Beranda Opini Pendidikan Modernis Ala Tradisi Pesantren Al-Anwar 3 Sarang, Rembang

Pendidikan Modernis Ala Tradisi Pesantren Al-Anwar 3 Sarang, Rembang

0

Oleh: Taufikur Rahman (STAI Al-Anwar Sarang Rembang)

Pondok pesantren menurut Zamakhsari dhofier terambil dari kata “santri” itu sendiri, dengan imbuhan “pe” dan “an” di awal dan akhir katanya, yang dapat berarti tempat tinggal para santri (Zamakhsar, 1994:18). Karena hal ini pula, ketika seseorang menyebut kata pesantren yang terbayang dibenak mereka adalah tempat dimana para santri belajar dan menuntut ilmu keagamaan Islam. Sedangkan kata “santri” sendiri menurut Nururcholis Madjid berasal dari beberapa bahasa, diantaranya disadur dari bahasa Sansekerta “sastri” yang berarti melek huruf, atau dari bahasa jawa “cantrik”, yakni orang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun ia pergi dan menetap (Nurcholish, 1997:19-20). Dengan demikian, pesantren sebagai tempat tinggal para santri merupakan lembaga yang didalamnya terlaksanakan upaya melek huruf atau dalam hal ini adalah pendidikan. Selain itu, pesantren juga menawarkan pendidikan dengan bentuk pengabdian sebagaimana tercermin dari arti kata “cantrik” diatas.

Pendidikan pesantren memiliki keunikan tersendiri sebagaimana yang disebut Abdurrahman wahid dengan istilah subkultur, yang pada gilirannya juga dikenal dengan tradisi pesantren (Muchaddam, 2020:2). Keunikan itu terletak pada elemen-elemen pembentuk tradisinya, seperti masjid, santri, pondok, serta kitab-kitab klasik keagamaan, dan kiai, berikut keunikan yang dapat ditinjau dari tipologi, tujuan, fungsi, prinsip pembelajaran, serta kurikulum, dan metode pembelajarannya. Perbedaan yang signifikan terletak pada beberapa aspek istilah metodenya seperti “bandongan”, yang mana seorang kiai atau guru membaca kitab dan seorang santri secara kolektif mendengarkan, memaknai, dan mencatat keterangan dari sang kiai atau guru. Selanjutnya “sorogan”, dalam hal ini seorang santri membaca kitab secara bergantian dihadapan kiai atau guru, guna mengasah kemampuan membaca dan menerjemah kitab kuning. Terakhir “syawir”, atau bahasa ilmianya diskusi, yang juga sering diistilahkan mudzakarah dan munazharah, biasanya hal tersebut dilakukan dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kajian ilmiah guna untuk memahami lebih dalam kitab-kitab kuning yang sudah dipelajari sebelumnya (Masyhuri Mochtar, 1436 H:178-180). Pada esensinya, pesantren didirikan guna untuk pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, oleh karena itu tidaklah salah jika sebagian orang di luar pesantren berpandangan bahwa pesantren sebagai tempat pengajaran ilmu-ilmu tentang agama Islam an sich.

Dengan keadaan zaman yang kian berubah, pendidikan pesantren dulunya hanya mengajar kitab kuning kini banyak pesantren-pesantren yang telah mengadopsi kurikulum madrasah, kurikulum sekolah, dan sekolah sekaligus, serta ada yang menyusun kurikulumnya sendiri dan menggabungkan kurikulum madrasah dan sekolah. Yang artinya, pesantren sekarang tidak hanya berfokus pada pengajaran ilmu keagamaan saja, melainkan juga mengajarkan beberapa ilmu lainnya seperti matematika, sains, ilmu sosial, dan lain sebagainya layaknya institusi pendidikan madrasah dan sekolah formal.

Tradisi Pesantren dari sejak tahun 1998 hingga 2008 sudah mengembangkan berbagai lembaga pendidikian modern, sehingga jumlah lembaga menunjak drastis dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 di tahun 2008. Peningkatan tersebut berlangsung di tahun 2008, selama setahun, yang mana jumlah pesantren baru mencapai 4.015. Diperkirakan 10 tahun yang akan mendatang jumlah pesantren akan mencapai sekitar 35.000, dalam upaya memandu modernitas pendidikan (Zamakhsyari Dhofier, 2011:167). Tidaklah heran jika di tahun 2022 sudah banyak Pesantren yang mengembangkan pendidikan modern seperti, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), Peguruan Tinggi Umum (PTU), dan lain sebagainya.

