Beranda Opini Tetap Tenang dan Rasakan

Tetap Tenang dan Rasakan

0

Oleh : M. Rozien Abqoriy

 

Dalam kehidupan tidak terlepas dengan adanya keinginan yang besar, harapan yang tinggi dalam mencapai suatu hal dan itu tidak luput dengan melibatkan ambisi yang terkesan terlalu berlebihan.

Seperti halnya ada perasaan yang bertepuk sebelah tangan atau tak mendapatkan sesuatu sesuai harapan, seringkali itu juga selalu berbuah dengan yang namanya kekecewaan. Tak sekadar konsep, sebutan itupun sudah dibuktikan secara ilmiah. Seperti dalam sebuah penelitian terungkap bahwa terlalu berharap akan cenderung menggiring seseorang dalam kekecewaan kronik yang mendalam. Penelitian tersebut dilakukan oleh Case Western Reserve University dan dirilis dalam jurnal Psychological Bulletin edisi Agustus 2016 menyebut bahwa banyak berharap membawa seseorang ke ‘lingkaran kesulitan abadi’. “Pada taraf ekstrim, pengharapan adalah sifat narsis yang beracun, terjadi berulang kali pada seseorang membawa risiko pada frustrasi, ketidakbahagiaan dan kekecewaan pada hidup,” kata peneliti dari Case Western Reserve University, Joshua Grubbs, seperti dilansir dari Health.

Harapan yang tidak terwujud kemudian juga akan dianggap sebagai sebuah ketidakadilan dalam hidup mereka dan memunculkan emosi labil seperti marah tanpa memiliki alasan yang cukup jelas dan kesedihan yang berlebihan tanpa memiliki objek.

Untuk dapat mengurangi hal yang sedemikian, kita dapat memulainya dengan dapat merasakan perasaan orang lain dan merasakan eksistensi kita sendiri dalam posisi orang lain.

Seperti dalam memahami melalui stoicism yaitu filsafat kuno sebagai tingkah laku oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM di Kota Athena. Namun, stoikisme sering disalah artikan sebagai suatu ajaran yang bersifat dingin dan sama sekali tidak mempunyai emosi. Namun, Stoikisme sebetulnya mengakui bentuk-bentuk emosi positif. Salah satunya adalah cinta. Untuk memahami cinta dalam Stoikisme, kita harus mengerti mengenai permasalahan mendasar mengenai cinta. Menurut Becker, ada dua permasalahan mendasar untuk memahami cinta Stoik. Pertama-tama cinta sering dikaitkan dengan suatu jenis mekanisme pelepasan cepat yang direkomendasikan oleh Epictetus. Dalam pandangannya Epictetus tetap mementingkan cinta, tetapi ia juga harus bersiap menghadapi kehilangan. Jika kita yang akan pergi meninggalkan orang yang kita cintai terlebih dahulu, kita juga sudah harus mempersiapkannya. Perlu diingat bahwa Stoikisme mengajarkan kita mencintai orang lain layaknya kita mencintai diri sendiri. Tentu kita juga tidak ingin orang yang kita cintai berduka secara mendalam dan putus asa saat kehilangan kita. Oleh karena itu, selagi masih sempat, kita harus melakukan sesuatu kepadanya. Kita harus memperlakukannya secara mandiri. Kita tidak melulu membuatnya tergantung kepada keberadaan kita terus menerus.

 

#Penulis Merupakan Mahasiswa Prodi KPI dan Kader HMI Komisariat Insan Cita IAIN Madura

 

Tinggalkan Balasan