PAMEKASAN, YAKUSA.ID – Beredar di salah satu grup WhatsApp sebuah flayer seruan aksi yang akan dilakukan di Polda Jawa Timur.
Dijelaskan pula, dalam flayer tersebut menuangkan kalimat stop kriminalisasi nenek Bahriyah, kemudian hastag #masyarakat peduli nenek Bahriyah. Rencananya aksi digelar Senin 22 April 2024 nanti.
Di flyer itu, tertulis titik kumpul aksi tersebut di depan Mapolda Jawa Timur. Pada flayer tersebut juga memuat beberapa tuntutan, di antaranya pecat oknum-oknum di Polres Pamekasan perusak citra Polri, oknum Kapolres Pamekasan diduga berikan keterangan palsu bilang tanah nenek Bahriyah diperjualbelikan padahal tidak ada bukti jual belinya.
Kemudian, oknum kanit Idik III ngotot tetap lanjut proses pidananya sampai nenek Bahriyah jadi tersangka padahal kasus perdatanya sedang jalan dan sedang proses sidang di Pengadilan Negeri Pamekasan, oknum penyidik/penyidik pembantu Briptu “A.N” diduga kuat merubah “bukti tanah” dari bentuk awal pada saat melakukan pengukuran ulang pada Hari Jumat 27/10/2023 bersama oknum BPN.
Ada pun korlap aksi yang tertera dalam flayer tersebut yakni bernama Igusty Madani.
Berdasarkan penelusuran yakusa.id, Igusty Madani merupakan Direktur Utama (Dirut), pemimpin redaksi (Pemred) sekaligus editor detikzone.net, yang mengawal kasus nenek Bahriyah.
Nomor kontak yang tertera dalam flayer seruan aksi itu pun merupakan salah satu nomor kontak detikzone.net.
Menanggapi hal tersebut, ketua Forum Wartawan Pamekasan (FWP) Ongki Arista Ujang Arisandi mengatakan bahwa pers harus bersikap independen. Hal tersebut tertuang dalam pasal 1 kode etik jurnalistik, yang berbunyi ‘wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk’.
“Aneh rasanya, kalau ada pelaku pers, atau redaktur atau Pemred yang justru jadi korlap aksi terhadap isu yang dikawal di pemberitaan. Itu berarti sudah tidak independen dan bisa kita duga melanggar pasal 1 kode etik jurnalistik,” katanya kepada yakusa.id, Senin (15/4/2024).
Kemudian, kata Ongki, ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pers. Saat misalnya pelaku pers gelar aksi demo jadi korlap atas isu yang semula dikawal.
“Preseden buruk dimaksud, pers yang seharusnya kerja profesi secara profesional justru dicampuradukkan pada aksi-aksi demonstrasi yang notabene mestinya dilakukan oleh kaum aktivis/LSM,” ujarnya.
Dia pun berharap, media dan oknum pekerja pers ini jadi atensi bersama khususnya organisasi yang menaungi. “Ini juga menjadi atensi dan bisa kita laporkan ke Dewan Pers apabila ini nanti berdampak dan merugikan profesi wartawan secara keseluruhan,” tegasnya. (YAKUSA.ID-02/San)