Oleh: Raden Bindoro Ali Muhsin Rofiey Notonegoro*
Memberi manfaat yang baik dan benar kepada orang lain harus kita mulai dari diri kita sendiri. Bulan puasa “Ramadan” sebagai bulan yang suci dan menjadi waktu jeda bagi mereka yang memiliki keinginan untuk menguasai dan berkuasa. Refleksi diri adalah proses pencarian ke dalam dan memeriksa pikiran, emosi, dan perilaku sendiri. Refleksi ini memungkinkan siapa pun untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan diri, memahami motivasi dan nilai-nilai, serta mendapatkan wawasan tentang bagaimana seharusnya meningkatkan kualitas diri. Di saat berpuasa, perenungan reflektif lebih mudah dilakukan.
Inti Ibadah dan utama di Bulan Ramadan adalah puasa, sebagaimana firman Allah SWT di dalam surah Al-baqarah ayat 185. Puasa merupakan wahana aktualisasi diri dalam proses pencapaian kesempurnaan kemanusiaan. Dengan berpuasa, manusia bisa mengatasi gravitasi syahwat fisis yang membuatnya bisa menjadi ‘Self Transendence’. Self Transendence dalam pengertian Abraham Maslow, adalah seseorang yang mampu melampaui kebutuhan dasar dengan aktualisasi diri yang meninggi dalam gerak cinta menuju ‘kebajikan luhur’, keindahan, kesempurnaan, kebenaran, keadilan, dan kesadaran kosmis.
Dengan berpuasa, manusia bisa menerobos mentalitas permukaan (everyday mind) menuju kesadaran yang lebih dalam (deeper mind, ultimate mind). Dengan ini, manusia dapat mentransendensikan diri dari hal-hal personal menuju transpersonal. Lewat kesadaran transpersonal, kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus dari segala kehidupan.
Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan, berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmik yang lebih luas. Dalam kesadaran kosmik, manusia bisa melihat kesalingtergantungan antarpartikularitas: satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tidak dapat eksis tanpa perbedaan, mayoritas tak bisa hadir tanpa minoritas dan semua akan bersatu.
Dalam kesadaran transpersonal, timbul kesadaran untuk membuka diri penuh cinta untuk yang lain serta ketabahan untuk menghadapi ketidakpastian di tingkat permukaan hidup sehari-hari. Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (moksa, makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran pengayoman yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan segala kemaujudan dan keragaman yang ada, bahwa semakin besar bukan menjadi bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman segala jenis dan ukuran. Seperti keluasan langit dan samudra yang mampu memberi ruang bagi segala jenis planet dan segala ukuran ikan.
Dengan begitu, berpuasa juga menimbulkan semangat untuk berbagi yang bisa menumbuhkan kesuburan dan kesejahteraan warga bumi. Alquran melukiskan kebaikan (nafkah) yang dibagikan ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir dan setiap bulir berbuah seratus biji (QS. 2: 261). Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima, sehingga kesuburan dan kesejahteraan negeri bertambah.
Menurut Deepak Chopra, hal ini tejadi karena tubuh dan mental (mind) manusia senantiasa menjalin relasi saling memberi dan menerima dengan semesta. Mencipta, mencintai, dan menumbuhkan menjamin keberlangsungan relasi ini. Semakin banyak kita memberi semakin terlibat dalam sirkulasi energi semesta; pada gilirannya semakin banyak kita peroleh dalam bentuk cinta, materi, dan ketenteraman.
Begitulah setiap keheningan peribadatan pada akhirnya harus berujung pada kelebaran pelayanan dan kedamaian warga bumi. Seperti kata Mother Teresa, ”Buah dari keheningan adalah sembahyang, buah dari sembahyang adalah kepercayaan, buah dari kepercayaan adalah kecintaan, buah dari kecintaan adalah pelayanan, dan buah pelayanan adalah perdamaian.” Di dunia dan akhirat kita akan mencari kebaikan (Kebahagiaan) Kebahagiaan di lukiskan oleh Psikolog William James, kepedulian utama manusia dalam hidupnya ialah kebahagiaan. Bagaimana cara memperoleh, mempertahankan, dan memulihkan kebahagiaan merupakan motif tersembunyi dari tindakan kebanyakan orang, termasuk dalam kehidupan beragama. Kebahagiaan yang dirasakan orang dalam keyakinannya dijadikan bukti kebenarannya.
Menguasai Ibadah puasa, merupakan suatu usaha pengosongan diri dari kekenyangan dan kejumudan, dengan mengajak setiap individu untuk berjarak dari tarikan rutinitas duniawi demi memulihkan realitas dunia. Situasi pengosongan merupakan pangkal pemulihan adikrisis sebab tantangan terberat dalam situasi krisis tanpa kepemimpinan yang kuat adalah bagaimana menemukan basis spiritualitas yang mendorong ke arah penyehatan politik. Dari momen transendensi, yang meluluhkan sekaligus memperkuat diri, berturut-turut diharapkan bisa terengkuh pengetahuan/visi baru, ketegaran asketik, kemampuan empati, kelapangan altruistik, dan akhirnya kesadaran bahwa semua adalah satu.
Alfred Adler berpendapat tetang kebahagiaan adalah kehendak untuk berkuasa (the will to power). Namun, Viktor Frankl menganalogikan kebahagiaan menjadi pencapaian kebahagiaan tertinggi itu terengkuh bukanlah dalam keberhasilan, kesenangan, dan kekuasaan, melainkan dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan segala pahit getirnya. Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning), lewat kemampuan berdamai dengan kenyataan dan pengorbanan untuk menjadi lebih besar dari diri sendiri, merupakan sumber kebahagiaan tertinggi.
Who I am, siapakah saya? Puasa mengingatkan keharusan berbagi dalam distribusi harta, kesempatan, dan status kehormatan; juga dalam peran dan tanggung jawab mengelola urusan hidup bersama. Tak sepatutnya otoritas tertentu mengintervensi bidang lain di luar kapasitas kewenangannya. Billahi Taufiq Wal Hidayah.
*Penulis merupakan salah satu tokoh muda pantura Pamekasan.