Beranda Opini Hari Raya tanpa Perayaan

Hari Raya tanpa Perayaan

0

Oleh: Ary Pratiwi (Formateur Kohati Komisariat STIE-PPI Jakbar)
Editor: Hasiyah

Sejak dinyatakan sebagai pandemik global, virus covid-19 atau yang lebih sering disebut virus corona memang mendominasi segala lini kehidupan. Ia mampu membuat tatanan suatu negara koyak, perekonomian negara lumpuh. Kemana pun menoleh seolah pemberitaan virus ini yang akan kita temui, kita dipaksa untuk terus update perkembangan tentang virus ini. Lonjakan jumlah pasien akibat virus ini semakin berkembang pesat. Hal tersebut berbanding terbalik dengan perekonomian negara yang semakin merosot tajam. Dilansir dari detik hot.com jumlah angka kemiskinan berambah sekitar 12 juta jiwa. Hal ini terjadi tentu saja karena kita dituntut untuk tidak saling bersentuhan, karena salah satu sarana penyebaran virus ini ialah dengan sentuhan, maka dari itu dengan kebijakannya pemerintah mewajibkan kita untuk tidak keluar rumah, kita dituntut untuk tidak bekerja keluar rumah atau yang dikampanyekan dengan WFH (Work From Home).

WFH untuk sebagian orang adalah salah satu cara yang tepat untuk meminimalisir penyebaran virus covid-19, dengan tetap produktif di rumah melalui teknologi yang ada. Namun untuk sebagian lainnya merupakan masalah serius. Mari kita sedikit menoleh kepada mereka yang pekerjaannya menuntut untuk melibatkan kontak fisik. Seperti tukang pangkas rambut, buruh pabrik, ojek online, dan pedagang kaki lima dan masih banyak lagi pekerjaan konvensional lainya yang mati karena pembatasan sosial ini. Pedagang kaki lima misalnya, walau tak dilarang untuk tetap berjualan dengan beberapa persyataran, seperti hanya melayani pembelian take away, pedagang tidak diperkenankan memfasilitasi dagangannya untuk dinikmati di tempat, karena itu dinilai dapat menjadi salah satu rantai penyebaran virus. Bukan hal yang melegakan, mereka menangis dengan kerugian yang didapat karena pemberlakuan PSBB (Pembatasan sosial bersekala besar) oleh pemerintah mewajibkan warganya untuk tetap di rumah. Pedagang kaki lima harus menelan pil pahit karena sepinya pembeli, alih-alih mendapat penghasilan untuk tetap bisa menyambung hidup, dengan tetap berjualan di tengan ganasnya pemberitaan soal virus ini mereka justru harus merugi karena dagangannya yang sepi pembeli. Pedagang kaki lima merupakan salah satu dari ribuan pekerja yang menjerit karena dampak pemberlakuan PSBB. Hal ini menjadi bertambah perih mengingat umat muslim di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini.

Dengan kondisi serba sulit tanpa adanya pemasukan, kami hanya bisa mengharapkan janji bantuan dari pemerintah, bantuan yang dalam teorinya menjelaskan bahwa orang miskin dan terlantar dipelihara oleh negara. Jika dengan keadaan seperti sekarang ini masih mungkinkan itu akan dilaksanakan, dengan jutaan pertambahan rakyat miskin akibat kehilangan pekerjaan. Bantuan yang didambakan rakyat nyatanya haya omong kosong karena pembagian yang tidak merata dan kelayakan bantuan untuk masyarakat membuat rakyat merasa tidak diperhatikan oleh negara. Untuk tetap bertahan hidup justru kami bahu membahu menolong sesama untuk bisa beratahan dalam kondisi sulit ini.

