Oleh : Widya Selvi Kusuma N (Ketua Umum HMI Komisariat Djuanda Cabang Bogor)
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) secara resmi dicanangkan sebagai intervensi gizi untuk meningkatkan kualitas SDM dan mengatasi masalah gizi ganda (triple burden of malnutrition), terutama stunting. Menu makanan pun disusun berdasarkan rekomendasi ahli gizi.
Namun, sasaran penerima MBG diterapkan secara luas dan merata di berbagai jenjang pendidikan, tanpa memandang latar belakang ekonomi dan sosial, jadi semua anak mendapatkan makanan tersebut.
Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan untuk hari ini:
• Jika Tujuannya untuk Gizi: Mengapa program ini tidak secara ketat difokuskan pada daerah 3T atau kelompok dengan beban stunting atau gizi buruk tertinggi? Mengapa tidak fokus pada gizi makanannya? yang bahkan lebih penting dan juga kebersihan makanan dan tempat makanan merupakan salah satu pendukung pencegahan Stunting. Bukankah intervensi gizi yang efektif, terutama untuk stunting, harus dimulai sejak 1.000 hari pertama kehidupan?
• Jika Tujuannya untuk Keadilan Sosial/Mengatasi Kelaparan: Jika tujuannya adalah keadilan sosial dan memenuhi kebutuhan siswa dari keluarga kurang mampu agar mereka tidak terbebani biaya makanan, maka program yang dijalankan secara universal (untuk semua siswa, baik kaya maupun miskin) dianggap berisiko pemborosan anggaran negara yang sangat besar.
• Kualitas Makanan: Adanya kasus laporan mengenai keracunan massal, makanan basi, atau makanan yang kualitas gizinya diragukan, makanan sama sekali tidak mengandung gizi, makanan yang asal cara masaknya ini menunjukkan bahwa aspek “Bergizi” dalam MBG belum terjamin.
• Ketidaktepatan Sasaran (Sosial): Anak dari keluarga mampu yang sudah membawa bekal atau mendapat asupan cukup, terkadang tidak mengonsumsi makanan MBG, menyebabkan makanan tidak di makan lalu berakhir di tempat sampah, bentuk pemborosan sumber daya. Kalau di daerah tertentu sudah menerapkan food bank lebih bagus, tapi jika tidak?
Sementara itu, ada pihak yang menyarankan dukungan lebih difokuskan pada kelompok yang belum mampu memenuhi kebutuhan gizinya secara mandiri.
• Tata Kelola dan Transparansi: Kurangnya regulasi pelaksana, rawan manipulasi pengadaan barang/jasa, dan lemahnya pengawasan menunjukkan fokus yang terdistraksi dari tujuan gizi murni.
Stunting harus ditangani pada 1.000 hari pertama kehidupan (sejak janin hingga usia 2 tahun). Program MBG yang berfokus pada anak sekolah (usia SD hingga SMA) adalah intervensi yang sudah terlambat untuk mencegah stunting. Jika tujuan utama MBG adalah memperbaiki gizi secara efektif, seharusnya alokasi terbesar diarahkan untuk Balita dan Ibu Hamil di daerah dengan prevalensi gizi buruk tertinggi (3T), bukan disebar merata di seluruh jenjang pendidikan.
Ini bukan masalah program MBG harus di berhentikan atau tidak, namun meninjau ulang bahwa tujuan MBG ini di berikan untuk apa? apakah untuk mencapai tujuan ganda mulia; Perbaikan Gizi untuk pencegahan Stunting, ataukah mengatasi Kelaparan mencegah kemiskinan Sosial Ekonomi?
Justru dampak dari makanan yang tidak “Bergizi” secara memadai justru mengaburkan tujuan gizi dan berisiko hanya menjadi pengisi perut, bukannya perbaikan nutrisi (kasus keracunan dan menu yang tidak seimbang).
Kemudian jika tujuannya untuk mengatasi kemiskinan dan untuk anak anak di daerah jauh dari akses ataupun jangkauan agar tidak kelaparan, mengapa anak dari keluarga mampu yang sudah membawa bekal bergizi dan tidak kekurangan harus menerima manfaat yang sama? Hal ini berisiko menjadi pemborosan fiskal di tengah keterbatasan anggaran negara.
Jadi seandainya memang program MBG ini hanya untuk mengatasi kelaparan bagi anak-anak yang kurang mampu, solusi pemerintah bisa saja memberikan bantuan sembako dan harus tepat sasaran penerimanya.
Namun jika memang MBG ini betul-betul untuk pencegahan Stunting dari investasi makanan bergizi bagi anak-anak generasi emas harus jauh lebih di perhatikan gizi dan dari segi kebersihannya, lalu cara memasaknya, dan pengawasan yang ketat. Maka solusinya menurut saya, lebih baik di bentuk Tim Pengawasan khusus untuk kebersihan dan pengecekan gizi makanan, adanya Foodbank agar makanan tidak jadi sampah terbuang sia-sia, lalu pembentukan Duta Gizi pada masing-masing sekolah untuk pembelajaran bagi siswa tersebut dan bisa membantu pengelolaan MBG pencegahan stunting dengan efektif.












