Kolom  

Peta Para Driver Ojol dan Zona-Zona Gelap di Pulau Madura

sebuah catatan perjalanan yang tak terekam kamera

YAKUSA.ID – Ada satu kalimat yang pernah saya dengar dan terus terngiang sampai hari ini:

“Di jalanan, Mas… yang paling berbahaya itu bukan gelapnya malam, tapi gelapnya niat manusia.”

Saya tak begitu menganggapnya serius sampai Rabu, 26 November 2025, ketika saya memesan ojek online, pukul 11.55 WIB. Saya sedang terburu-buru ingin keluar kota. Tarifnya? Lumayan.

Kalau mau jujur, bisa dapat lima cangkir kopi Starbucks. Tapi ketika seseorang sedang dikejar waktu, kopi jadi tidak relevan, yang penting sampai dengan tepat waktu.

Driver itu datang pukul 12.10 Waktu Indonesia Barat. Wajahnya ramah, usianya mungkin awal 40-an. Saya tidak merekam obrolan kami, tapi setiap kata tetap saya ingat karena percakapan itu pelan-pelan berubah dari sekadar basa-basi menjadi semacam pengakuan jalanan.

Kami mulai dari hal yang paling aman.

“Rute terjauh pernah sampai mana, Pak?” tanya saya.

“Lintas provinsi pernah, Mas,” jawabnya.

Dari sana, percakapan mengalir. Tentang tarif. Tentang polanya orderan. Tentang rezeki yang naik-turun seperti grafik saham. Sampai akhirnya saya masuk ke pertanyaan yang sejak awal saya simpan.

Apakah benar para driver luar Madura takut menerima pesanan ke Madura?

Driver itu tertawa kecil, tapi bukan tawa lucu, lebih seperti tawa getir orang yang paham dunia tak seaman aplikasi menggambarkannya.

“Bukan takut, Mas… lebih ke waspada. Banyak kejadian begal itu terjadi di Madura.”

Kemudian ia menyebutkan sebuah tragedi yang membuat saya tercekat, pembakaran driver ojol asal luar Madura di Sampang, Oktober 2025 lalu. Satu driver disiram bensin, dibakar hidup-hidup, motornya dibawa kabur. Berita itu viral, menghantam media sosial dalam gelombang besar. Dan ironi terbesarnya, pelakunya belum tertangkap.

“Karena dia pesannya offline, Mas. Nggak ada jejaknya,” kata sang driver pelan.

Saya merasakan mobil sedikit melambat, entah karena lalu lintas atau karena ia mulai masuk ke bagian cerita yang paling serius.

“Itu resikonya offline. Memang hasilnya lebih banyak, tapi risikonya juga lebih banyak.”

Ia kemudian mengeluhkan potongan aplikasi yang terlalu besar.

“Tarif di aplikasi kalau 200 ribu, biasanya yang nyampe ke kita cuma 140-an. Makanya banyak driver tergoda offline.”

Saya mengangguk, dan obrolan masuk lebih dalam. Ia memetakan Madura dengan cara yang tidak bisa Anda temukan di Google Maps

– Sumenep: paling aman
– Pamekasan: utara sedikit gelap
– Bangkalan & Sampang: “zona hitam”

Lalu ia menambahkan satu kalimat yang menampar kesadaran saya:

“Jangankan driver luar Madura, Mas… bagi driver asli Madura pun, Madura ini masih dianggap zona hitam.”

Saya teringat satu kejadian: orderan saya pernah dibatalkan sepihak oleh driver. Kala itu saya kesal, marah-marah dalam hati. Tapi setelah mendengar tentang “zona-zona terlarang” ini, saya mulai memahami bahwa bagi sebagian orang, satu orderan bisa jadi soal hidup dan mati.

Sang driver kemudian membuka cerita yang membuat bulu kuduk saya berdiri.

Suatu hari, bulan Juni, ia menerima order dari seorang perempuan bercadar. Tujuannya sebuah pesantren. Setelah sampai, perempuan itu ingin menambah tujuan, tapi meminta agar lanjutannya lewat jalur offline. Saat itu, seorang teman perempuan itu yang mengendarai motor meminta driver mengikuti dari belakang.

“Saya langsung nggak enak, Mas,” katanya.
“Jalannya sepi. Saya takut. Saya turunkan perempuan itu di jalan, lalu saya putar balik.”

Bukan karena suudzon. Bukan karena prasangka buruk kepada perempuan bercadar. Tapi karena naluri hidup manusia selalu bekerja lebih cepat daripada logika.

Di titik ini saya benar-benar merasa sedang mendengarkan seseorang yang telah lama membaca dunia hanya lewat dua hal, insting dan pengalaman.

Ia kemudian merangkum inti hidup dalam profesinya:

Kunci selamat bagi para driver:

1. Jangan pernah terima pesanan offline.

2. Aplikasi jangan ambil potongan terlalu besar agar driver tidak tergoda offline.

3. Kalau dari awal hati sudah was-was, meski order resmi—hindari.

4. Tetap berada dalam circle atau titik mangkal para driver.

“Kadang Mas, keselamatan itu datang dari keberanian buat bilang ‘nggak’,” ucapnya.

Kata-kata yang sederhana, tapi berat.

Di akhir perjalanan, saya baru sadar: di balik ikon hijau-kuning aplikasi, ada manusia yang setiap hari bertarung di antara rezeki dan bahaya. Ada peta yang tidak terlihat, peta yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang hidup di jalanan.

Peta dengan zona terang, zona remang, dan zona gelap.

Dan di peta itu, Madura masih punya beberapa titik merah pekat, titik yang membuat seorang driver berpikir seribu kali sebelum menekan tombol “terima order”.

Dalam perjalanan yang singkat itu, saya belajar satu hal, tidak semua ketakutan berakar dari kelemahan. Banyak ketakutan justru lahir dari pengalaman bertahan hidup.

Respon (3)

  1. Masya Allah, senang melihat ada percakapan antara penumpang dengan driver, menjadikan driver sebagai teman ngobrol…

  2. nah, ini yang namanya memanusiakan manusia – ngajak ngobrol driver selama perjalanan. jadi bisa dapat insight yang menarik…bravo tulisannya

  3. mantabs…ini namanya memanusiakan manusia, berdialog selama perjalanan. jadi dapat insight….bravo tulisannya bang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *