
Oleh: Ghita Ramadhayanti, S.E., M.E*
Perbedaan antara perempuan dan laki-laki itu sifatnya kodrati. Dikarenakan adanya perbedaan dasar itulah, secara umum, keseluruhan dari segala aktivitas kehidupan antara kedua hal tersebut kemudian menjadi berbeda. Ada perbedaan yang memang signifikan, namun ada juga perbedaannya yang tidak terlalu substansial. Akan tetapi, perbedaan itu mesti diartikan secara komprehensif, agar wacana pembedaan tidak menjamur kedalam konsepsi perbedaan.
Ya, hari ini kita terjebak dalam pendefenisian antara perbedaan (distinction) dan pembedaan (discrimination) dari konflik gender. Para aktivis kontemporer bahkan terlalu jauh memperlebar jalur konflik perspektif ini menjadi persaingan antar-gender. Hal inilah yang kemudian menjadi efek negatif dari perkembangan zaman yang biasa kita sebut dengan peradaban. Peradaban yang harusnya menampilkan sebuah tatanan baru dengan serba kemajuan–baik dari sisi bangunan fisik maupun pemikiran, malah hancur dikarenakan gagal mendefinisikan setiap konsepsi-konsepsi yang bersifat etimologis.
Kemajuan zaman (yang sebenarnya belum menyentuh konsepsi peradaban) memaksakan suatu paradigma bahwa suatu kondisi akan mudah diperbaharui dengan jalur politik, maka para pemikir modern pun akhirnya melakukan forcing argumentations agar para perempuan diberikan “jalur khusus” untuk tergabung ke dalam bagian dari politik praktis suatu Negara. Alhasil, disetiap sisi apapun yang berkaitan dengan suatu bentuk kebijakan (policy), maka akan dipaksakan untuk hadirnya perwakilan dari perempuan.
Dalam satu sisi, fenomena keterwakilan tersebut dinilai bagus, karena memberikan ruang terbuka bagi perempuan-perempuan agar dapat memperjuangkan hak-haknya dalam suatu rancangan kebijakan yang akan disahkan. Namun, pada sisi lain, fenomena keterwakilan memperlihatkan secara nyata bahwa adanya jalur khusus memberikan narasi absolut bahwa perempuan dan laki-laki itu dilakukan pembedaan (discrimination). Layaknya suatu jalan tol, maka jalur khusus tersebut hanya akan dimanfaatkan oleh golongan tertentu, meskipun memberikan kemudahan dan akses yang cepat untuk sampai di tujuan.
Dilematis perbedaan pemikiran tersebut wajar saja terjadi. Hingga abad ke-19, para otoritas bangsa masih menganggap bahwa perempuan adalah manusia yang tidak akan mampu melakukan perlawanan terhadap kedigdayaan laki-laki. Dalam artian lain, perempuan akan selalu dianggap sebagai sosok inferior, dan sebaliknya laki-laki adalah superiornya yang akan melindungi, menyelamatkan, dan memimpin mereka. Dari distorsi paradigma inilah pada akhirnya kelompok feminis muncul ke ranah publik menyuarakan bahwa perempuan tidak selalu inferior, yang kemudian paradigm ini terus berkembang hingga saat ini dan melupakan konsep perbedaan (distinction) dikarenakan mengedapakan pembedaan (discrimination).
Pandangan bahwa perempuan merupakan hasil dari diskriminasi sudah berlangsung sejak masa pemikiran klasik. Socrates menilai bahwa perempuan tidak akan pernah bisa menjadi manusia utuh layaknya seorang laki-laki, kemudian Saint Thomas Aquinas mengatakan bahwa eksistensi perempuan merupakan merupakan bentuk perangkap yang mengerikan, sehingga kejahatan-kejahatan dan segala bentuk bibitnya diakibatkan oleh hadirnya perempuan. Bahkan, revolusi Prancis yang dijunjung tinggi sebagai awal dari peradaban pemikiran terbuka juga akhirnya dikatakan oleh Rousseau dan Voltaire bahwa perempuan tidak akan memiliki kemampuan memahami suatu kemajuan layaknya laki-laki memahaminya.
