Beranda Opini Kitab Kuning sebagai Khazanah Klasik Keilmuan Islam

Kitab Kuning sebagai Khazanah Klasik Keilmuan Islam

0

Oleh : Ahmad Syalabi Mujahid, S.Si*)

Khazanah intelektualitas Islam sejatinya telah tumbuh sejak Islam itu lahir tepatnya ketika Rasulullah Saw mulai menyebarkan risalah agung ini kepada Bangsa Quraisy di Tanah Arab. Seiring perkembangannya, dinamika yang terjadi dalam tumbuh kembang Agama Islam turut memberi andil yang besar terhadap perkembangan keilmuan keislaman baik dari aspek politik, geografi, social, dan budaya. Pada akhirnya, kita temukan pada masa sekarang beragam cabang keilmuan keislaman dengan pembahasan yang sangat kaya dan bervarian.

Di antara ragam jenis keilmuan tersebut, beberapa kalangan kemudian mencoba membagi dan membuat pengelompokan besar atas cabang ilmu yang berkembang dalam Islam. Salah satu yang berhasil merangkumnya adalah Imam Jalaluddin as-Suyuti. Ulama bermazhab Syafi’I dan penulis 571 judul kitab ini menurut Abdurrahman Wahid (2006) telah berhasil menyusun segala jenis keilmuan Islam dalam sebuah silabus yang dirangkumnya dalam kitab berjudul “Itmamu al-Dirayah Li Qurra’i al-Niqayah”.

Menurut as-Suyuti, kajian keislaman yang kita kenal dewasa ini dapat dibagi menjadi 14 macam disiplin ilmu antara lain Tauhid, Tafsir, Hadits, Fikih, Usul fikih, Tasawuf, Bahasa Arab, Nahwu, Shorrof, Balaghah dan Tajwid, Mantek dan Akhlaq dan sebagainya. Di tiap disiplin ilmu terbagi lagi menjadi sedemikian rupa cabang bahasan dengan dinamika perbedaan mazhab dalam bidang kajian yang dimaksud.

Jadi, bukan hanya fikih saja yang memiliki mazhab-mazhab sebagaimana yang sudah kita pahami dengan adanya varian mazhab mulai Hanafi, Maliki, Syafii, ataupun Hambali, tetapi di cabang keilmuan lain pun terdapat beberapa mazhab sebagai bentuk kekayaan khazanah intelektual keislaman. Dalam Tauhid kita kemudian dapat mengenali perbedaan antara mazhab Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Mujassimah, Khawarij, dan sebagainya.

Dalam Tasawuf, kita dapat temui mazhab sunni dan mazhab falsafi dengan masing-masing tokoh besarnya yang terus menjadi bahan kajian dan praktek para pelaku tasawuf di dunia. Pun demikian halnya dalam hal ilmu nahwu (ilmu gramatikal bahasa Arab). Dalam cabang ilmu ini kita dapat mengenal mazhab Kufah dan Mazhab Basrah yang menjadi kajian menarik bagi para pemerhati bahasa Arab.

Silabus yang berhasil dimodifikasi oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi tersebut kemudian diadopsi oleh berbagai kelembagaan Islam tradisional di Indonesia dan beberapa Negara belahan dunia lainnya. Istilah Islam tradisional sendiri merupakan suatu istilah yang sengaja disusun untuk menyebutkan identitas salah satu kelompok besar dalam pergulatan keilmuan Islam yang eksistensinya terlihat jelas dalam dunia peradaban Islam dengan corak dan tradisinya sendiri.

Penggunaan istilah ini setidaknya untuk lebih mudah dilakukan konfrontir dengan kelompok yang satu lagi yaitu Islam Modern. Untuk lebih mudahnya, Islam Tradisional merupakan identitas dari kelompok Islam yang diwakili oleh ormas NU, NW, Mathla’ul Anwar, dan sebagainya dengan segala corak tradisi yang terus dipertahankannya dari masa ke masa.

Berbeda dengan hal itu, terdapat kelompok Islam Modern yang dapat direpresentasikan oleh ormas Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, LDII, Tarbiyah, dan lain sebagainya dengan doktrin keterbukaan ijtihad, al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah (kembali ke Kitabullah dan Sunah), anti kejumudan, beserta serangan-serangan mereka terhadap praktik yang mereka kategorikan sebagai TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat).

Demi mempertahankan segala serangan klaim, argumen, maupun nash-nash yang digunakan kelompok Modernis, kelompok Islam Tradisional telah memiliki seperangkat keilmuan yang dapat dijadikan landasan ilmiah atas amaliyah yang terus dipraktikkannya hingga saat ini. Tak mengherankan jika dari 14 cabang keilmuan sebagaimana dijabarkan oleh as-Suyuthi terus dikembangkan di lembaga pendidikan keislaman tradisional, baik dalam bentuk Pondok Pesantren, Madrasah, Dayah, Kerbung, berikut majlis-majlis taklim dan majlis dzikir hingga saat ini.

Landasan keilmuan yang telah diwariskan dan diajarkan dari generasi ke generasi oleh kelompok ini sejatinya adalah salah satu modal utama untuk mengantisipasi terjadinya gesekan-gesekan keilmuan yang kerap terjadi antara kelompok mereka dengan kelompok modern. Untuk mengakomodir silabus ini, kelompok Islam Tradisional terus mengembangkan kerja-kerja intelektual yang dapat dilihat dari ribuan judul buku yang identik dengan kajian keislaman tradisional.

Buku-buku tersebut umumnya ditulis dalam bahasa Arab karena ditulis oleh para Ulama salaf yang berasal dari Arab. Kalaupun banyak Ulama non Arab (baca : Ajam) yang turut andil memperkaya khazanah keilmuan Islam dengan judul buku berbahasa Arab, itu lebih karena keyakinan mereka bahwa bahasa Arab jauh lebih luas jangkauan pembacanya disamping faktor kepercayaan akan kemuliaan Bahasa Arab itu sendiri.

Karena didominasi Bahasa Arab, buku-buku tersebut kemudian lebih populer disebut sebagai “kitab”, sebuah makna yang sama dengan “buku” tapi dalam bahasa Arab. Untuk lebih memperjelas identitas kelompok “kitab” yang dimaksud, ditambahlah satu kata lagi yaitu “kuning” sehingga lengkaplah menjadi satu frase “kitab kuning” yang artinya kitab yang kertasnya berwarna kuning.

Menurut Azyumardi Azra (1999), kitab kuning memang tidak semuanya ditulis dalam bahasa Arab melainkan ada juga yang ditulis menggunakan bahasa Melayu, bahasa Jawa, Bahasa Sunda, dan bahasa lokal lainnya di Indonesia. Tetapi yang menjadi kesamaan dari hampir keseluruhan kitab kuning yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam Tradisional adalah sistematikanya yaitu berbicara mengenai ilmu keislaman; fiqih khususnya, ditulis dengan huruf Arab baik berbahasa Arab atau Melayu maupun Jawa (yang kemudian disebut dengan tulisan Arab Pegon), serta tidak menggunakan harakat/syakal (tanda baris dalam huruf Arab) alias kitab gundul.

Istilah Kitab kuning juga disematkan terbatas pada beberapa kitab yang sudah diakui (mu’tabar/ bonafid) jadi tidak semua kitab berbahasa Arab dapat disebut sebagai “Kitab Kuning”, karena beberapa kitab berbahasa Arab jika terang-terangan berseberangan dengan pandangan haluan Ahlussunnah wa Jamaah al-Asy’ariyah akan sangat jarang mendapat pengakuan dari khalayak pesantren sebagai kitab kuning yang layak dibaca. Sebagai misal, Hadratussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari, seperti yang ditulis Martin Van Bruinessen (1995), meskipun secara pribadi mengagumi kitab tafsir karya Muhammad Abduh tokoh reformis Islam dari Mesir, beliau tidak merekomendasikan kitab tersebut dibaca oleh santri-santrinya karena Abduh disinyalir mengalamatkan hujatannya kelompok Ulama tradisional.

Pun demikian halnya oleh beberapa kyai, kitab-kitab Ibnu Taimiyah tidak pernah direkomendasikan pengajarannya di pesantren meskipun dalam beberapa kasus dalam menyusun fatwanya mereka tidak jarang mengutip beberapa pernyataan dar Ibnu Taimiyah. Hal ini kemudian diartikan sebagai bentuk penolakan kalangan pesantren terhadap ide-ide yang dikembangkan Ibnu Taimiyah yang dianggap tidak mu’tabar di kalangan mereka.

Keterkaitan kitab kuning sebagai bahan kajian intelektualitas kalangan Islam Tradisional (baca: pesantren) dengan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam Tradisional demikian kuat sehingga yang satu menjadi syarat akan keberadaan yang lain. Zamakhsyari Dhofier (1984) dalam hasil penelitiannya menyebutkan tentang adanya unsur-unsur pesantren yang terdiri dari kiai, santri, masjid, surau dan kitab kuning yang satu sama lain tidak bisa dihilangkan. Pondok pesantren tidak dapat dikatakan sebuah pesantren jika tidak berlangsung pembelajaran kitab kuning di dalamnya. Jadi, lembaga pondok pesantren harus menyelenggarakan pengajian kitab kuning dengan berbagai jenis cabang keilmuannya.

