Beranda Opini Kartini dan Wajah Baru Emansipasi

Kartini dan Wajah Baru Emansipasi

1
R.A. Kartini (Foto: Tirto.Id)

Oleh: Rofiatul Windariana (KOHATI Insan Cita IAIN Madura)
Editor: Hasiyah

Berbicara soal emansipasi bukan perkara baru, terutama mengingat 21 April sebagai hari emansipasi wanita yang diperingati sebagai Hari Kartini. Terlepas dari perayaan dan tersebarnya pamflet. Perlu kiranya kita memikirkan sejauh mana emansipasi telah membebaskan perempuan dan sejauh mana perempuan telah berhasil mencapai tujuan perjuangan sesuai yang dicita-citakan.

Sebelum beranjak lebih jauh, penjabaran pengertian dan kilas perjuangan emansipasi wanita/perempuan agar menjadi gambaran besar perjuangan pembebasan perempuan dari belenggu lingkungan yang mengekang atas nama norma, agama, adat, bahkan kodrat yang memposisikan perempuan serba dilematis. Term emansipasi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai proses pembebasan diri dari perbudakan. Sedangkan menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) merupakan upaya untuk memberikan hak yang sepatutnya diberikan kepada orang atau sekumpulan orang yang dirampas dan diabaikan haknya. Refleksi dari perjuangan Kartini sendiri adalah perjuangan menuntut hak memperoleh pendidikan bagi perempuan yang semula terpinggirkan dan cenderung tabu di masyarakat.

Dilihat dari aspek kesejarahan, hak-hak perempuan sangat teralienasi oleh tradisi serta terkungkung dengan tugas diranah domistik yakni : kasur, sumur, dapur. Mereka tidak dapat mengenyam pendidikan dan tidak dapat mengembangkan diri diranah sosial dan politik, sebagaimana laki-laki. Namun Kartini meyakini bahwa gerbang awal untuk membebaskan perempuan adalah meningkatkan kualitas perempuan melalui pendidikan hingga ia bertekad membangun sekolah wanita pertama di Kabupaten Rembang. Ia mengirim surat kepada teman-temannya di Eropa hingga terbukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Perjuangannya menginspirasi perempuan lainnya untuk ikut bergerak menggaungkan emansipasi perempuan sehingga hasilnya dapat dirasakan saat ini. Perempuan dapat menghirup atmosfer kebebasan dan mendapat ruang untuk bereksplorasi serta mengembangkan diri diberbagai sektor.

Saat ini persoalan tidak lagi terkait tuntutan untuk berperan serta dalam berbagai aspek atau menuntut kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, karena perempuan telah diberi ruang untuk terjun ke politik, aktif diranah sosial maupun mengembangkan sektor ekonomi. Walaupun tidak dapat dipungkiri, masih ada beberapa daerah pelosok dan beberapa kasus yang masih mendiskriminasi posisi perempuan.

Persoalan krusial perempuan saat ini adalah tentang diri perempuan sendiri. Ruang politik yang diberikan kepada perempuan, akses pendidikan yang telah disetarakan dengan laki-laki dan kebijakan lainnya sudah melirik peran dan potensi perempuan, justru tidak banyak perempuan yang memaksimalkan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka. Seakan-akan, kebebasan membuat terlena dan justru kenyamanan yang mengungkung perempuan saat ini dalam tolak ukur produktivitas dan rasio angkatan kerja laki-laki dan perempuan.

Persoalan lainnya yang penulis temukan adalah adanya krisis kepercayaan diri. Terkait dengan persoalan sebelumnya, perempuan justru memilih berlomba-lomba untuk mempercantik fisik dan tanpa disadari bahwa perempuan sedang terdikte dengan labelisasi cantik versi industri. Hingga menafsirkan kecantikan –sebagaimana disampaikan Najwa Shihab- sebagai kata kerja. Kecantikan sebagai proses, perbuatan, sikap dan karya. Perempuan perlu percaya diri untuk mengeksplorasi bakat dan mengembangkan diri agar mampu berdaya dan bekerja sama dengan laki-laki tidak hanya dalam keluarga, melainkan masyarakat, negara serta dalam upaya memberikan kebermanfaatan bagi sesama.

Emansipasi perlu pemaknaan lebih dalam bahwa perempuan harus terbebas dari segala belenggu yang menghambat potensi dirinya, turut menjadi agen perubahan yang menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan terutama yang cenderung mendiskreditkan kepentingan perempuan. Mereka perlu angkat bicara bahkan turun tangan karena perempuan telah diberi hak yang sama dengan laki-laki sebagai warga negara. Perempuan perlu berdaya dan mandiri untuk menetukan nasib sendiri.

Terakhir, emansipasi perempuan tidak cukup hanya sekadar seremonial tapi refleksi bahwa tujuan akhir emansipasi belum tuntas. Masih banyak kasus kejahatan seksual terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, pembedaan upah kerja, dan beberapa kasus dan kebijakan lain yang masih mendiskreditkan perempuan. Itu wajah baru perjuangan perempuan saat ini.

1 KOMENTAR

  1. Mantap mbak winda…tulisannya bagus sekali, luas dan dalam. Semoga saya bisa menirunya, aaamiiin…

Tinggalkan Balasan