

Oleh : Ahmad Idham Nur (HMI Cabang Makassar Timur)
Editor: Taufik
Dalam konsep Islam, alam semesta adalah wujud atau eksistensi Tuhan dan mencerminkan tanda kebesaran-Nya. Alam semesta tidak mampu dilihat dengan mata kepala manusia, karena penglihatan mata kepala manusia sangat terbatas.
Alam Semesta sebagai eksistensi Tuhan dalam kehidupan ini, meliputi langit, bumi, gunung dan lain sebagainya. Oleh karena itu langit adalah alam semesta, bumi adalah alam semesta, demikian gunung pun alam semesta. Sebagai ciptaan, langit bumi dan seisinya diciptakan melalui proses penciptaan yang fundamental, yaitu melalui proses yang mensyaratkan adanya pencipta, waktu, bahan, tujuan, ukuran, serta didalamnya ada mekanisme hukum yang bekerja otomatis, yang secara internal mengatur kehidupannya.
Alam Semesta sebagai eksistensi Tuhan tidak terbatas, yang terbatas adalah wujud keseluruhan sejenis dari bagian alam semesta seperti langit, bumi dan seisinya. Oleh karena itu wujud dari keseluruhan sejenis ini akan senantiasa bergerak menuju kehancuran. Alama semesta sebagai eksistensi Tuhan hanya mampu dipahami melalui kemampuan intelek pada dimensi spiritualnya.
Jika direnungkan lebih mendalam, sesungguhnya dilihat dari eksistensinya, ada tingkatan-tingkatan wujud yang bersifat hierarki dalam gradasinya. Wujud tertinggi adalah eksistensi Tuhan itu sendiri, menjadi awal sekaligus akhir segala yang ada, kemudian alam semesta sebagai wujud eksistensi-Nya, metafisik, gaib, tak terbatas, kemudian alam besar yang menjadi kumpulan sejenis, abstrak dan ditangkap melalui konsep.
Setiap materi senantiasa bergerak. Gerak merupakan ukuran kehidupan yang sifatnya mencair dan mengalir. Mencair dalam pengertian ini selalu mencari bentuk-bentuk sintetik, sedangkan mengalir adalah pergerakan kehidupan menuju ke asal usulnya. Mulla Sadra membuktikan secara filosofis bahwa gerak tidak hanya mengenai fenomena alam dan permukaan aksiden, tetapi gerak fenomena itu hanyalah satu aspek yang bersumber dari gerak subtansial alam, bersumber dari zat yang paling esensial yg sejatinya tidak dapat dipisahkan dari jiwa universal yang sifatnya menghidupkan. Dengan kata lain bersumber dari jiwa yg tunggal.
Penciptaan Manusia
Hakikat manusia tidak dilihat dari unsur-unsur yang membentuk dirinya, pada orientasi be4fikir mencari subtansi pokok yang melatarbelakangi eksistensinya tetapi hakikat manusia semestinya dilihat pada tahapan sebagai Nafs, keakuan, diri, ego, dimana tahapan ini, semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasinya pada perbuatan atau amalnya.
Secara moral manusia lebih jelek dari malaikat dan secara subtansial lebih jelek dari setan, akan tetapi secara konseptual manusia lebih baik dari keduanya. Ada fitrah atau kecenderungan yang kemudian berikan kepada manusia salahsatunya kecenderungan akan kreasi yakni kemampuan menciptakan, suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh keduanya, itulah sebabnya Tuhan memerintahkan kepadanya untuk tunduk walau setan tidak mau sehingga mengancam serta menjadi musuh abadi manusia agar kemampuan kreatifnya ditundukkan oleh kemauan hawa nafsunya, sehingga manusia mempertuhankan hawa nafsunya.
Pada hakikatnya tujuan hidup manusia yaitu kmbali kepada sang Khalik/Tuhan. Pertemuan kembali itu bersifat inmateri. Secara materi manusia memang tidak kembali kepada Tuhan, tetapi kembali ke asal Materi yang membentuk jasadnya.
Dalam konsep tauhid, proses kembali kepada sang Khalik yaitu pertemuan nafs terbatas pada diri manusia dengan nafs Mutlak Tuhan.