Opini  

Musik Tongtong, Potret Nasionalisme Anak Muda Pada Budaya Lokal

Festival musik Tong-Tong yang memukau penonton di Sumenep (Hanafi/Yakusa.id)
Festival musik Tong-Tong yang memukau penonton di Sumenep (Hanafi/Yakusa.id)

Oleh : Haninatun Navisah, Siswi SMAS Nahdatul Ulama Sumenep (Pemenang Lomba Esai No 1 yang Digelar Yakusa.id)

Mengisi kemerdekaan di negeri ini menjadi tanggung jawab bersama, termasuk bagi anak-anak muda. Salah satunya, memiliki rasa peduli pada pelestarian kebudayaan lokal, yang menjadi identitas bangsa ini. Iya, kan?

Saat scrolling di TikTok, secara tidak sengaja saya melihat tayangan atraksi pertunjukan musik tongtong asal Sumenep yang unjuk kebolehan di Kota Yogyakarta. Tayangan tersebut, ternyata viral di sejumlah akun TikTok dan Instagram.

Dengan jelas terlihat sekali kegembiraan para penonton saat menyaksikan Musik Tongtong yang diiringi para penari perempuan dan tarian topeng tersebut.

Tayangan viral di Tiktok itu terjadi saat pagelaran Indonesian Street Performance “Nusantara Menari” yang digelar di titik nol Yogyakarta pada 2025, beberapa bulan yang lalu. Adapun musik Tongtong yang melakukan pertunjukan yaitu, “Angin Ribut” yang tampil mewakili kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Menyaksikan itu semua. Muncul rasa bangga mengingat banyak anak-anak muda terlibat dalam penampilan musik tongtong tersebut.

Hal ini menunjukkan, spirit anak muda untuk mencintai budaya lokal masih terawat dengan baik. Hal ini menunjukkan nasionalisme untuk merawat identitas bangsa melalui pelestarian budaya lokal perlu diapresiasi.

Ada saatnya, kita, termasuk saya sendiri dengan jujur untuk mengapresiasi antusiasme dan keseriusan yang ditunjukkan anak-anak muda yang ikut peduli merawat kebudayaan lokal, seperti musik tongtong ini.

Di kabupaten Sumenep sendiri, tidak jarang masyarakat menyaksikan euforia Agustusan ataupun acara besar lainnya ketika menghadirkan musik tongtong sebagai pengisi pertunjukan hiburan.

Memaknai Nasionalisme Anak Muda

Menurut Oxford Languages, pengertian dari nasionalisme, yaitu kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.

Memaknai nasionalisme, menurut yang saya pahami, dalam kerangka untuk merawat semangat kemerdekaan bangsa. Tentu saja, setiap orang tidaklah sama melakukan hal yang sama.

Ada bidang dan kontribusi yang ditunjukkan yang tidak selalu sama satu dengan yang lain.

Ada nasionalisme yang ditunjukkan dengan cara bersuara di parlemen, ada di jalur lembaga pendidikan, tetapi tidak sedikit yang melakukannya melalui aktifitas kebudayaan.

Terlebih, mengingat negeri Indonesia ini dikenal luas hingga mancanegara sebagai kawasan yang dipenuhi keberagaman, seperti suku, bahasa, agama serta tradisi seni budaya. Maka, keterlibatan anak muda untuk merawat kebudayaan daerah sebagai bagian dari identitas bangsa perlu digalakkan.

Tentu, tantangan untuk merawat kebudayaan, seperti kesenian yang tumbuh berkembang di daerah sebagai bagian identitas bangsa perlu kerja-kerja kebersamaan.

Misalnya dengan memberikan kesempatan tampil di ruang-ruang publik yang bisa disaksikan langsung oleh masyarakat luas dan dana pengembangan.

Mencintai dan Melestarikan Budaya Lokal
Seorang peneliti terkenal asal Belanda, Helena Bouvier menyebutkan bahwa Tongtong merupakan nama yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Madura untuk menyebut sebuah instrumen musik semacam kentongan yang terbuat dari bambu.

Penamaan tersebut muncul melalui onomatope bunyi yang dihasilkannya. Dalam masyarakat Madura, (2002).

Berdasarkan hasil penelitian Titis Setyono Adi Nugroho yang berjudul Musik Tongtong Sebagai Pemberdayaan Ekonomi dan Identitas Lokal Masyarakat Kabupaten Sumenep Madura disebutkan panjang lebar tentang manfaat Tongtong di masa lalu.

Saya akan menjabarkan satu per satu manfaat tongtong mengutip hasil penelitian tersebut.

Pertama, alat tersebut mula-mula digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat setempat.

Lalu, Tongtong dikenal sebagai sebuah alat komunikasi penanda bahaya yang berbentuk kendang besar, digantung di satu tempat di sebuah desa yang tidak pernah dipindahkan dari tempatnya.

Kedua, Tongtong ini juga digunakan sebagai alat untuk membuat gaduh guna membangunkan makhluk hidup, baik manusia maupun binatang piaraan saat gerhana bulan.

Gerhana bulan di kala itu (zaman Hindu) masih dianggap peristiwa penyebab kesengsaraan, karena gerhana bulan diibaratkan sebagai bulan yang sedang sakit.

Fungsi pemukulan tongtong di sini diibaratkan sebagai sajian tolak bala dari bahaya kesengsaraan masyarakat Madura.

Seiring waktu, maka alat tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dari musik tongtong yang digandrungi masyarakat di Madura saat ini.

Menurut Syaf Anton Wr, seorang Budayawan Sumenep bahwa musik tongtong semakin berkembang menjadi musik ul-daul.

Istilah ul-daul sendiri oleh sebagian masyarakat Madura berasal dari kata gaul yang berkembang menjadi ul-gaul dan menjadi fasih dengan sebutan ul-daul.

Musik ul-daul merupakan pengembangan terhadap musik tongtong dari segi kuantitas, jenis instrumen, dan penggunaan teknologi.

Dalam hal ini, kuantitas instrumen diartikan sebagai penambahan beberapa alat-alat musik pendukung, di antaranya adalah gamelan peking, kendang, gong, kenong, dan bahkan terompet, serta pengeras suara/soundsystem. (2011).

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, semua tayangan penampilan Musik tongtong mengalami perkembangan signifikan.

Hingga akhirnya, Musik Tongtong saat ini berkembang menjadi semacam ikon masyarakat Madura yang mendapat tempat dan atensi oleh masyarakat maupun pemerintah setempat.

Dengan jelas, saya juga melihat gerakan-gerakan pelestariannya dalam berbagai acara Festival Musik Tongtong se- Madura, yang digelar Pemerintah Daerah yang rutin digelar setiap tahun, bahkan masuk pada Kalender Event tahunan.

Penampilan musik tongtong juga bisa disaksikan dan ditunggu-tunggu saat memperingati hari jadi Kabupaten Sumenep.

Penampilan musik tongtong dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagaimana ditulis panjang lebar Titis Setyono Adi Nugroho (2021) bahwa dalam pagelaran, visual juga sangat diperhatikan dalam musik ini dengan adanya penambahan hiasanhiasan kertas atau cat warna-warni pada instrumen dan pemukulnya, sekaligus disain kereta dorong yang digunakan.

Agar kelihatan lebih mencolok dan menambah daya tarik penonton, kereta dorong didesain dengan beragam bentuk, misalnya dengan bentuk-bentuk binatang baik umum maupun mitos.

Ditambahkan juga kerlap-kerlip lampu hias yang berwarna-warni sehingga kereta dorong masing-masing kelompok orkes musik kian semarak dan eksotis.

Selain itu, Penambahan beberapa instrumen, diantaranya bonang, kenong, gamelan peking, rebana, tamborin, terompet reog, dan bahkan terompet dari barat kian mempertegas rancak ritmik dan melodi dari lagu/musik yang dimainkan.

Sebagian besar instrumen diletakkan di atas kereta dorong, tetapi ada beberapa instrumen yang masih dijinjing oleh personilnya, salah satunya rebana dan tamborin.

Tentu, saya bangga melihat potret semangat yang ditunjukkan anak-anak muda tersebut.

Potret nasionalisme dengan merawat musik tongtong sebagai identitas budaya lokal perlu ditumbuhkan agar spirit kemerdekaan tidak luntur.

Sehingga tetap merawat rasa kebersamaan satu dengan yang lain melalui sarana pelestarian musik tongtong.

Tentu, pengertian nasionalisme setiap pakar berbeda-beda. Tetapi kita, termasuk saya sendiri sepakat bahwa mencintai tanah air dan merawat hal-hal yang menjadi bagian dari identitas suatu bangsa perlu dijaga.

Ada kalanya, saya berpikir berlebihan ketika musik tongtong tidak lagi terdengar di jalanan.

Itu pertanda, mungkin sedang terjadi situasi sedang genting di negeri ini. Dan masyarakat tidak lagi diijinkan untuk keluar rumah untuk sekadar menyaksikan pertunjukan hiburan.

Maka, menyaksikan pertunjukan musik tongtong adalah potret nasionalisme yang disukai anak muda dari sisi yang lain.

Ada saatnya, di mana nasionalisme penting diartikan sebagai kebersamaan, menghadirkan harmoni sesama anak bangsa untuk mencintai tanah air dengan berkumpul bersama warga sambil menyaksikan pertunjukan musik tongtong.

Tanpa menutup mata dengan hiburan yang lain, saya percaya bahwa ketika parade musik tongtong digelar yang berhasil menarik perhatian, tidak sedikit yang kecipratan rejeki.

Para pedagang jalanan, penjaga parkir, dan lainnya.

Tidak menutup kemungkinan, pertunjukan musik tongtong bisa digelar pada tingkat yang lebih besar lagi, di skala internasional, misalnya. Saya berharap dan membayangkan seperti itu di kemudian hari.

Sumber Referensi Tulisan

1) Anton, S. (2011). Ul-Daul; Musik Tradisi Madura yang fenomenal. http://www.lontarmadura.com/ul-daulmusik-tradisi-madura-yang-fenomenal/

2) Titis Setyono Adi Nugroho, “Musik Tongtong Sebagai Pemberdayaan Ekonomi dan Identitas Lokal Masyarakat Kabupaten Sumenep Madura”. 2021

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *