Beranda Opini Menerjemahkan Kembali Literasi Inklusif di Lingkungan Sekolah dan Perpustakaan Desa

Menerjemahkan Kembali Literasi Inklusif di Lingkungan Sekolah dan Perpustakaan Desa

1

Oleh : Muh Kasim*

Membaca adalah salah satu aspek yang sangat monumental dalam kehidupan masyarakat, sebab dari membaca seseorang sangat memungkinkan mengetahui banyak hal secara cepat dan luas. membaca tentunya tidak hanya diartikan mengadopsi serta memahami teks-teks yang berjejer di sebuah kertas bacaan, namun membaca secara substansial ialah memahami dan mencermati segala aspek di lingkungan sekitar baik yang bersifat sebagai penemuan baru maupun problem-problem yang berkembang di masyarakat sekitar.

Kita sepakat dengan ungkapan Ws. Rendra bahwa tindakan adalah pembuktian kata-kata, segala aspek yang dipahami di lingkungan sekitar harusnya menagih nalar kita untuk menghadirkan solusi terhadap problem yang terjadi disekitar kita. Pada satu kondisi tertentu, hasil bacaan harus dikombinasikan dengan pembacaan kita dengan lingkungam sekitar. Sebab itu adalah bukti bahwa kita senantiasa membaca.

Berdasarkan data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat Indonesia sebesar 63,9 poin pada 2022. Skor tersebut meningkat 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya yakni 59,52 poin. Menjadi satu hal yang sangat menarik melihat data di atas, kegemaran membaca meningkat setiap tahunnya. Yah mungkin saja karena lebih dimudahkan dengan adanya literasi berbasis digital. Namun pada sisi yang lain, saya melihat sebuah ironi adanya privatisasi perpustakaan dan tidak maksimalnya aktualisasi literasi inklusif di desa dan lingkungan sekolah.

Berdasarkan Perka PNRI no. 6 tahun 2017 tentang standar perpustakaan desa/kelurahan bahwa “Perpustakaan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa/kelurahan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan pengembangan perpustakaan di wilayah desa/kelurahan serta melaksanakan layanan perpustakaan kepada masyarakat umum yang tidak membedakan usia, ras, agama, status sosial ekonomi dan gender”.  Perpustakaan dalam bingkai literasi inklusif seharusnya memberikan pelayanan yang terbuka bagi setiap kalangan dan lebih mendekatkan diri pada pusaran masyarakat tanpa ada embel-embel perbedaan. Apatalagi hal ini sangat jelas diatur dalam undang-undang, namun pada faktanya perpustakaan di desa maupun di lingkup sekolah sama sekali tidak mempertimbangkan aspek psikoligis masyarakat.

Dari hasil pengamatan di lapangan, kebanyakan perpustakaan desa ditempatkan di kantor desa, sehingga untuk mengakses itu setiap masyarakat terbatas dan secara psikologis masyarakat kadangkala ciut dan segan untuk masuk apatalagi membaca di kantor desa. Yang kemudian, tidak jarang buku-buku menjadi usang dan rak-rak buku menjadi lapuk tak terurus.

Seharusnya pemerintah desa berinisiatif menempatkan perpustakaan-perpustakaan desa di tempat yang mudah di akses masyarakat dan tidak ada batasan untuk siapa saja mengaksesnya. Karena saya berpikir bahwa perpustakaan desa dihadirkan sebagai solusi untuk menarik minat baca masyarakat, maka darinya jangan dijadikan sebagai hal yang reme-teme yang justru disorientasi. Namun pada sisi yang lain TBM (Taman baca masyarakat) atau komunitas baca didesa lebih epektif melaksanakan tugas-tugas pembangunan literasi di desa. Hal ini menjadi hal yang sangat berharga untuk kemajuan dunia literasi ke depan.

Jika perpustakaan desa tetap menyajikan wajah yang seperti ini, maka bisa dipastikan perpustakaan desa hanyalah sebuah program yang utopis dan sifatnya abstrak. Lalu mengapa pemerintah desa tidak memiliki inisiatif untuk memberdayakan pegiat-pegiat literasi di desa-desa untuk mengelolah perpustakaan di desa?. Perlu kiranya reformulasi untuk memaksimalkan kehadiran perpustakaan di desa ini, sebab ini adalah fostulate untuk mengubah cara berpikir masyarakat desa. Maka, harus dimulai dari lingkup yang paling atas secara hierarkis menyajikan metodelogis yang lebih efektif dan tepat sasaran.

Namun, justru hal ini tidak hanya terjadi di lingkungan desa. Di lingkungan sekolah pun kebanyakan perpustakaan ditempatkan di kantor dan sekitar kantor. Mungkin saja secara kontroling sangat efektif, namun justru ini akan menjadi batasan tersendiri untuk siswa yang memiliki minat baca, karena psikoligi anak yang segan keberadaan guru sehingga harus mengubur keinginannya untuk menjadi kutu buku. Maka sudah seyogyanya perpustakaan di sekolah lebih inklusif. Semoga dengan tulisan ini literasi inklusif bisa sejalan dengan program-program perpustakaan yang ada didesa dan bahkan lingkup sekolah.

*) Penulis merupakan Ketum HMI Cabang Takalar.

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan