YAKUSA.ID — Ada satu kalimat yang pernah saya dengar dari seorang driver ojol beberapa hari lalu. Dengan nada setengah bercanda, setengah putus asa, ia berkata:
“Mas… di Madura itu ada zona terang, zona remang, dan ada zona gelap. Sampang itu masuk yang terakhir.”
Waktu itu saya menganggapnya hanya cerita jalanan, antarancampuran pengalaman pribadi dan paranoia. Sampai kemudian, Minggu malam 30 November 2025, saya membaca berita:
“Seorang sopir rental asal Pandaan, Pasuruan, disekap dan dikalungi celurit di Sampang.”
Sekali lagi: Sampang.
Lagi-lagi: Sampang.
Ini bukan tentang satu kasus. Ini tentang akumulasi. Cerita jalanan dari seorang driver mendadak berubah menjadi realitas yang terpampang di depan mata. Kasus pembakaran driver ojol luar Madura pada Oktober 2025, yang juga terjadi di Sampang, bahkan belum hilang dari ingatan publik. Pelakunya pun belum tertangkap. Ketakutan masih bersisa.
Belum selesai, muncul lagi kasus sopir rental bernama F yang diculik, disekap, dikalungi celurit, dan mobilnya ditahan komplotan pelaku. Pemilik rental sampai melapor ke Polda Jatim karena sopirnya hilang seharian penuh.
Mari bicara jujur, cerita-cerita menegangkan seperti ini tidak pernah terjadi di satu kabupaten secara berulang jika wilayah itu benar-benar aman.
Jadi ketika driver ojol menyebut Sampang sebagai “zona gelap”, kini saya mengerti bahwa dia tidak sedang berlebihan. Ia sedang menggambarkan realitas yang, sialnya, baru saja terbukti lagi.
Masalahnya sederhana, Sampang sedang tidak baik-baik saja. Tidak, saya tidak sedang menstigma sebuah kabupaten. Saya tidak mengatakan semua orang Sampang berbahaya. Yang saya katakan adalah, Sampang punya persoalan keamanan yang serius. Dan pola kriminalitasnya tidak bisa lagi disebut kejadian sporadis.
Ketika seorang driver dibakar hidup-hidup, sopir rental disekap, kasus penodongan dan pencurian motor berulang di jalur sepi, dan banyak pengemudi online kini terang-terangan menghindari order menuju titik-titik tertentu… maka ini bukan kebetulan.
Ini reputasi. Reputasi yang lahir dari peristiwa nyata, bukan dari rumor.
Sampang sedang memproyeksikan diri sebagai wilayah rawan. Bagi para pengemudi—ojol, taksi online, hingga sopir rental—Sampang seperti “zona hitam” di peta mereka. Tempat yang lebih mudah melahirkan cerita buruk daripada kabar baik.
Ironisnya, reputasi ini tidak dibentuk oleh orang luar. Tetapi oleh kejadian yang sumbernya dari dalam daerah itu sendiri.
Citra kabupaten bukan dibangun oleh slogan, baliho, atau festival budaya. Ia dibangun oleh rasa aman.
Saya tahu betul ada banyak orang Sampang yang baik, ramah, pekerja keras. Tapi kebaikan personal kalah telak jika berita kriminal terus mengalir dari lokasi yang sama. Citra buruk itu bukan karena komentar driver. Bukan karena tulisan saya. Bukan karena pihak luar salah paham.
Citra buruk itu terbentuk karena ada warga yang benar-benar berani menyekap orang. Karena ada yang tega membakar driver. Karena ada jaringan kriminal yang cukup percaya diri melakukan penyanderaan tanpa takut hukum.
Kalau ada yang tersinggung, yang perlu disinggung bukan mereka yang bicara. Tapi mereka yang melakukan kejahatan.
Label “Meksikonya Madura”?
Istilah ini memang berlebihan jika dipakai sembarangan. Tetapi dalam dunia percakapan sehari-hari—terutama di kalangan driver—kata “Meksiko” memiliki makna tertentu. Wilayah yang dianggap tidak ramah bagi para pengemudi, marak kriminalitas bersenjata, dan cenderung dikuasai kelompok-kelompok yang berani melakukan kekerasan terbuka.
Dalam pop culture, Meksiko digambarkan sebagai tempat di mana jalur-jalur tertentu rawan, wilayah yang dihindari sopir luar, daerah yang keamanannya tidak bisa dijamin 24 jam, dan di mana rumor kriminal sering terbukti oleh kejadian nyata.
Apakah itu gambaran akurat tentang Meksiko secara keseluruhan? Tentu tidak.
Tapi dalam percakapan driver, istilah itu adalah simbol, tempat yang bikin mereka waspada, takut, dan berpikir seribu kali.
Dan sayangnya, bagi banyak driver, Sampang mulai masuk ke kategori itu.
Bukan karena nama atau stereotip, tapi karena rangkaian peristiwa yang terjadi berulang—dan selalu berasal dari kabupaten yang sama.
Sampang Tidak Butuh Pembelaan, Tapi Pembenahan
Jika Sampang ingin keluar dari label zona gelap atau dari julukan miring “Meksikonya Madura”, maka caranya bukan dengan membantah kritik atau menepis stigma. Cara satu-satunya adalah:
Menutup celah kriminal.
Memperkuat pengawasan daerah rawan.
Menangkap pelaku sampai tuntas.
Memberi jaminan keamanan bagi siapa pun yang masuk dan keluar wilayah itu.
Selama pembenahan tidak dilakukan, jangan heran jika para pengemudi—bahkan yang asli Madura—akan terus berkata:
“Kalau ada order ke Sampang, saya pikir seribu kali, Mas.”
Dan itu bukan stigma.
Itu adalah mekanisme bertahan hidup.
*Penulis adalah pegiat literasi yang suka naik taksi












