
Oleh: Moh. Cholid Baidaie*
Indonesia, dengan populasi yang sangat besar, harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak lagi secerah dan seindah bonus demografi. Banyak generasi milenial di negara ini menghadapi risiko terjebak dalam Middle Income Trap (MIT), yaitu situasi di mana pertumbuhan ekonomi yang pesat tiba-tiba terhenti sebelum mencapai taraf negara berpenghasilan tinggi. Hal ini dapat menyulitkan generasi muda dalam mencapai stabilitas kelas menengah, dan pada akhirnya, dapat mengancam stabilitas ekonomi.
Dalam persaingan yang semakin ketat, suplai tenaga kerja dari berbagai tingkat pendidikan tidak selaras dengan permintaan dari sektor industri. Generasi milenial di Indonesia harus menghadapi tantangan ini, dan mencari cara untuk melewati jebakan pendapatan menengah agar dapat mencapai keberhasilan ekonomi yang stabil.
Persaingan dalam rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti perebutan tropi Liga Inggris (EPL), dengan formasi yang disediakan mensyaratkan pendidikan jenjang S1 atau S2. Tapi, apakah menjadi ASN merupakan “titik aman” dalam karir dan batu loncatan untuk lepas dari jebakan pendapatan menengah? Meski belum akurat pemberitaannya, publik merasa demikian.
Namun, bagi generasi milenial, jebakan pendapatan menengah (MIT) lebih kompleks dan melibatkan faktor-faktor seperti kemajuan teknologi dan globalisasi. Masalah pendidikan yang tidak cukup memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja semakin mempersulit para alumni program Diploma I, II, III, dan IV untuk mendapatkan akses ke dunia kerja dan memperoleh penghasilan yang layak.
Dalam konteks ini, teori tentang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan oleh Robert Solow pada 1956 menjadi relevan. Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada tiga faktor: modal, tenaga kerja, dan teknologi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas melalui pengembangan teknologi dan pendidikan yang lebih baik.
Oleh karena itu, investasi pertama yang perlu dilakukan adalah investasi dalam sektor pendidikan. Perguruan tinggi harus diperbaharui dan memperbanyak kerjasama dengan pelaku industri untuk menjadi jembatan langsung menuju sektor industri. Generasi milenial harus siap menghadapi tantangan baru dan mengambil langkah-langkah strategis untuk melepaskan diri dari jebakan pendapatan menengah dan meraih keberhasilan ekonomi yang stabil.
Generasi milenial di seluruh dunia harus siap menghadapi tantangan yang kompleks: jebakan pendapatan menengah atau middle income trap (MIT). Di Indonesia, angka bonus demografi yang tinggi telah memberikan harapan besar, tetapi kenyataannya, kondisi ini telah menciptakan persaingan yang sengit dalam mencari pekerjaan, bahkan untuk formasi yang membutuhkan pendidikan tinggi seperti Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut teori Solow, investasi dalam sektor pendidikan adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, karena pendidikan yang lebih baik dan teknologi yang lebih maju akan meningkatkan produktivitas dan menghasilkan lapangan kerja baru. Namun, faktor-faktor lain seperti kemajuan teknologi dan globalisasi telah membuat MIT semakin kompleks bagi generasi milenial.
Untuk mengatasi MIT dan membantu generasi milenial mencapai stabilitas ekonomi, pemerintah perlu menciptakan kondisi yang mendukung bagi pertumbuhan bisnis dan lapangan kerja baru, mempromosikan inovasi dan investasi dalam teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kemajuan ekonomi. Dalam hal ini, sektor industri termasuk pertanian, perkebunan, dan perikanan perlu dikembangkan menjadi rentetan industri berteknologi tinggi.
Dalam menghadapi MIT, solusi membutuhkan tindakan yang komprehensif dan berkelanjutan dari pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Kita harus bersama-sama mencari cara untuk mengatasi tantangan ini, sehingga generasi milenial dapat mencapai kestabilan ekonomi dan Indonesia dapat berkembang menjadi negara berpenghasilan tinggi.
*Cholid merupakan penulis lepas asal Bumi Ratu Pamelingan.