Wacana-wacana itulah yang kemudian ditransformasikan sebagai doktrin perjuangan oleh kaum penganut feminisme kepada kita agar melandasi semangat revolusi perempuan dengan landasan diskriminasi masa lalu. Tentu, kita memahami sekali bahwa suatu tindakan yang dilakukan atas dasar dendam ataupun perasaan ketertindasan pada masa sebelumnya tidak akan melahirkan solusi konkrit untuk lahirnya sebuah peradaban. Melainkan, dendam yang tidak berkesudahan hanya akan melahirkan dendam-dendam berikutnya, dan tentunya cita-cita awal tidak akan pernah tercapai. Inilah salah satu point of view bagi kita untuk memvitalisasikan konsep distinction dan meminimalisir konsep bahwa perempuan harus melakukan revolusi dikarenakan adanya diskriminasi (pembedaan) yang menjadikan niatnya tidak dilandasi dengan nilai-nilai kebaikan.
Maka dari itu, yang memiliki kemampuan untuk melakukan reorientasi defenisi tersebut adalah perempuan-perempuan yang mempunyai kualitas intelektual mumpuni yang moderat dan independen. Mereka adalah anak-anak muda yang hari ini masih berorientasi kepada idealisme tinggi untuk mencari dan menemukan pengetahuan aktual dan faktual tentang orientasi revolusi yang harus dilakukan oleh perempuan. Mereka adalah muda-mudi yang senang dengan objektivitas penemuan suatu hakikat akan kebanaran konseptual. Mereka adalah mahasiswi-mahasiswi pilihan yang saat ini sedang belajar epistimologis dari berbagai literatur. Merekalah para aktivis perempuan hari ini yang sedang bersemedi di berbagai organisasi.
Hampir keseluruhan lembaga atau perkumpulan hari ini menyediakan ruang khusus bagi perempuan. Namun, kita juga harus otokritik bahwa tak sedikit juga pada akhirnya ruang khusus tersebut tidak termanfaatkan secara maksimal dikarenakan realitas lapangan justru memperlihatkan kepada kita banyak dari anggota lembaga perempuan tersebut yang nimbrung/numpang kegiatan dengan lembaga inti yang rata-rata didominasi secara kuantitas oleh Laki-laki. Sehingga, lembaga yang mestinya bertujuan untuk melakukan pemberdayaan terhadap perempuan-perempuan, kegiatan-kegiatannya justru bergantung kepada kegiatan laki-laki. Alhasil, doktrin nilai tentang hakikat keperempuanan sukar untuk ditransformasikan.
Inilah masalah perempuan dalam konteks kepemimpinan hari ini. Ruang publik secara tidak sadar sudah didapatkan oleh para Perempuan. Akan tetapi, pengelolaan ruang publik agar memiliki keberpihakan terhadap perempuan di masa depan belum termanifestasikan secara komprehensif. Defenisi antara pemimpin dan penguasa masih belum dipahami secara kompleks. Sehingga, orientasi aktivitas perjuangan hanya ditujukan untuk satu waktu saja. Padahal, semestinya dengan peluang yang sudah sangat terbuka ini, para perempuan (aktivis) mesti terus mempersiapkan ruang hidup yang lebih baik bagi perempuan-perempuan di masa yang akan datang.
Maka dari itulah, tidak ada terminologi yang secara jelas melarang perempuan untuk menjadi pemimpin pada hari ini. Hanya saja, yang terpenting dipahami adalah bahwa konsepsi perbedaan kodrati antara perempuan dan laki-laki akan memberikan perbedaan yang cukup signifikan dalam proses kepemimpinannya. Kehadiran perempuan dalam aktivitas kepemimpinan mestinya menjadi hal pembeda dalam perumusan serta pengambilan kebijakan. Perempuan yang dikenal karena kekuatan fungsi bathinnya tentu diharapkan mampu menghadirkan tata ruang hidup yang lebih nyaman bagi setiap manusia dalam menjalani kehidupan.
*) Penulis merupakan Ketua Umum Kohati Badko Sumatera Barat