Harjad ke 756: Ketua PD Muhammadiyah Sumenep Singgung Anak Muda hingga Pentingnya Gerakan Kebudayaan dan Keilmuan

Ketua PDM Sumenep, Dr. Moh. Zeinudin mengatakan tahun 2025 merupakan usia ke-756 Kota Keris sebagai perjalanan panjang yang tidak sekadar menunjukkan rentang waktu, melainkan bukti daya tahan sebuah peradaban (For Yakusa.id)
Ketua PDM Sumenep, Dr. Moh. Zeinudin mengatakan tahun 2025 merupakan usia ke-756 Kota Keris sebagai perjalanan panjang yang tidak sekadar menunjukkan rentang waktu, melainkan bukti daya tahan sebuah peradaban (For Yakusa.id)

YAKUSA.ID – Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sumenep mengucapakan selamat Hari Jadi (Harjad) Sumenep ke 756 yang mengangkat tema “Ngopene Soengenep”.

Ketua PDM Sumenep, Dr. Moh. Zeinudin mengatakan tahun 2025 merupakan usia ke-756 Kota Keris sebagai perjalanan panjang yang tidak sekadar menunjukkan rentang waktu, melainkan bukti daya tahan sebuah peradaban.

Menurut dosen di salah satu Perguruan Tinggi Sumenep itu mengatakan bahwa tema Hari Jadi tahun ini, “Ngopene Soengenep”, yang berarti merawat Sumenep mengandung pesan filosofis yang dalam: bahwa kemajuan sejati bukan hanya hasil dari pembangunan fisik, tetapi terutama buah dari kesadaran kolektif untuk menjaga nilai, tradisi, dan kearifan yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat.

“Sumenep bukan sekadar daerah di ujung timur Madura. Ia adalah mosaik sejarah dan kebudayaan Nusantara, tempat di mana Islam, tradisi lokal, dan semangat kemanusiaan berpadu indah dalam harmoni. Nilai gotong royong, kejujuran, dan kearifan lokal bukan sekadar simbol budaya, tetapi merupakan roh sosial yang selama berabad-abad menjadi penyangga harmoni masyarakat Sumenep,” ungkapnya dalam keterangan tertulis kepada wartawan pada Jum’at, 31 Oktober 2025.

Namun, katanya lebih lanjut, di tengah arus modernisasi yang cepat, nilai-nilai itu kini menghadapi tantangan serius.

Ia memaparkan bahwa globalisasi telah membawa kemajuan teknologi dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan disrupsi sosial dan moral.

Orang nomor satu di PDM Muhammadiyah Sumenep itu menyoroti banyak anak muda yang tumbuh tanpa akar sejarah yang kuat, terpesona oleh budaya instan, dan terkadang terlepas dari identitasnya sebagai orang Sumenep.

“Di sinilah urgensi tema Ngopene Soengenep menemukan relevansinya: ia adalah ajakan untuk kembali meneguhkan jati diri,” tegasnya.

Sebagai akademisi dan tokoh agama, ia memandang bahwa merawat Sumenep harus dimaknai sebagai gerakan kebudayaan dan keilmuan.

Merawat bukan berarti menolak perubahan, melainkan memastikan bahwa setiap perubahan berpijak pada nilai luhur. Pendidikan misalnya, harus menjadi medium utama dalam pewarisan budaya dan pembentukan karakter.

Sekolah dan perguruan tinggi di Sumenep mesti mengembangkan ilmu yang membumi, yakni ilmu yang peka terhadap realitas sosial, tetapi tetap berpijak pada nilai spiritual dan moral yang kokoh.

Mislanya, paparnya lebih jauh, dalam konteks pemerintahan dan pembangunan daerah, Ngopene Soengenep dapat diterjemahkan sebagai komitmen etis untuk membangun dengan kejujuran dan tanggung jawab.

“Kejujuran, yang merupakan inti ajaran agama dan budaya, harus menjadi fondasi birokrasi. Gotong royong, yang menjadi identitas sosial masyarakat Madura, perlu dihidupkan kembali dalam kerja kolaboratif antara pemerintah, ulama, akademisi, dan masyarakat sipil,” ujarnya.

Lebih lanjut, menurutnya; merawat Sumenep juga berarti menjaga warisan sejarah dan kebudayaan yang menjadi kebanggaan daerah ini.

Dia menambahkan, dari keraton hingga masjid agung kuno, dari musik saronen hingga tradisi petik laut, semua itu bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber inspirasi untuk membangun masa depan.

Kebudayaan adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Tanpa merawatnya, kita kehilangan arah sebagai sebuah bangsa kecil yang berperadaban.

Pria murah senyum itu ini percaya bahwa Sumenep akan berkemajuan jika ia berbudaya; dan ia akan berbudaya jika ia tetap setia pada nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur.

Tema Ngopene Soengenep seharusnya tidak berhenti pada slogan seremonial, tetapi menjadi gerakan moral yang hidup di tengah masyarakat, gerakan untuk memperkuat integritas, memperdalam ilmu, memperhalus budi, dan mempererat solidaritas sosial.

Zeinudin pun berharap di usia ke-756 ini, Sumenep tumbuh menjadi daerah yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga beradab dalam budi.

Karena sejatinya, sambungnya, kemajuan tanpa budaya hanya melahirkan kekosongan, sementara budaya tanpa kemajuan hanya menjadi nostalgia.

“Maka, mari kita rawat Sumenep dengan ilmu, iman, dan kebersamaan agar tetap menjadi tanah yang subur bagi lahirnya manusia berakhlak, berilmu, dan berperadaban,” kuncinya.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *