Oleh: Nurfadilla (Kader HMI)
Hari ini Senin 05 Februari adalah hari lahirnya sebuah organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI didirikan pada 05 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H di Yogyakarta dengan tujuan awal untuk mempertahankan negara republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat republik Indonesia serta menegakkan ajaran Islam yang rahmatan lil a’lamin.
Pada hari yang sama di tayangkan sebuah mahakarya film Lafran Pane sebagai kado Milad HMI ke-77 di bioskop Indonesia. Tidak tanggung-tanggung film tersebut didedikasikan untuk Prof. Lafran Pane yang merupakan salah satu pahlawan nasional. Diketahui bahwa salah satu inisiator dari film ini adalah Akbar Tandjung. “Selama pembuatan film ini memakan waktu yang panjang untuk berdiskusi dengan Dimas Anggara selaku aktor film”, ujar Ahmad Doli Kurnia Tandjung selaku produser eksekutif. Hal ini disampaikan pada peluncuran trailer dan poster film Lafran Pane beberapa waktu lalu di gedung KAHMI Center Jakarta. Film ini diproduksi sebelum masa pandemi 2020, naskahnya di godok selama 5 tahun lebih lewat berbagai riset dengan total syuting dilakukan selama 35 hari, dua pekan di Sipirok Sumatera Utara, tempat Lafran Pane berasal dan satu bulan di kota perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sedangkan untuk riset akademik sudah dilakukan selama 5 tahun yang lalu.
Setelah melihat dan menyaksikan tayangan film tersebut di Epicentrum XII Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan, sebagai kader HMI, seolah kita dibawa flashback ke masa lalu Lafran Pane. Seorang anak kecil yang berayahkan Sutan Pangurabaan Pane yang merupakan seorang jurnalis dan sastrawan pendiri surat kabar dan pemimpin surat kabar Sipirok-Pardomuan. Selain itu Ayahnya juga dikenal sebagai guru dan pendiri Muhammadiyah di Sipirok. Film tersebut mengisahkan bagaimana Lafran Pane kecil hingga dewasa sampai mendirikan HMI. Lafran Pane kecil adalah anak yang nakal dan sering bolos sekolah. Sejak kecil Lafran Pane sudah ditinggal ibunya. Sejak itu, ia dibesarkan oleh sang ayah serta keluarga besar. Sebelum menempuh pendidikan formal, adik kandung sastrawan Angkatan Pujangga Baru, Sanusi Pane dan Armijn Pane, itu mengaji pada sejumlah guru di masjid Kampung Pangurabaan. Kemudian, Lafran belajar di Pesantren Muhammadiyah Sipirok, sebelum melanjutkan ke Sekolah Desa. Belum sampai tamat masa belajar tiga tahun, ia pindah ke Sibolga, sekitar 126 kilometer dari Sipirok untuk masuk ke HIS Muhammadiyah.
Kehidupan Lafran Pane sempat terlunta-lunta ketika menjalani masa pendidikan menengah di Taman Siswa. Kehidupan Lafran Pane sempat terlunta-lunta ketika menjalani masa pendidikan menengah di Taman Siswa, Medan. Bahkan, ia sempat putus sekolah. Untuk menyambung hidup, pemuda ini berjualan es lilin. Nasibnya mulai membaik sejak hijrah ke Jakarta untuk bersekolah di HIS Muhammadiyah setempat. Kepindahannya itu berdasar saran kakak-kakaknya yang sudah lebih dahulu menetap di sana. Sampai menjelang masa pendudukan Jepang, Lafran tercatat sebagai murid Sekolah Taman Dewasa Raya. Namun, perangai keras Lafran Pane agaknya masih tampak. Meskipun diakui sebagai murid yang cerdas di sekolah, ia masih tertarik untuk bergabung dengan kelompok-kelompok remaja liar di jalanan, yakni Zwarte Bende. Karena itu, tidak jarang pada masa ini pemuda tersebut merasakan dinginnya sel tahanan kepolisian.
Berbagai pengalaman semasa di Jakarta membuat Lafran Pane dewasa kian arif menyikapi berbagai persoalan termasuk persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia kala itu. Ia mulai merenungi hakikat hidup yang sejati hingga ikut menyuarakan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah bersama teman-temannya melalui pendirian sebuah organisasi di kampusnya. “Saya lillahi ta’ala untuk Indonesia”. Sebuah kalimat yang menjadi magis bagi sosok pendiri serta pemrakarsa berdirinya HMI tersebut patut kita contoh dalam berbuat dan bertindak.
