Beranda Opini Restorasi KOHATI sebagai Refleksi Sepim-Lokakarya KOHATI PB HMI

Restorasi KOHATI sebagai Refleksi Sepim-Lokakarya KOHATI PB HMI

0

Oleh: Desti Sumbawati*

Korps HMI-Wati atau yang keren disebut sebagai KOHATI merupakan lembaga semi-otonom yang sudah berdiri sejak tahun 1966. Dengan kalkukasi usia yang sudah hampir menyentuh 50 tahun tersebut, kegiatan-kegiatan KOHATI kontemporer diupayakan terus direvivalisasi agar berdasar kembali pada misi awal didirikannya KOHATI. Sehingga, upaya-upaya untuk menerjemahkan maksud dan niat-niat dari para pendiri mulai kembali dijadikan bahan perbicangan dalam setiap perumusan agenda-agenda KOHATI.

Progresivitas kegiatan KOHATI saat ini sudah menunjukkan tren positif. Berbagai agenda-agenda nasional berhasil dilaksanakan oleh KOHATI PB HMI dengan berbagai tema dan judul kegiatan. Bahkan, Kohati Development Program dan Sustainable Advocacy Training menjadi hal baru yang memperlihatkan keberpihakan Kohati terhadap isu-sentral keperempuan dan kekohatian. Sehingga pada puncaknya, kita bisa melihat hari ini KOHATI PB HMI melaksanakan Sekolah Pimpinan dan Lokakarya Perkaderan KOHATI yang masih berlangsung hingga saat ini.

Data kemajuan progresivitas kegiatan dari KOHATI tentunya menarik sekali untuk dijadikan bahan diskusi. Atas dasar itu juga, penulis selaku Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) di Kohati Badko HMI Sumatera Barat tertarik juga untuk menganalisa “keberhasilan” ini dan menuangkan gagasan sederhana dalam tulisan singkat ini. Beberapa hari belakangan ini jugalah penulis mencoba mengkritisi berbagai literasi-literasi Kohati yang diintegrasikan dengan kegiatan yang dilaksanakan KOHATI PB HMI saat ini di Bogor.

Pertama, esensi status KOHATI sebagai Badan Khusus di HMI. Menjadi badan khusus mengartikan bahwa KOHATI memiliki sumber daya organisasi yang spesifik dan eksklusif. Maka wajar, jika anggota KOHATI adalah para anggota HMI yang berjenis kelamin perempuan. Selain itu, aktivitas-aktivitas KOHATI juga senantiasa harus diisi dan dijalankan oleh perempuan-perempuan HMI. Sehingga, dalam pendefenisian seperti itu, menjadi pandangan yang ambigu bagi saya untuk memahami jika kegiatan-kegiatan KOHATI diisi oleh orang-orang non HMI-Wati apalagi non-HMI.

Doktrin Ekslusifitas dan spesifik tersebut akan berdampak terhadap pewarnaan KOHATI yang akan melahirkan para muslimah berkualitas Insan Cita. Maka dalam pandangan saya, semua elemen-elemen, yang saya sebut sebagai 4P (peserta, panitia, pengelola, dan pemateri), dalam setiap kegiatan KOHATI harus diisi oleh perempuan-perempuan yang menjadi anggota KOHATI maupun FORHATI yang merupakan alumni-alumni KOHATI pada masa berproses selama di HMI.

Namun, jika diintegrasikan dalam kegiatan yang sedang dijalankan saat ini oleh KOHATI PB HMI, tentu mengherankan jika dilihat dari berbagai dokumentasi maupun rundown acara yang tersebar, masih bisa kita pahami dan apologisasikan jika peserta acaranya ada yang bukan perwakilan dari KOHATI Cabang, namun tentu sangat riskan jika masih terdapat para pemateri yang non-HMI (sudah tentu non-KOHATI). Sehingga, acara yang mestinya menebarkan bibit-bibit doktrin nilai tentang kekohatian, sangat sukar untuk diwujudkan. Inilah yang menjadi poin pengkritisan pertama saya tentang realitas kontemporer KOHATI.

Hakikat seorang pemateri dalam sebuah agenda pelatihan maupun seminar adalah penghantar dan pentransformasi nilai dalam sebuah agenda, bukan sebagai pemantik. Maka dari itu, sesuai dengan peran KOHATI (Pasal 8 PDK) menegaskan adanya peran untuk menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan (komitmen asasi HMI), maka mesti orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam menjalankan misi HMI-lah yang mesti dijadikan sebagai pemateri, agar nilai-nilai tersebut dapat tertransformasikan kepada para peserta. Apalagi dalam konteks ini, para peserta adalah pimpinan KOHATI Cabang yang nanti akan membagikan ilmu tersebut kepada komisariat-komisariat di cabang masing-masing.

