

Oleh. MOH KHOROFI (BPL Jatim)
Apa itu Jahiliyah? Umumnya saat ini jahiliyah hanya dimaknai sebagai sekelumpok masyarakat yang minim akan ilmu dan pengetahuan sehingga mamiliki perilaku yang tidak terpuji, hal tersebut dikonotasikan pada masayarakat Arab pra-Islam yang dalam sejarahnya mereka mengalami dekadensi moral seperti perzinahan, mencuri, perbudakan, dan sebagainya.
Kemudian seiring dengan diutusnya Muhammad sebagai Rasul terakhir dari kalangan masyarakat Arab, kejahiliyahan pun semakin berkurang, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan landasan bahwa kejahilan telah hilang dikalangan masyarakat Arab, dan pada umumnya dikalangan masyarakat Dunia.
Di era Milenial ini, rata-rata masyarakat Dunia khusunya masyarakat Indonesia telah mendapatkan haknya sebagai manusia yang harus mengenyam penddidikan. Hal tersebut dadasarkan pada UUD 1945 pasal 31 tentang hak dan kewajiban yang berbunyi “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sehingga dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa salah satu kewajiban Negara adalah memastikan setian anak yang hidup dibumi pertiwi ini mendapatkan pendidikan yang layak dan berprikemanusiaan.
Seiring dengan majunya pendidikan Dunia, khusunya di Indonesia, seharusnya membuat masyarakat tersebut dewasa dalam melihat kebenaran yang ada, dan tidak langsung mengklaim bahwa orang lain salah dan hanya dirinya sendiri yang benar. Sikap dewasa semacam ini pada dasarnya merupakan bukti bahwa sekelompok masayarakat telah mendapatkan layanan pendidikan yang kemudian telah merubah karakternya menjadi orang yang lebih baik. Namun, yang terjadi saat ini masih terdapat beberapa orang, atau lebih tepatnya beberapa kelompok yang masih menggunakan pandangan subjektivitas kelompok sehingga berujung pada fanatisme yang berlebihan.
Fanatisme yang berlebihan merupakan sikap dimana seseorang cenderung menutupi kebenaran untuk membenarkan orang atau pandangan yang dia anut, dan hal tersebut dikalangan kaum intelektuan sering dikenal dengan istilah apologi. Sikap semacam ini merupakan merupakan salah satu sikap yang dianut oleh masyarakat arab pada diutusnya Muhammad sebagai seorang Nabi, karena mereka kenabian Muhammad yang notabene berbeda kafilah dengan orang-orang arab pada waktu itu.
Terdapat banyak kasus konflik social di Indonesia, salah satu diantaranya seperti kasus konflik social nelayan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur pada tahun 1974, konflik antara etnis Dayak dan etnis Madura pada tahun 1996-1997, konflik antara pendukung transfortasi online dan konvensional, konflik antara golongan pendukung Ahok dan kontra Ahok, dan yang terbaru adalah konflik antara pendukun Jokowi dan Prabowo pada Pilpres tahun 2019 kemarin. Beberapa konflik yang telah disebutkan tersebut adalah sebagian kecil konflik yang pernah terjadi di Indonesia yang muncul bukan karena pandangan objektivitas manusia, melainkan muncul dari pandangan subjektivitas manusia yang berujung pada fanatisme yang berlebihan.
Persoalan fanatisme yang berlebihan pada dasarnya merupakan suatu hal yang dapat mengancam persatuan bangsa. Tidak heran jika Baidowi (2015:166) mengatakan hiruk pikuk perdebatan mengenai keanekaragaman budaya dan agama masih berhenti pada tingkat wacana, belum sampai ke tingkat praksis. oleh sebab itu, penanaman nilai-nilai persatuan dalam konteks pluralitas bangsa secara terus menerus dan sistematis terhadap generasi muda merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan, dan tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan.
Dalam menanamkan nilai-nilai persatuan dalam konteks pluralitas bangsa, konsep Pendidikan Perdamaian (Peace Education) merupakan salah satu alternative konsep pendidikan yang dapat digunakan. Menurut UNICEF Pendidikan Perdamaian (Peace Education) pada prinsipnya merupakan proses memperkenalkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dibutuhkan untuk mewujudkan perubahan perilaku yang akan memungkinkan anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk mencegah konflik dan kekerasan, baik terbuka maupun struktural; menyelesaikan konflik secara damai; dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk perdamaian, baik secara intrapersonal, Interpersonal, intergroup, nasional atau internasional (Susan Foundation, 1999:1).
Adapun secara teknis implementasi dari konsep Pendidikan Damai (Peace Education) Menurut Wulandari (2010: 75-79) ada tiga macam alternatif penanaman nilai-nilai budaya damai di sekolah, yang pertama fokus pendidikan untuk mendukung perdamaian melalui lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi). Kedua, pendidikan perdamaian ditanamkan melalui mata pelajaran tersendiri atau melalui mata pelajaran yang sudah ada. Ketiga, penanaman pendidikan perdamaian melalui kegiatan ekstrakurikuler, dimana melalui kegiatan ini terjadi interaksi yang intensif antar siswa dan pembina yang kemudian dapat ditanamkan nilai-nilai perdamaian yang terintegrasi di dalamnya.
Sederhananya, Pendidikan Damai pada dasarnya lebih menitik beratkan proses belajar –mengajar di Sekolah pada aspek penanaman nilai-nilai (Transfer Values) terhadap peserta didik. Dan mengintegrasikannya dengan semua komponen yang terlibat dalam proses belajar peserta didik dalam kehidupan sehari-hari (keluarga, sekolah, dan masyarakat).
Reference
Baedowi, Ahmad, dkk. 2015. Potret Pendidikan Kita, Jakarta: PT Pustaka Alvabet
Wulandari, Taat. 2010. Menciptakan Perdamaian Melalui Pendidikan Perdamaian di Sekolah, Jurnal Mozaik IAIN Walisongo volume 5: 68-83
Susan Foundation. 1999. Peace Education in Unicef, New York United Nations: Children’s Fund Programme Publications 3 UN Plaza