. Bahkan di Indonesia selama masa kerajaan hingga penjajahan Penyandang Disabilitas telah ada.
Di era millenial, eksistensi Penyandang Disabilitas di Indonesia masih tetap eksis bahkan setiap tahunnya dapat melonjak bila menelaah bonus Demografi. Di tahun 2015, berdasarkan pemaparan dari Kementerian Sosial bahwa jumlah penyandang Disabilitas berkisar di angka 21,84 Juta atau sekitar 8,56% penduduk Indonesia adalah Penyandang Disabilitas, hasil data dari Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015. 
Merujuk data di atas, dengan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kategori tinggi, memungkinkan jumlah Penyandang Disabilitas ini juga turut meningkat setiap tahunnya hingga tahun 2019-2020. Pertanyaannya, apakah keramahan telah di dapatkan oleh Penyandang Disabilitas dalam lingkup Sosial? Dan bagaimana Penyandang disabilitas menjalani jejak kehidupannya?
Di Indonesia, bila kita mengulik beberapa tahun ke belakang banyak di jumpai beberapa Penyandang Disabilitas meraih prestasi di beberapa bidang sesuai kemampuannya dan itu merupakan perihal yang patut menjadi kebanggaan. Tetapi di balik beberapa prestasi penyandang Disabilitas yang mencuat ke ruang publik, rupanya hal itu hanya sebagian kecil dari banyaknya akumulasi penyandang Disabilitas di Indonesia.
Masih banyak para penyandang Disabilitas menggantung hidup hanya pada lingkup keluarganya sehingga ruang interaksi begitu terbatas, ketika beranjak ke dunia masyarakat yang lebih luas terkadang kesukaran berinteraksi dengan manusia normal pada umumnya di jumpainya. 
Jika kita melihat Film Wonder (2017), bagaimana perjuangan seorang Penyandang Disabilitas menghadapi lingkungan yang kejam. Terkadang perlakuan kurang menyenangkan adalah lawan menakutkan yang menjadi momok sewaktu menjalani hidupnya, terbelenggu depresi hingga berpotensi traumatik, namun hal itu hanya terekam dalam film.
Di Indonesia, kemungkinan momok menakutkan bagi penyandang Disabilitas yang terekam dalam film Wonder (2017) tersebut dapat sedikit menenangkan jiwa mereka (Penyandang Disabilitas). Alasannya, sebuah kerangka di tetapkan pada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Walau kehadiran aturan ini merupakan pembaharuan dari UU Nomor 4 Tahun 1997 yang kala itu membahas tentang Penyandang Cacat. Perubahan ini dilakukan katanya UU yang lama belum berperspektif HAM sehingga di ubah ke UU Nomor 8 Tahun 2016 lebih menekankan Hak Asasi Manusia Penyandang Disabilitas.
Dalam aturan tersebut banyak menjelaskan Pelaksanaan dan Pemenuhan Hak Asasi bagi Penyandang Disabilitas. Yang dimana menekankan aspek Hak Asasi Manusia yang sama sebagai warga negara dan bagian tidak terpisahkan sebagai masyarakat Indonesia. Dalam tubuh konstitusi, Pelaksanaan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas termakhtub pada Bab 1 (pasal 2), selain itu terdapat pula Hak Penyandang Disabilitas yang termakhtub pada Bab 3 (Pasal 5). Dalam menjalankan amanat konstitusi, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan kapasitas otonomi daerahnya berkewajiban penuh melaksanakan dan pemenuhan Hak berdasarkan amanat Undang-Undang secara merata.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, bahwa seluruh penyandang Disabilitas baik di pusat maupun pelosok di negeri ini harus mendapatkan Hak Asasi Manusia yang termakhtub di setiap pasalnya tanpa terkecuali. Maka Sudahi kepelikan yang terjadi di negeri ini, jangan lagi ada penyandang disabilitas mendapat perlakuan kurang menyenangkan, terbebas dari stigma yang membelenggu jiwa mereka. Berikanlah mereka keadilan dan perlindungan hukum seadil-adilnya dan setegak-tegaknya. 
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, berikanlah mereka pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus agar mereka pun dapat menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Berikanlah mereka kesamaan kesempatan menjadi tenaga pendidik dan kesempatan sama mendapatkan akomodasi layak sebagai peserta didik dengan pemenuhan kebutuhan khusus. Agar para penyandang disabilitas tak lagi merasa cukup ketika telah mengenyam pendidikan SMA maupun Sarjana (Strata 1), melainkan Penyandang disabilitas dapat mencicipi jenjang pendidikan lebih tinggi seperti Magister (Strata 2) hingga Doktor (Strata 3).
Penyandang Disabilitas juga seharusnya memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Swasta tanpa perlakuan diskriminatif. Tak hanya itu, Penyandang Disabilitas yang ingin berwirausaha dan mendirikan badan usaha mandiri maka pihak yang bertanggung jawab berkewajiban memberikan jaminan, perlindungan, dan pendampingan. Mulai dari bantuan modal, perluasan peluang barang dan jasa, dan memfasilitasi pemasaran produk badan usaha mandiri yang di selenggerakan oleh penyandang disabilitas. Hal ini patut di upayakan semaksimalnya, agar para penyandang disabilitas juga menggali potensi skill yang dimiliki dan mengembangkannya.
Selain hak hidup, bebas dari stigma, privasi, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, bekerja, berwirausaha dan koperasi. Penyandang Disabilitas juga masih memiliki beberapa point hak yang wajib terpenuhi seperti kesehatan, politik, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata, kesejahteraan sosial, aksesibilitas, pelayanan publik, pelindungan dari bencana, habilitasi dan rehabilitasi, konsesi, pendataan, hidup mandiri dan keterlibatan dalam masyarakat, berekspresi, berkomunikasi, memperoleh informasi, berpindah tempat dan kewarganegaraan, bebas dari tindakan diskrimasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi. Semua hak ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, dan pihak yang bertanggung jawab di wajibkan menyelenggarakan amanat konstitusi.
Agar para penyandang Disabilitas di Negera ini tidak hidup dalam bayangan film WONDER (2017), melainkan melukis jejak sesuai Amanat Undang-undang. Sehingga mereka (Penyandang Disabilitas) tak lagi berpikir “Hidup pun segan, Mati pun Enggan”.

Tinggalkan Balasan