
Oleh : M. Rozien Abqoriy
Kata berbeda acapkali menjadi dasar atas ketidakpercayaan diri perempuan. Padahal perbedaan antara perempuan dan laki-laki hanya terletak pada fisiologis (Jenis Kelamin). Selebihnya tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang rawan berujung pada upaya saling menjatuhkan.
Setiap individu mempunyai sifat feminim, maskulin, dan androgini. Ketiga sifat tersebut dapat dimiliki oleh siapapun tanpa terkecuali. Namun seringkali orang mengartikan bahwa sifat feminim hanya dikhususkan untuk perempuan saja, dan sifat maskulin hanya untuk laki-laki saja. Padahal tidak jarang ditemukan perempuan memiliki sifat maskulin yang mendominasi, pun laki-laki dengan dominasi sifat feminim. Perempuan atau laki-laki yang demikian biasanya akan banyak disorot perhatian negatif dari banyak orang.
Dalam segi ini juga ada sifat androgini yang sifatnya tidak berbau gender, yakni baik perempuan atau laki-laki sama-sama bisa mempunyai sifat ini. Semisal, laki-laki selama ini dikenal sebagai pribadi yang lebih kuat fisiknya daripada perempuan. Laki-laki kuat mengangkat air galon sendiri atau barang-barang berat lainnya. Padahal entah disadari atau tidak, banyak juga perempuan yang mampu melakukannya, termasuk melakukan aktifitas berat lainnya.
Terlepas dari hal itu, sebenarnya tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki memiliki sifat lemah lembut layaknya perempuan.
Banyak sekali permasalahan dan beragam pertanyaan yang kerap dihadirkan pada perempuan, sedangkan laki-laki justru lebih terbebas dari itu. Belum lagi persoalan anggapan tentang perempuan setelah menikah. Miris sebenarnya, mendapati bahwa perempuan nyaris selalu menjadi objek atau sasaran empuk dari stigma negatif masyarakat kita yang masih awam. Stigma negatif yang beberapa justru muncul tanpa dasar tersebut, kerap menyita kesempatan-kesempatan perempuan.
Pertanyaannya, apakah kemerdekaan perempuan akan dihempaskan setelah menikah?
Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya bahwa kata merdeka dapat diartikan sebagaimana kita memandang, bebas tanpa terkungkung dengan apapun. Sementara diketahui, perempuan yang sudah menikah memang secara nyata telah menjadi makmum dari imam atau sang suami. Akan tetapi, dalam pernikahan terdapat istilah laksana pakaian, yakni istri adalah pakaian bagi suaminya dan suami adalah pakaian bagi istrinya. Tak kalah penting adalah perlu adanya komunikasi terhadap calon suami istri untuk bagaimana nantinya suami dan istri dapat menjalani kehidupan berkeluarga dengan baik, harmonis, dan saling menjunjung kemerdekaan masing-masing sebagai manusia.
Kerap kali juga anggapan yang muncul terhadap perempuan yang memiliki pendidikan, pekerjaan, maupun penghasilan tinggi dianggap menyalahi kodratnya sebagai istri. Ini bukanlah sesuatu yang pantas dibenarkan. Padahal perempuan dapat menjalankan kedua perannya secara beriringan, tanpa meninggalkan salah satu perannya.
Namun, sampai dekade terakhir ini, perempuan sudah membuktikan banyak perubahan dan kontribusi nyata diberbagai bidang. Namun tidak menutup kemungkinan, Stigma-stigma yang pernah ada, masih saja menjadi suatu hal yang membelenggu kepada sebagian perempuan.
RA. Kartini tokoh emansipasi wanita pernah menyampaikan
“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Semoga kaum wanita yang masih terbelenggu terhadap stigma lama, bisa terus melakukan revolusi tanpa menghilangkan nilai-nilai keperempuanannya yang semestinya dan seharusnya yaitu perempuan dalam Islam merupakan makhluk Allah yang memiliki banyak keistimewaan. Sebagai seorang anak yang akan tumbuh dewasa menjadi seorang istri dan seorang ibu, seorang perempuan sangat dimuliakan perannya dalam kehidupan. Alquran menjelaskan bahwa kedudukan perempuan dalam Islam sama dengan laki-laki kodrat dan tabiatnya dalam masalah kemanusiaan dan hak-haknya.
#Penulis Merupakan Mahasiswa Prodi KPI dan Kader HMI Komisariat Insan Cita IAIN Madura