
Oleh: Pramuhita Aditya Mubdi (Calon Ketua Umum PB HMI Periode 2021-2023)
Seorang intelektual Muslim Indonesia harus memahami berbagai isu-isu Islam dan Pancasila ini secara menyeluruh dengan senantiasa memahami fakta-fakta sejarah dan kepentingan-kepentingan politik yang menyusup didalamnya. Kelompok-kelompok muslim yang terlihat keritis terhadap pemerintah senantiasa akan mendapatkan cap sebagai kelompok ekstrem yang anti Pancasila. Lafran Pane menegaskan sikap tentang pro-kontra mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia:
Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau pemerintah atau MPR mengadakan interpretasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah Pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai Pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan Pancasila ini untuk selama-lamanya sebagai Dasar (Filsafat) Negara.
Lafran bahkan menegaskan:
Berpedoman pada sejarah kelahiranya 39 tahun yang lalu, yang secara tegas menyatakan sebagai sebuah organisasi yang independen yang membina insan akademis bernafaskan islam dan yang mengutamakan kepentingan nasional atau paham kebbangsaan, maka dalam HMI tidak boleh ada dominasi-dominasian.
Dari apa yang disampaikan oleh Lafran tentang Pancasila itu sama dengan apa yang disampaikan oleh Kasman, jika Kasman mengatakan Nasionalisme itu adalah perintah agama, yang artinya wajib. Sedangkan Lafran dengan Pancasilanya. Dan mengingat kembali bahwa mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah akan dicap anti Pancasila, tentu ini menjadi pertanyaan yang mendasar bagi HMI tersendiri, disadari atau tidak bahwa HMI dalam Independensinya untuk melakukan kritik kepada (kebijakan ) pemerintah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an, Sunnah dan UUD45. Apakah dengan HMI kritik akan menjadikan HMI anti Pancasila?,
Padahal apa yang disampaikan oleh Lafran dan pengertian independensi HMI sendiri memberikan kesimpulan bahwa kader HMI haru menintegrasikan Keislaman dan Keindonesiaan yang kuncinya adalah Pancasila. Jika ditahun 60 banyak propaganda yang mengatakan bahwa HMI kontra Revolusi (anti Pancasila) itu hanya sekedar opini yang dibangun untuk melemahkan dan membubarkan HMI, pada hakikatnya kader HMI yang mahasiswa, yang Islam, yang intelektual harus mampu mengejawantahkan Pancasila sebagai Filsafat Negara.
Ketika kembali kepada “Lima Kualitas Insan Cita” yang menjadi Mision HMI memberikan jawaban bahwa misi kader-kader HMI terbagi kedalam 17 indikator, meminjam bahasa Soekarno, “ 17 Indikator mision HMI jika diperas akan menjadi Lima Kualitas Insan Cita dan jika di peras lagi akan menjadi Keislaman dan Keindonesiaan yang bertujuan Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan Mempertinggi derajat rakyat Indonesia, Meneggakan dan Mengembangkan Ajran Agama Islam.
Yang artinya perlu disadari bahwa dari awal kelahiran HMI, HMI tidak pernah bertentangan dengan Pancasila, lebih jauh HMI merespon tentang kontek sosial budaya, ekonomi, politik dan pergerakan Nasional yang dimulai oleh SDI, SI, Jong Java, JIB dan SIS. Maka dari itu HMI hadir merespon dinamika yang terjadi dengan Keislaman dan Keindonesian untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan Mengangkat derajat Rakyat Indonesia dan Mengembangkan Ajaran Islam. Sampai disni bisa kita lihat bagaimana tujuan HMI melampaui zaman pada masanya. Inilah yang disebut dengan karakter (cara pandang) HMI yang hari ini mulai memudar (meminjam bahasanya Agussalim Sitompul). Tentu ini menjadi catatan penting bagi kader-kader hmi untuk mengejawantahkan apa yang dimaksud dengan fikiran-fikiran HMI, lebih tegasnya mengembalikan apa yang dimaksud oleh HMI.