Secara garis besar, sitem pondok pesantren dapat dibagi menjadi khalafiyah (modern) dan salafiyah (tradisional). Di Indonesia sendiri, sudah banyak pesantren yang menggabungkan dua sitem tesebut dalam satu kelembagaan bahkan dalam satu kurikulum, sehingga tradisi-tradisi pesantren tidak hilang begitu saja. Dalam artian, mengembangkan sitem tampa harus menghilangkan ciri-ciri kepesantrenannya untuk terlihat sesuai dengan perkembangan zaman. Pada tahun 2011, Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang, Rembang. juga mendirikan lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, yang sering dikenal dengan STAI Al-Anwar Sarang. Pondok pesantren tersebut memiliki sistem pendidikan tradisional sekaligus modern dengan adanya dua instansi pendidikan, yakni Muhadhoroh dan Sekolah Tinggi Agama Islam.

Akulturasi sistem tesebut juga berdampak pada gaya belajar santri, kegiatan, atau dari peraturan yang diterapkan. Misalnya, para santri diperbolehkan membawa dan mengoprasikan laptop dan handphone non intenet sesuai dengan kapasitas yang telah ditentukan. Selain demi mempermudah kebutuah kuliah, kedua alat elektronik tersebut juga menjadi piranti hiburan santri dimana hal demikian lumrahnya telarang di Pondok Pesantren lain. Sementara tekait model dan gaya belajar, lembaga tesebut membagi waktu belajar menjadi siang dikhususkan untuk kegiatan yang behubungan dengan perkuliahan, sedang malam berfokus pada kegiatan yang berkaitan dengan kepesantrenan.

Instansi Sekolah Tinggi Agama Islam Ponpes Al-Anwar 3 tersebut bernamakan STAI Al-Anwar Sarang, serta segenap sivitas akademika (masyarakat akademis) yang notabenenya merupkan para santri dan tenaga pengajar yang mayoritas merupakan alumnus pesantren. Sehingga para mahasiswa dan dosen menjalani kuliah dengan gaya ala pesantren, yakni dengan mengenakan busana pesantren seperti sarung, dan peci sehingga timbul slogan “serjana saroengan” dan juga tak jarang mata kuliah dilakukan dengan model ngaji bandongan.

Penerapan hafalan al-Quran 3 juz sebagai bagian dari Satuan Kredit Semester (SKS) mata kuliah wajib dalam semua program studi yang diusungnya menjadikan instansi tersebut berbeda dengan instansi yang lain. Demikian ini juga ditujukan guna dapat bermanfaat hingga sepulang mahasiswa nanti pada rumah masing-masing, misalnya untuk mengimami shalat, sebab selain menjadi mahasiswa mereka juga menjadi santri yang tentunya di kacamata umum dipandang memiliki kemampuan agama yang lebih daripada mahasiswa yang laian.

Sementara model dan gaya pendidikan Pondok Pesantren Al-Anwar 3 dari sisi Tradisionalis, tidak jauh berbeda dari Ponpes lainnya, yakni dengan model Madrasah Diniyah Takmiliyah yang mana metodenya tidak lepas dari sistem klasik seperti, bandongan, musyawarah, sorogan, dan lain sebagainya. Pesantren tersebut memiliki Ciri khas tersendiri yang pelaksanaan kegiatannya setiap malam sabtu-senin, musyawarah di malam selasa, sorogan di malam rabu-kamis, dan diba’iyah di malam jumat. Selain itu, rutinitas ngaji al-Qur’an setiap ba’da maghrib, dan bandongan setiap hari pada waktu sore dan pagi kepada Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, MA, selaku pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang, Rembang sekaligus ketua STAI Al-Anwar Sarang.

Dari sini dapat dikatakan bahwa Madrasah Diniyah Takmiliyah yang diterapkan Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang merupakan wadah bagi tradisi kepesentrenan, sedangkan STAI Al-Anwar Sarang menjadi lembaga yang mewadahi tradisi modern, meski dalam prakteknya kedunya kerap mengalami perbauran model belajar yang mencolok. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana sivitas akademikanya menjalalankan kegiatatannya, serta peraturan yang diciptakan dua instansi tersebut. Misalnya peraturan bagi mahasiswa yang tidak diperkenankan mengambil ijazah strata satu (S1) jika belum menyelesaikan Madrasah Diniyah Taklimiyah, yang secara implisit berarti bahwa kedua tradisi pendidikan yang diusung tersebut sama-sama menjadi prioritas keberhasilan lembaga pendidikan ini.

Dengan demkian, kolaborasi gaya belajar tradisional dan modern yang diterapkan oleh Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang Rembang yang melengakapi kelembagaannya dengan Sekolah Tinggi yang cendrung formal dan modernis, menjadikan santri atau pelajar di dalamnya lebih bertalenta. Maka tidaklah heran jika para santri ketika telah menyelesaikan pendidikannya, selain mahir dan cakap di bidang agama, mereka juga berintelektual serta berinteligensi dalam bidang keilmuan formal.

Tinggalkan Balasan