
FoOleh: Samsul Arifin *
YAKUSA.ID – Al-Qur’an merupakan firman Tuhan yang diturunkan kepada nabi muhammad SAW melalui malaikat jibril, orang muslim mengatakan kitab mulia (Al-adzim) kitab sebagai pedoman dalam hukum, sosial dan budaya. Kitab yang mengandung ribuan bahkan jutaan sastra yang bisa mengalahkan sastra-sastra yang telah diajarkan di sekolah dan pondok-pondok, artinya gramatikal bahasa arab tidak bisa mewakili keserpurnaan sastra yang dimiliki oleh Al-Qur’an. Begitu dengan teksnya, tulisan dalam Al-Qur’an bisa menyembuhkan orang sakit, kena rasukan jin, luka-luka, bisulan dan sebagainya, ini cukup dibacakan ayat-ayat syifa’ (penyembuh), hebatnya lagi terdapat ayat A’adzom (agung), satu ayat terdapat semua kandungan huruf hijaiyah. Dan itu hanya ada ayat dalam Al-Qur’an, seperti surah Yasin, Waqi’ah dan Tabarak ini juga disebut surah Al-a’dzam, karena dari ayat, surah, juz bahkan huruf-hurufnya semua dapat dihitung secara detail, keagungan dan kemulyaannya sangat berbeda dengan kitab lain.
Firman-Nya yang diturunkan secara beransur-ansur, bukan sekaligus menjadi lampiran-lampiran (mushaf) seperti kita baca sekarang. Turunnya sesuai dengan kejadian yang rosulullah hadapi dengan kaumnya, karena proses menerimaan wahyu merupakan mukjizat paling besar setelah memecahkan bulan, dan sampai sekarang bekas pecahan masih ada, sebagian ilmuan mengatakan itu. Rosulullah nabiuna Muhammad, nabi terakhir walaupun sama-sama manusia, namun mempunyai hal keterbedaan pada umumnya Laqab Asma beliau diantaranya al-amin (dipercaya), al-mustofa (pilihan) dan sifat lainnya yang dijuluki oleh istrinya, Sayyidah Aisyah dengan “Khulukuhul Qur’an” menjadi bukti kepantasan diteladani oleh pengikut dan ummatnya. Namun, tidak semua sifat dan perbuatan rosulullah dapat teladani oleh ummatnya seperti istrinya sampai 11, yang beliau kawini padahal dalam islam poligami yang diperbolehkan dalam syar’i tidak lebih dari empat. Berbagai referensi menyebutkan Rosulullah menikahi wanita sebanyak itu, bukan untuk bersenang-senang dan hiburan. Rosullullah menikahi wanita atas perintah allah SWT untuk menjadikan wanita yang hebat taat dan patuh kepada allah SWT dan wanita-wanita itu merupakan tujuan “Lidda’I Ilallah”.
Walaupun nikah menjadi urgensitas dalam islam, namun menjaga kesholehan dan kepatuhan para wanita terhadap perintah Allah SWT itu lebih penting dari pada nikah hanya dijadikan tujuan utama, padahal mendidik isrti, anak dan memelihara keluarga serta memenuhi hak-hak kebutuhan dhohir dan batinnya mereka jauh lebih penting dari pada nikah semata. Sebenarya bukan hanya agama islam yang medefinisikan wanita sebagai perhiasan dunia, di luar islam pun mereka mengatakan wanita itu indah, cantik dilihat menebar pesona dan asmara yang putih terkesan ayu, yang hitam terpandang manis yang merindu, karena setiap perbedaan bagi wanita tidak menjadi masalah, tetap membuat tumpuan dan idaman bagi para lelaki. Walaupun secara mendasar pria dan wanita masalah gender (kelamain), jadi masalah dosa poksinya sama apalagi urusan kebaikan, sama-sama mendapatkan balasan (Jaza’) dari yang kuasa, Al-Qur’an menyebutkan Q.S. an-Nisa’ (4): 32 inilah bukti keadilah allah SWT pada hambanya (pria dan wanita) tergantung apa yang ia usahakan, tidak memilih itu pria atau wanita, baik dari hak-hak, usaha dan pekerjaannya pasti mendapat balasan tidak beralaskan gender (kelamin).
Namun sebelumnya bagi kalangan wanita sepakat ketika masuk pasca nikah tidak suka dipoligami, utamanya para wanita milinial dewasa ini secara fakta mereka akan beranggapan kehilangan romantisme menuju kesempurnaan dalam berkeluarga akan rapuh sulit dapat diraih, maka, para mufassir kontemporer ikut memberikan sumbangsih pemikirannya, seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Hans Georg Gadamer dan yang lain karena pembealaan mereka terhdap wanita terbukti dari wacananya: Tradisi poligami untuk diaplikasikan era sekarang tidak layak yang berimplikasi terhadap wanita tidak diperlakukan secara adil dan penyebab kerusakan mural, bukan tidak memberlakukan Surah An-Nisa’ ayat 3. Karena terlihat jelas sebeleum lafadz “ma thabalakum” yang kamu senangi yaitu “Alla Tuqsitu” mampu berlaku adil, dari lafadz “Wain Khiftum Alla….” dan seorang mufassir perempuan, Amina Wadud Muhsin dengan pendapatnya perempuan boleh dipoligami asalkan menikahi anak yatim, janda dan perempuan mandul agar status seorang pria bukan hanya memilih wanita yang ia senangi karena keayuan dan kecantikannya. Namun, menafkahi dan menyantuni itu lebih diharapkan bagi para wanita dan itu menjadi tanggung jawab para suami.
Amina Wadud , hebatnya beliau mampu mengkomparasikan Surah An-Nisa’ ayat 3 dan 129 yang sama-sama membahas tentang keadilan suami terhadap istrinya. pembelaan mufassir komtemporer terhadap wanita agar tidak ada dikotomi gender atas dasar kesataraan sosial masyarakat. Fokos mufassir kontemporer pada kajian kontekstual lebih diperdalam untuk menghasilkan pemikiran pembelaan. Dan mereka menemukan pemikiran ini dibantu atas instrumenasi Hermeneutika-modern untuk membangun pemikiran yang sistematis dan dinamis juga sebagai implikasi wanita yang dikerdilkan kecil dimata pria, padahal terciptanya harapan yang dimiliki oleh para lelaki dalam berumah tangga akan tercapai atas dukungan seorang wanita, sifat patriaki secara garis besar hanya berlaku pada mufassir klasik yang medepankan tekstual dari pada kontekstual, karena melihat reformasi sosial-budaya sekarang.
Probolinggo, 27 Oktober 2022
*) Penulis adalah Mahasiswa Univesitas Nurul Jadid dan Pengurus Cangkruk Literasi Wil Zaid Bin Tsabit PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo