
Oleh: Moeltazam*
Berangkat dari disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja dengan teknik Omnibus Law yang dalam prosedurnya tidak tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2011 menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 yang kemudian usaha judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun dilakukan yang menghasilkan amar putusan dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat. MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan dengan melibatkan partisipasi publik.
Belum sampai sepekan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, banjir penolakan terus berlanjut bahkan sebelum Undang-Undang ‘Cilaka’ tersebut di sahkan. Sebut saja aksi demonstrasi dari kalangan mahasiswa, buruh, masyarakat sipil dan gabungan dari berbagai pihak pro demokrasi lainnya di Jakarta dan daerah-daerah. Hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan Pemerintah dan Legislatif sudah tidak dapat diharapkan.
Presiden Joko Widodo mengambil jalan lain dalam menjawab putusan MK agar tidak inkonstitusional bersyarat terbitlah Perppu Cipta Kerja, padahal tenggat waktu dua tahun yang diberikan dinilai cukup untuk memperbaikinya. Dengan demikian pemerintah meminggrikan peran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk UU dan menghanyutkan partisipasi publik.
Berlandaskan Pasal 22 UUD 1945 memang memberi ruang kepada Presiden untuk menerbitkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Proseduralnya pun harus melalui persetujuan DPR jika tidak maka harus di cabut. Akan tetapi frase “kegentingan yang memaksa” condong akan penilaian subjektifitas pemerintah. Meskipun demikian dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menjelaskan yaitu, (1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, (2) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada, (3) terjadinya kondisi kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sarat Akan “Kepentingan Penguasa”
Alasan pemerintah menerbitkan Perppu atas dasar adanya kekosongan hukum, faktanya, dalam dalam amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK Menyatakan UU 11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun. Presiden beralasan pula Perpu itu diperlukan untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Meskipun demikian, alasan Jokowi tidak sesuai dengan kegentingan paksa seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Tak berhenti di situ secara konstitusional Presiden harus menyerahkan Perppu kepada DPR pada masa sidang berikutnya untuk mendapat persetujuan, namun terjadi kontroversial kembali karena DPR gagal mengesahkan. DPR pun berkelit bahwa Perpu tersebut telah sah karena telah disetujui dalam rapat Baleg. Yang akhirnya di sahkan dalam rapat paripurna ke-19 DPR RI masa sidang 2022-2023 selasa (21/3).
Berdasarkan matematika politik, DPR yang mayoritas pendukung pemerintah, di atas kertas menyetujui Perppu Cipta Kerja. Meskipun beberapa fraksi menolak situasi tahun politik di mana partai akan mempertimbangkan benefit dan electoral hal ini yang menjadi indikasi kuat sarat akan “kepentingan penguasa dan bahkan pengusaha” bukan “kegentingan memaksa”.
Dampak Disahkannya Terhadap Tata Kelola Hukum Indonesia
Pertama, berdampak akan hubungan antar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Presiden tidak menghormati Mahkamah Konstitusi sebagai Guardians of Constitusion karena abai akan putusan yang bersifat final. Kemudian, Presiden tidak menghormati DPR sebagai pembentuk Undang-Undang meskipun Presiden memiliki hak konstitusional dalam menerbitkan Perppu.
Kedua, pengesahan Perppu Cipta Kerja merusak sistem legislasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang tidak menjelaskan ketentuan yang memperbolehkan Perppu menggunakan metode omnibus.
Seharusnya pemerintah beserta DPR melaksanakan perintah Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki muatan UU Cipta Kerja baik secara formil dan materil. Tidak melakukan kebijakan yang terkesan “Abuse of Power” dengan menerbitkan Perppu yang isi muatannya tidak jauh dari UU sebelumnya. Sebagai penyambung aspirasi masyarakat DPR diharapkan dapat menelaah kembali UU yang dinyatakan inkonstitusional. Sehingga tidak menutup kemungkinan Perppu ini akan diuji materi kembali dan mungkin akan dinyatakan inkonstitusional permanen.
*Ketua Umum HMI Komisariat Hukum Cabang Kota Bogor.