Tentunya, penulis menyadari akan hadir pandangan objektivitas dari penyelenggara terhadap statemen yang penulis sampaikan sebelumnya. Bahwa KOHATI harus membuka pandangan dari pihak-pihak luar yang lebih maju maupun sudah sukses agar bisa tertular “virus kesuksesan” tersebut pada setiap anggota KOHATI. Maka disini saya menyampaikan bahwa, hakikat KOHATI sebagai Badan Khusus mesti berbanding lurus dengan segala tindakannya yang memperlihatkan konsepsi “kekhususan” tersebut. Maka dari itulah, anggota dari KOHATI juga terdaftar di bidang Pemberdayaan Perempuan pada organisasi setingkat, jika memang membutuhkan elemen-elemen yang berada di luar HMI maupun KOHATI.

Kedua, Independensi KOHATI tidak pernah berbeda dengan Independensi HMI. Sebagai lembaga ex-officio HMI, nilai-nilai yang dianut oleh HMI tidak boleh ditafsirkan ulang dalam pemaknaan berbeda diluar tafsiran HMI, termasuk independensi. Dalam tafsir independensi HMI, dijelaskan bahwa sejak proses berpikir, bertindak, hingga berperilaku, maka aktivitas dari para anggota HMI harus selalu dinaungi dengan kehanifan, yaitu berada dalam koridor kebenaran. Atas dasar kebenaran itulah, maka tidak ada unsur keterpaksaan dalam setiap pemikiran yang digagas, tindakan yang diperbuat, dan perilaku yang dijalankan oleh anggota HMI.

Namun, pada saat kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh KOHATI PB HMI hari ini, selaku bagian dari anggota yang berupaya menjadi kader HMI, cukup shock diri saya ketika melihat secara jelas dalam berbagai postingan peserta maupun penyelenggara yang berfoto bersama dengan seorang pemateri dengan gaya foto ikon tagline dari salah satu nomor urut Partai.

Tentunya, gaya tersebut bukanlah keinginan hati dari semua peserta, melainkan ada unsur perintah ataupun dorongan dari oknum tertentu agar semua peserta berfoto dengan pemateri menggunakan pose tersebut. Alhasil, inilah yang saya sampaikan sebagai “usaha tidak merdeka” dari elemen kegiatan tersebut yang mengarahkan kepada adanya dependensi, bukan independensi. Bahkan, jikapun ada sikap apologi dari peristiwa tersebut, maka tentunya penulis berpikir akan bijaksananya jika kita semua kembali membaca tafsiran-tafsiran dalam literatur HMI agar kita tidak terkesan “mengajarkan HMI”.

Setidaknya, pada tulisan ini, saya menyampaikan dua hal tersebut sebagai langkah awal menyadari kembali akan status diri kita semua sebagai bagian dari KOHATI. Restorasi yang dimaksud adalah berupaya untuk memulihkan dan memurnikan kembali setiap aktivitas KOHATI kepada misi awal pendirian KOHATI.

Wadah yang diciptakan khusus untuk menampung segala aspirasi dan memberdayakan para perempuan di HMI mesti dilakukan re-orientasi agar lembaga ini memiliki arah gerak yang lebih jelas kedepannya. Jangan sampai jalan yang seharusnya menuntun kita untuk berjalan ke kanan, justru kita arahkan hari ini ke kiri ataupun ke belakang.

KOHATI sebagai badan khusus dan semi-otonom mesti bisa memperlihatkan kekhususannya sebagai bagian dari HMI dan organisasi perempuan. Dengan eksklusifitasnya itulah, KOHATI akan melahirkan generasi-generasi madrasatul ula yang memiliki kualitas insan cita dan kualitas seorang perempuan trendsetter di Indonesia.

Dengan itulah KOHATI akhirnya mewujudkan peradaban yang bagus untuk Agama Islam dan Negara Indonesia. Sehingga pada akhirnya, syair yang mengatakan bahwa perempuan adalah akar dan tiang dari peradaban akan dijawab langsung oleh KOHATI. Jayalah KOHATI, Bahagia HMI, Yakin Usaha Sampai.

*Penulis merupakan Ketua Bidang PSDO KOHATI Badko HMI Sumatera Barat.

Tinggalkan Balasan