Oleh: Mita Handayani (Peserta Advanced Training Badko HMI Sumatera Barat)
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 2 Mei 2024, Indonesia merayakan sebuah hari penting dan bersejarah bagi bangsanya, yakni Hari Pendidikan Nasional. Terkait pendidikan, Indonesia, melalui peraturan perundang-undangannya pun sudah mengamanatkan agar negara dapat memberikan perhatian lebih pada persoalan pendidikan. Tak tanggung-tanggung, 20% APBD dialokasikan untuk pendidikan. Angka yang terdengar besar memang. Namun sayangnya, angka tersebut belum mampu dirasakan oleh para pelajar Indonesia terutama di Provinsi Sumatera Barat. Nyatanya, anggaran negara yang besar ini belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan pendidikan yang ada. Ada dua poin pokok yang ingin disoroti penulis pada tulisan kali ini. Pertama adalah terkait belum meratanya (baca: kesenjangan) pendidikan di Sumatera Barat. Kedua adalah mengenai tergerusnya nilai-nilai budaya generasi muda Minangkabau akibat penghapusan mata pelajaran (Mapel) Budaya Alam Minangkabau (BAM).
Bicara kesenjangan pendidikan bukanlah nyanyian baru bagi pemerintah Indonesia, khususnya provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 2021 lalu, Rita Diana dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Siswa Putus Sekolah di Provinsi Sumatera Barat” sudah dengan sangat terang memaparkan bahwa angka anak putus sekolah di Provinsi Sumatera Barat semakin meningkat dengan bertambahnya jenjang pendidikan. Angka putus sekolah jenjang pendidikan SD di Provinsi Sumatera Barat mencapai 0,45 persen, sementara angka putus sekolah SMP/sederajat maupun SMA/sederajat masing-masing sebesar 1,46 persen dan 1,58 persen. Jika dilihat persentasenya, ini adalah angka yang cukup besar dan patut untuk diberikan perhatian lebih.
Baru-baru ini, terjadi lagi kasus terkait buruknya keadaan pendidikan di Sumatera Barat. Pada 1 Mei lalu, TribunPadang.com memberitakan bahwa pelajar SMP di Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan terpaksa melaksanakan Ujian Akhir Sekolah (UAS) berbasis online di bukit akibat buruknya jaringan di sekolah. Tentunya, hal ini adalah suatu hal yang sangat dan teramat disayangkan. Padahal, Indonesia adalah negara yang kaya. Kaya akan sumber daya alam dan kaya akan sumber daya mineralnya.
Pemerintah pun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya sudah mengamanatkan agar 20 % anggaran negara dialokasikan untuk pendidikan. Hal ini secara nyata dituangkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua pelajar di Sumatera Barat mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Budaya seperti ini bukanlah budaya yang baik.
Dalam satu sisi, pemerintah Sumatera Barat meminta agar para pelajarnya harus mampu melek akan teknologi di ranah pendidikan. Namun, di sisi lain, pemerintah sepertinya juga mempertontonkan keabsenannya dalam pengoptimalan penguasaan para pelajar terhadap teknologi di dunia pendidikan tersebut. Bahkan, dalam persoalan urgensi dan substansial seperti ini. Menurut hemat penulis, pemerintah harus segera berbenah diri dan merevisi kembali kebijakan-kebijakan yang barangkali luput untuk diperhatikan ini, sehingga berdampak pada terganggunya sistem pendidikan pada generasi mudanya. Apabila hal seperti ini terus dilanjutkan, maka tujuan negara yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa tak akan pernah dapat diraih. Sekali lagi, pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat harus memberikan concern lebih terkait isu pendidikan ini.
Isu lain yang juga patut disoroti terkait pendidikan di Sumatera Barat adalah terkait penghapusan mata pelajaran (Mapel) Budaya Alam Minangkabau (BAM). Penulis menyadari bahwa isu ini bukanlah isu yang baru dan hangat lagi untuk didiskusikan sebab isu ini telah dibahas sejak 2016 lalu dan bahkan tak banyak masyarakat Sumatera Barat yang membincangkan isu ini lagi.
Akan tetapi, menurut hemat penulis, isu ini harus dibangkitkan kembali. Penulis ingin pemerintah, terutama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mempunyai itikad baik untuk meninjau kembali keputusan yang telah dibuat tentang penghilangan mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau di sekolah. Seperti yang kita tahu, sekolah adalah tempat penanaman nilai-nilai pada seorang pelajar setelah ia mendapatkan penanaman nilai dari orang tuanya di rumah. Mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau menjadi sangat penting untuk dimunculkan kembali pada kurikulum pembelajaran di sekolah karena orientasi dari mata pelajaran ini adalah untuk menanamkan dan menekankan etika, estetika, nilai, adat dan budaya Minangkabau itu sendiri.
Minimnya sistem pendidikan informal tentang budaya Minangkabau di Sumatera Barat, juga menjadi pelengkap penggerusan pemahaman para pelajar di Sumatera Barat tentang adat dan budaya Minangkabau akibat keabsenan pembelajaran adat dan budaya di tingkat formal (baca: sekolah). Melihat banyaknya urgensi yang ada tentang keberadaan mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau di sekolah ini, maka mata pelajaran ini harus diadakan kembali di sekolah-sekolah.
Berangkat dari dua fenomena di atas, penulis ingin kembali menyuarakan kepada pemerintah daerah (Pemda) Provinsi Sumatera Barat agar pemerintah dapat mengurusi persoalan pendidikan dengan serius. Pemerintah harus mampu menyelesaikan semua persoalan terkait pendidikan di Sumatera Barat mulai dari tingkat kota hingga desa. Terakhir, penulis ingin mengambil contoh dari Negara Jepang ketika ia dibom oleh Amerika.
Dua hal yang diperjuangkan oleh pemimpinnya, yakni tenaga kesehatan dan guru. Pemimpin Jepang mengatakan, selagi guru masih ada, maka kesuksesan penerus bangsa tak akan mustahil untuk dapat terwujud. