Beranda Opini Penanganan Covid-19 Pada Prinsip Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Penanganan Covid-19 Pada Prinsip Desentralisasi dan Otonomi Daerah

0
Ilustrasi (Foto: Itb.ic.id)

Oleh : Andi Saputra (Kabid PPPA HMI Komisariat FKIP UNSRI)

Bermula dari kota Wuhan di Tiongkok, virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) menyebar ke berbagai negara di dunia dan menyebabkan timbulnya penyakit COVID-19 di mana-mana. Pada 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Kondisi ini jelas tidak boleh diremehkan karena hanya ada beberapa penyakit saja sepanjang sejarah yang digolongkan sebagai pandemi. Kemudian Di Indonesia tentang penanganan covid-19 dirasa banyak kebijakan-kebijakan yang dilayangkan, seperti Social Distancing atau pembatasan sosial. Kemudian ada beberapa daerah yang menetapkan kebijakan local lockdown, lalu baru-baru ini muncul isu Physical Distancing atau karantina wilayah, Dan lagi-lagi muncul kebijakan yang berbeda-beda
dari berbagai daerah, seperti kebijakan tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB).

Kemudian tulisan ini akan membahas beberapa hal yang berkenaan dengan korelasi antara desentralisasi dan otonomi daerah dalam penanganan covid-19. Secara historis Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2001 Indonesia telah memasuki era otonomi daerah dan desentralisasi. Kesemuanya ini peralihan masa orde baru ke masa reformasi, yang mana ini adalah hasil amandemen UUD 1945. Selama era reformasi telah ada 3 UU Pemda yang berbeda yaitu UU 22/1999, UU 32/2004 dan UU 23/2014. Tulisan ini hendak membahas Undang-undang pemerintah daerah (UU 23/2014) dan implikasinya terhadap daerah. Kemudian mencari celah bagaiamana sebenarnya Korelasi daripada penyelesaian ancaman covid-19.

Dalam hal ini perubahan paradigma dan implikasinya. Perubahan paradigma pemerintahan yang ditandai dengan perubahan kebijakan dari kekuasaan yang sentralistis ke desentralistis juga
akan mempengaruhi kebijakan yang di dominasi pusat ke kebijakan yang bernuansa daerah, dari model daerah. Secara umum, bisa dikatakan UU pemerintahan daerah yang baru (UU 23/2014) menunjukkan countinuity and chage, dimana pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
mengalami perubahan dan kesinambungan, ada yang berubah, tapi ada yang tetap.

Dari data BBC News Sebagai Suatu contoh, Sebelum Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan PSPB ada beberapa daerah yang sudah menerapkan kebijakan Pembatasan jam malam, dan ini banyak menuai keresahan dari berbagai masyarakat, karena akan mengurangi Pendapatan masyarakat yang bekerja pada malam hari. Inilah yang menjadi permasalahan, seorang sosiolog mengatakan pemerintah daerah ‘terburu-buru menetapkan jam malam karena kewalahan’ dan ‘luput mengukur dampak ekonomi’ bagi warga. Dalam peraturan PSBB yang diterbitkan pemerintah pusat, pemberlakuan pembatasan di wilayah perlu mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan. Artinya ada hal yang kontradiksi disini, terkait kebijakan daerah dan kebijakan pusat. Terjadi ketidak-harmonisan antara pemerintah pusat dan daerah, permasalahan serius ketidak-harmonisan hubungan pusat dan
daerah tak cukup hanya dijembatani melalui perbaikan UU saja, tetapi lebih penting dari itu adalah perlunya manifestasi konkrit political Will dan Political commitment dari para
stekholders terkait konsisten menjalankannya di tataran praksis. Resistensi daerah yang berlebihan terhadap kebijakan pusat juga perlu diakhiri dengan memperbaiki pola komunikasi sinergi dan koordinasi yang lebih baik dalam kebijakan-kebijakan penanganan covid-19.

Padahal prinsip dari desentralisasi dan otonomi daerah tidak jauh-jauh dari efektifnya KORBINWAS (koordinasi, Pengawasan dan bimbingan). Dan jika ini tidak segera digalakkan oleh pemerintah daerah dan pusat masing-masing jenjang pemerintahan akan jalan dengan kehendaknya sendiri. Dan tentu jika kebijakan tersebut tidak sesuai akan berdampak kepada ekonomi masyarakat.

Dalam perspektif demokrasi, pemerintah daerah adalah kumpulan unit-unit lokal dari pemerintah yang otonom, independen dan bebas dari kendali kekuasaan pusat. Dan juga dalam hal ini sistem pemerintahan daerah meliputi institusi-institusi dalam atau organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jelas rasanya bagaiamana kebijakan otonomi daerah juga menentukan bagaimana penanganan dari covid-19 di berbagai wilayah, karena kita ketahui juga bahwa dalam setiap kebijakan yang berbeda-beda dari setiap daerah menunjukkan bahwa keraguan akan prinsip dasar dari otonomi daerah, karena jika bicara covid-19 juga bicara tentang hak untuk hidup setiap warga negara.

Pada prinsip ini Indonesia harus sesegera mungkin untuk menunjukkan sebuah kesatuan dalam Penanganan dari ancaman covid-19. Karena sudah banyak contoh dari penanganan yang salah dan berimplikasi kepada keresahan masyarakat. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah memang memberikan kebebasan dan sifat independen kepada pemerintah daerah untuk melakukan kebijakan atau membuat perda dalam penanganan ini. Namun tidak juga untuk dilupakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah bukan memecah suatu kebijakan yang diperuntukkan kepada kepentingan bersama.

Desentralisasi sejatinya bertujuan politik dan ekonomi. Tujuan politiknya adalah untuk memperkuat pemerintah daerah (Pemda). Pemda, meningkatkan kemampuan aparat daerah dan masyarakat daerah dan mempertahankan integritas Nasional. Sementara tujuan ekonominya
adalah untuk meningkatkan kemampuan Pemda menyediakan layanan publik yang profesional dan terjangkau, efisien dan efektif. Dari kesemuanya itu dirasa perlu untuk dipahami dalam penanganan covid-19. Baik dalam kebijakan pemerintah daerah maupun pusat, prinsip gotong-toyong yang dicita-citakan Soekarno mungkin akan lebih tepat dalam setiap kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19.

Dari desentralisasi dan otonomi daerah mampu memberikan kontribusi penuh pada setiap kebijakan pusat. Dan semua ini juga menuju kepada komitmen pemerintah daerah ataupun elite lokal dalam menjaga hak untuk hidup setiap warga negara.

Tinggalkan Balasan