
Oleh: Moh. Ali Wafa (Kabid KPP HMI Cabang Pamekasan Komisariat Insan Cita IAIN Madura)
Editor: Taufik
Kurang lebih sudah satu abad lebih dari wafatnya Raden Ajeng Kartini, masih saja menyisakan semerbak keharuman dari hasil perjuangannya tempo dulu. RA. Kartini memang bukan bagian dari para tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, namun RA. Kartini dikenang layaknya proklamator. Semua itu tidak lain karena elegansi kiprahnya bagi kalangan perempuan kala itu. Bagaimana seorang Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan, utamanya dibidang pendidikan.
Sebenarnya tidak bisa di ejawantahkan, bahwa hakikatnya kita tengah menunggu Kartini masa kini, yang mampu berdedikasi untuk kemajuan bangsa, dan tidak hanya terkungkung dibalik panggung eksistensi belaka. Bagaimana dengan kartini masa kini? Maka jawabannya, Kartini masa kini cantik-cantik. Ya, begitulah adanya. Selain memang semakin pesatnya perkembangan dan pelengkapan alat-alat kosmetik perempuan, juga karena fashion merupakan hal yang urgen yang pastinya itu juga bagian siasat agar perempuan sebagai makhluk yang indah patut dijaga kelestariannya, itu saja cukup bagi perempuan. Sehingga sangat sulit menemukan perempuan yang tidak berparas cantik. Itulah memang potret perempuan masa kini yang diharapkan sebagai penerus Kartini.
Apakah Kartini yang dulu cantik? Sudah pasti tidak ada yang bisa menjawab dengan jawaban yang seratus persen benar. Sebab, wajah Kartini yang sering kali terpangpang lewat slogan-slogan ucapan selamat atau kutipan kata-kata bijaknya, bisa jadi hanya sketsa dari hasil imajinasi, atau memang penyaluran seni seorang pelukis berdasarkan raut wajah dari Kartini yang pernah ia jumpai.
Kalau boleh pinjam pendapat Armijn Pane dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang, ada tiga perkara yang membuat kartini dan surat-suratnya begitu penting dan patut menarik perhatian, ialah Cita-cita, Perjuangan dijiwanya dan perjalanan rohaninya yang berubah lambat laun dan gaya bahasanya. Kesemuanya itu merupakan akulturasi dari kepribadian Kartini sendiri.
Sayangnya, saat menelaah cita-cita dan goresan sejarah perjalanan hidup kartini, kita seakan digiring pada corak pemikiran barat, yang pada dasarnya seakan ada upaya pemberontan dari golongan matriarki terhadap kaum patriarki. Sehingga tidak ayal jika pemikiran kartini acap kali ditolak dan ditentang oleh para mufassir ideologinya. Padahal tinta sejarang tentangnya belumlah kering, namun masyarakat Indonesia sendiri sudah terbata-bata membaca sejarahnya. Terlebih seiring berjalannya waktu emansipasi wanita seakan merupakan perwujudan dari liberalisasi dan feminisasi. Apalagi feminisme selalu terpandang sebagai racikan konspirasi orang barat untuk meruntuhkan generasi-generasi muslim secara umum dan muslimah secara khusus.
Sebagaimana tulisan Asma Karimah dalam bukunya Tragedi Kartini, bahwa sesungguhnya Kartini ingin meninggalkan semua itu, ingin rasanya ia kembali kepada fitrahnya. Hakikatnya perjuangan Kartini adalah perjuangan untuk menjadi muslimah sejati. Bukankah agama islam fleksibel? Tidak ada larangan bagi seorang perempuan untuk menempuh jenjang pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi! Dan itu memang titik point penting perjuangan Kartini.
Coba kita cermati cita-cita Kartini dan perjuangannya yang banyak disalah artikan: “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-sekali kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri kedalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Corak pemikiran yang demikian adalah pemikiran islami. Namun karena kebebasan menafsiri ideology, maka pemikiran yang demikian seakan berubah menjadi monster menakutkan yang bernama emansipasi dan seakan bertentangan dengan tata nilai islami. Lagi-lagi jika mengutip dari buku diatas maka pemikiran Kartini memang merupakan sari-sari perkembangan pemikiran islam yang tidak boleh statnan yang pada akhirnya akan jumud. Misal, kumpulan suratnya yang fenomental berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan adofsi dari minaddlulumati ilan-Nur sebagaimana tafsiran dari Prof. Dr. Haryati Soebadio yang meupakan cucu RA. Kartini. Tidak bisa malah menjustis bahwa pemikiran Kartini merupakan konstruk dari barat.
Indonesia pastinya masih membutuhkan sesosok perempuan yang merupakan reinkarnasi dari RA. Kartini bahkan jika ada yang melebihinya. Dan perempuan-perempuan saat ini merupakan Kartini harapan masa kini. Namun bukan hanya Kartini yang elok dipandang, kita membutuhkan Kartini yang siap berjuang mengimplementasikan seabrek cita-cita mulianya, dengan kesucian perjalanan rohani sebagaimana RA. Kartini yang sesungguhnya.
Dan yang terpenting adalah kita tidak bisa terkungkung dalam seremonial perayaan, yang hanya menghamburkan pembiayaan saja, lepas itu tidak ada kabar akan tumbuh dan berkembangnya bibit Kartini baru. Seharusnya wujud terima kasih tidak bisa hanya dalam satu kali/sehari perayaan sebab perjuangannya tidak hanya satu hari, pun seperti perayaan kemerdekaan. Lebih relevannya manakala kita mampu menumbuhkan kepribadian dan semangat juang sepanjang hari sebagai wujud terima kasih atas jasa dan pengorbanan mereka.