
YAKUSA.ID – Di tengah polemik kritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai The King of Lip Service alias Raja Membual, mantan Rektor UIN Syarif Hifayatullah Jakarta, Azumardi Azra menyatakan dirinya bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universita5 Indonesia (UI).
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat periode 1981-1982 itu menilai, kritikan sebagaimana disampaikan BEM UI sangat diperlukan di tengah disorientasi oligarki politik.
“Kritik mereka, seperti yang disuarakan BEM UI, adalah imbauan dan kekuatan moral yang kian langka keluar dari menara gading. Kita memerlukan semakin banyak kritisisme di tengah disrupsi dan disorientasi oligarki politik dinasti nepotis dewasa ini,” ujar Azyumardi dalam akun twitter @Prof_Azyumardi, seperti dilansir CNNIndonesia, Senin (28/06/2021).
Kritik mereka, seperti yang disuarakan BEM UI, adalah himbauan dan kekuatan moral yang kian langka keluar dari menara gading. Kita memerlukan semakin banyak kritisisme di tengah disrupsi dan disorientasi oligarki politik dinastik nepotis dewasa ini (Azyumardi Azra, CBE) pic.twitter.com/Xj8ex0igBP
— Azyumardi Azra (@Prof_Azyumardi) June 28, 2021
Selain itu, Azyumardi yang juga merupakan pelopor Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta ini mengkritik langkah rektorat UI yang justru memanggil sejumlah pengurus BEM UI karena kritik yang disampaikan. Menurut dia, tindakan tersebut kontraproduktif bagi kehidupan saat ini.
“Langkah perguruan tinggi menertibkan kebebasan kepemimpinan mahasiswa untuk beraspirasi dan mengkritik penguasa jelas tidak pada tempatnya dan kontraproduktif bagi kehidupan hari ini dan masa depan Indonesia yang lebih baik,” kata dia.
Dukungan terhadap sikap BEM UI juga disampaikan oleh Jaringan Gusdurian. Menurut mereka, kritik terhadap penguasa merupakan hal lazim di negara yang menganut sistem demokrasi. Terlebih kritik disampaikan oleh elemen kampus yang notabene menjadi elemen penting bagi demokrasi.
“Kritik kepada penguasa adalah hal yang lazim dan harus ada di negara demokrasi. Karena konstitusi menjamin kebebasan berpendapat dan berpikir. Kampus sebagai salah satu elemen penting demokrasi (dan miniaturnya) harus menjadi contoh praktik baik demokrasi, bukan sebaliknya,” ungkapnya sebagaimana termuat dalam akun twitter @GUSDURians, Senin (28/6).
Dalam unggahannya, Gusdurian turut menyoroti dugaan peretasan yang dialami oleh sejumlah pengurus BEM UI. Mereka berpendapat peretasan itu sebagai bentuk pembungkaman.
“Peretasan seperti ini adalah bentuk pembungkaman digital yang sama bahayanya dengan pembredelan media dan pelarangan diskusi di masa Orde Baru. Kan mereka sebar kebencian? Wait. Critical thinking bukanlah hate speech,” tandasnya.
Kritik kepada penguasa adalah hal yang lazim dan harus ada di negara demokrasi. Karena konstitusi menjamin kebebasan berpendapat dan perpikir. Kampus sebagai salah satu elemen penting demokrasi (dan miniaturnya) harus menjadi contoh praktik baik demokrasi, bukan sebaliknya. https://t.co/cWIqwou0wo
— Jaringan GUSDURian (@GUSDURians) June 28, 2021
Sebelumnya, BEM UI mengkritik Jokowi lantaran sering mengobral janji manis yang kerap tidak direalisasikan. Jokowi dicap sebagai The King of Lip Service alias Raja Membual.
Kritikan itu disampaikan melalui postingan BEM UI di twitter dan mendapat respons beragam dari warga net atau netizen. Mereka menyoroti topik terkait pernyataan Jokowi rindu didemo, revisi UU ITE hingga isu penguatan KPK.
Kritikan itu berujung kepada pemanggilan sejumlah pengurus BEM UI oleh Direktur Kemahasiswaan UI, Tito Latif Indra. Dalam pertemuan itu, UI ingin mendapat keterangan langsung dari mahasiswa terkait postingan yang berisi kritikan terhadap kepala negara.
Pihak UI akan membawa hal ini ke meja pimpinan sebelum menentukan tindak lanjut. Adapun Tito belum memberikan tanggapan terkait polemik ini hingga berita ditulis.
Reporter: Kholisin Susanto
Redaktur: Arifin