Tidak ada yang tidak merasakan dampaknya, terlebih pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Seolah kita diberikan pelajaran berharga untuk tetap mawas diri, tidak berlebih-lebih. Kita diajarkan untuk lebih dewasa dengan keadaan seperti sekarang ini. Mengingat tahun-tahun sebelumnya, dimana kita merasa sangat serakah dalam menjalani hidup. Meributkan uang yang setiap tahun diberikan lebih berupa Tunjangan Hari Raya (THR), ditambah gaji pokok sebulan penuh bekerja belum lagi parsel-parsel ucapan Hari Raya berdatangan hilir mudik untuk para petinggi. Namun kini, jangankan tunjangan mengharap balas jasa pun tak bisa diharapkan karena tidak bergeraknya roda perekonomian.

Alih-alih bersedekah dan berhemat, tunjangan-tunjangan tersebut justru menjerumuskan kita pada jurang kesombongan, kita lebih banyak berfoya-foya dibanding dengan menyedekahkan uang tersebut. Kita sering kali riya’ dan sombong dengan datangnya Hari Raya, memamerkan kekayaan dibandingkan merasa malu karena apa yang kita pamerkan hanya dapat kita miliki semetara. Kita sering kali memaksanakan apa yang kita mau dibanding dengan apa yang kita butuhkan, dengan rezeki berlebih yang kita miliki. Segala bentuk kemaksiatan yang memudarkan sakralnya perayaan Idul Fitri inilah yang mungkin membuat semesta marah, muak melihat apa yang kita lakukan di dunia. Bukankah sesungguhnya kita tahu apa yang disukai dan tidak disukai terhadap perilaku kita. Namun melakukan kebaikan memang tak semudah melakukan apa yang membuat murka Tuhan. Sebagai makhluk yang fana, apa yang kita sombongkan tidaklah berguna dialam keabadian kelak. Tuhan pasti memiliki alasan atas apa yang Ia kehendaki untuk hamba-Nya. Perayaan yang menjadi sumber maksiat dibuatnya untuk tidak lagi bisa dilakukan.

Tuhan memberikan akal dan akhlak kepada hamba-Nya untuk bisa keluar dari cobaan yang Ia berikan. PSBB melarang kita untuk mudik dan merayakan hari kemenangan bersama keluarga di kampung halaman, barangkali hal itu merupakan salah satu isyarat dari Tuhan untuk kita tidak lagi menjadikan momen silaturahmi bermaafan dengan keluarga yang dinilai sakral menjadi penuh kesombongan dan keriyaan, bahkan kerap kali jadi ajang untuk melukai hati. Apa pun yang terjadi pasti ada hikmah besar yang bisa kita ambil di dalamnya. Kita sebagai makhluk paling sempurna, makhluk berakal dan berakhlak pastilah bisa menggunakan anugrah besar ini untuk tetap berpikir positif dan merasa bodoh, karena orang yang merasa pintar kerap menjadikan kepintarannya sebagai kesombongan untuk menindas dan sumber egoisitas.

Kita sebagai umat muslim yang mengaji juga mengkaji, sudah sepatutnya mengembalikan fitrah dan kesucian momuntum Idul Fitri. Momentum sakral yang sudah sejak lama kehilangan kesuciannya oleh keriyaan dan kesombongan. Perayaan Idul Fitri tentu bukan sebagai ajang memamerkan pakaian baru, gemerlapan perhiasan dan kemewahan kendaraan. Mari sejenak kita renungkan betapa tidak berharganya itu semua dibandingkan momentum saling bertemu merajut silaturahmi, menghapus salah dan dendam, merayakan hari kemenangan dengan berbagi. Betapa tidak berharganya kekayaan jika Sang Maha Kaya tak membiarkan kita saling bertemu bahkan untuk saling bersentuhan menghapus khilaf dan salah. Semoga kita semua lekas sadar dan menyadari apa yang sering menjadi kemurkaan tuhan hingga Ia melarang hamba-Nya untuk saling bertemu dan memjadikan Hari Raya tahun ini tanpa sebuah perayaan.

* Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan tanggung jawab yakusa.id

Tinggalkan Balasan