Memang, tidak semua cabang keilmuan yang diterangkan oleh as-Suyuti dapat dipelajari dari satu pesantren. Karena tradisi keilmuan pesantren mengisyaratkan adanya spesialisasi keilmuan dalam pribadi guru-guru yang kemudian disebut dengan kyai, ustadz, atau tuan guru selaku pengasuh pondok pesantren. Sehingga akan sering kita dengar bahwa KH. Sahal Mahfuz – Kaji Paten misalnya, adalah seorang kyai dengan spesialisasi keilmuan dalam fan Fiqih, KH. Turaichan Adjhury –Kudus adalah kyai yang bonafid dalam fan ilmu Falaq, KH. Romly Tamim – Jombang adalah ulama tasawuf dan lain sebagainya.

Untuk itulah, seorang santri (muridnya kyai) dituntut untuk memiliki kesempatan yang luas untuk berburu ilmu pada banyak guru tentu dengan kontrol yang sangat ketat dari sang guru tersebut. Dalam salah satu bait syair yang dinukilkan dalam kitab Ta’limul Muta’alim karya az-Zarnuji; sebagai salah satu rujukan metode belajar para santri; disebutkan syarat menuntut ilmu ada 6 (enam) hal yaitu kecerdasan, kemauan, sabar, biaya (pengorbanan materi/ waktu), petunjuk guru dan dalam tempo waktu yang lama.

Tantangan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam Tradisional saat ini adalah dengan berubahnya zaman, berkembangnya pola pikir dan pandangan-pandangan yang lebih liberal dalam bidang pendidikan, ditambah dengan campur tangan pemerintah yang memaksakan pelaksanaan kurikulum yang telah disusun dengan anggaran yang begitu mahal menyebabkan tradisi keilmuan yang dahulu pernah Berjaya dan didengung-dengungkan mampu menangkis beragam serangan kelompok Islam Modern disamping tujuan utamanya yaitu mencetak kader pemimpin umat dan ulama seakan-akan semakin perlu dikritisi.

Kurikulum yang memaksa lembaga-lembaga pendidikan Islam Tradisional bertransformasi menjadi lembaga pendidikan Islam Modern atau bahkan menjadi sekolah sekuler sangat tidak memerdekakan para kyai dan santri untuk menjalankan 6 (enam) syarat menuntut ilmu sebagaimana didoktrinkan melalui pengajaran kitab karya az-Zarnuji, terlebih dalam kaitannya dengan syarat “waktu yang lama”. Dahulu para santri tidak mengenal waktu untuk belajar di pondok pesantren, yang terjadi adalah para santri akan terus tinggal belajar di pondok sampai sang Kyai mengizinkan mereka untuk pulang kampung.

Dalam kasus lain, seorang santri tidak diperkenankan keluar sampai benar-benar telah mengkhatamkan beberapa judul kitab berikut penguasaan yang mendalam atas kitab-kitab tersebut. Jadi ketajaman naluri Sang Kyai benar-benar digunakan untuk menentukan tempo yang dibutuhkan seseorang dalam mengenyam pendidikan darinya.

Sedangkan sekarang, usia sekolah sudah dikelompokkan secara baku mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, S-1 bahkan S-2 seluruh jenjang pendidikan tersebut telah memiliki kurikulum baku yang mengisyaratkan adanya prinsip efesiensi waktu. Dengan pembagian jenjang pendidikan seperti itu, sangat sulit diparalelkan dengan metode pengajian kitab kuning yang juga memiliki tingkatan-tingkatan berjenjang. Kalaupun ada beberapa lembaga yang memodifikasi kurikulum yang tersedia dengan menambahkan kajian kitab kuning di dalamnya, tampaknya tidak lebih dari penambahan yang sifatnya ekstrakurikuler.

Kitab kuning harusnya tetap dipandang sebagai salah satu bagian besar dalam khazanah keilmuan Islam yang didalamnya terkandung sumber-sumber ajaran Agama Islam sebagai bahan bimbingan perjalan hidup seorang Muslim dalam hidup di dunia maupun akhirat. Dengan mengakui dan mempertahankan kitab kuning sebagai salah satu khazanah kekayaan intelektual yang dimiliki umat Islam, kita dapat terus bergerak melakukan perubahan-perubahan mendasar atas kondisi sosial kemasyarakatan yang dihadapi.

Semakin menurunnya minat kajian terhadap kitab kuning yang ditandai dengan dominasi penerapan kurikulum pemerintah di lembaga-lembaga pendidikan Islam Tradisional seperti Pondok Pesantren dan Madrasah sehingga posisi kitab kuning beserta Kyai-nya tersingkirkan secara perlahan sama halnya dengan menenggelamkan kembali mutiara keilmuan Islam yang telah pernah berhasil diangkat dan dikuasai para intelektual Islam di tempo dahulu. Wallahua a’lam bis showab.

*) Penulis merupakan alumni PW’03 yang pernah ikut Batra HMI MPO Tahun 2004, sekarang ikut ngajar kitab Kuning di Ponpes Darul Muhajirin Praya di malam hari, sedangkan siangnya digunakan untuk mengabdi pada Negara sebagai seorang ASN di Bappeda Kabupaten Lombok Tengah.

Tinggalkan Balasan