Rintangan yang menguji perjuangan panjang menggapai cinta HMI telah dibuktikan oleh Lafran Pane. Sampai sekarang namanya tetap harum dan menjadi teladan bagi para kader HMI dan bangsa Indonesia. Selain ide-ide dan gagasannya tentang keIslaman dan keIndonesiaan, banyak karya lain yang sudah ditorehkan oleh Lafran Pane. Maka sudah sepantasnya beliau menerima penghargaan sebagai pahlawan Nasional atas jasa-jasa untuk Indonesia. Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor:115/TK/Tahun 2007 tanggal 6 November 2017. Tidak berlebihan saya pikir ketika pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan Nasional kepada Lafran Pane.
Saya merasakan betul bagaimana pahitnya perjuangan seorang Lafran Pane di kala itu. Tidak terbendung seketika air mata pun berjatuhan menyaksikan film tersebut. Selintas teringat di kepala ketika awal mula masuk dan bergabung di Maperca (Masa perkenalan calon anggota) dan lanjut LK I (Latihan kader) HMI. Sebuah pilihan yang tepat hingga akhirnya kita banyak belajar, terbentur dan terbentuk, menjadi tempat berjuang hingga meyakinkan diri bahwa HMI adalah rumah kedua setelah kampus.
Sekarang Himpunan Mahasiswa Islam telah berusia 77 tahun. Asam garam, lika-liku perjuangan telah banyak dirasakan oleh HMI dalam mewujudkan misi keIslaman dan keIndonesiaan di negeri ini. Begitu juga kontribusi hingga saat ini telah diberikan oleh HMI kepada umat dan bangsa. “77 Tahun bakti HMI untuk Indonesia” sekiranya menjadi jargon tema Milad kali ini. Banyak rangkaian acara turut dimeriahkan kader HMI se-Indonesia mulai dari tingkatan Komisariat, Cabang, Badko hingga PB HMI serta lembaga pengembangan profesi. Ini semua menjadi bukti kecintaan kader HMI untuk selalu mengingat hari lahirnya HMI yang juga merupakan hari lahirnya pendiri HMI Ayahanda Prof. Lafran Pane.
Pada usia yang tidak lagi muda ini, tantangan HMI ke depan semakin berat. Berbagai persoalan baik internal maupun eksternal HMI masih saja banyak kita temukan. Salah satunya masalah independensi organisasi. Sebagai organisasi yang bersifat independen (berdiri sendiri, tidak memihak kepada siapapun) tampaknya dewasa ini makin menuai banyak pro kontra, terlebih pada saat momentum demokrasi (Pemilu). Banyak kita lihat bahwa kader HMI yang tidak lagi menunjukkan independensinya sebagai kader HMI baik secara etis ataupun secara organisatoris. Hal ini sangat disayangkan sekali terlebih pelakunya masih kader aktif. Belum lagi persoalan internal di kepengurusan yang kian banyak mulai dari tingkatan Komisariat, Cabang, Badko hingga PB HMI seperti persolan SK Kepengurusan, dualisme cabang, rendahnya kualitas SDM kader hingga masalah perkaderan.
PB HMI selaku pengambil keputusan tertinggi ke depan tentunya diharapkan lebih bijak lagi dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di HMI, sehingga keberadaan HMI benar-benar hadir dan dirasakan kembali oleh tidak hanya kader HMI namun seluruh masyarakat Indonesia. Program-program yang digagas haruslah berorientasi pada masyarakat dan kemajuan bangsa. Tidak hanya program sesaat tetapi berkelanjutan, sehingga HMI mampu mempersiapkan diri lebih baik untuk mengambil bonus demografi menyambut Indonesia emas 2045. Sebagai organisasi mahasiswa, HMI diharapkan lebih mampu melihat dan mengambil peluang serta berperan sebagai agen of changes di lintas kalangan. HMI diharapkan dapat mengembalikan khittah perjuangan serta emage buruk HMI di mata masyarakat melalui perkaderan HMI yang lebih inklusif.
Akhirnya tidak ada kata selain bersyukur dan ikhlas, turut Alqur’an dan Hadis yang patut kita ucapkan sebagai syukur kepada Allah SWT atas taufik dan hidayahNya untuk himpunan tercinta. Apresiasi yang sangat tinggi kepada para senior dan semua pihak yang terlibat yang sudah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran tentunya hingga film Lafran Pane bisa tayang dan kita nikmati bersama. Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dan amalkan dalam melanjutkan perjuangan orang yang paling berjasa di HMI itu. Banyak cara untuk mencintai HMI dan Indonesia.
Selamat Milad ke-77 HMI. Teruslah berbakti untuk Indonesia.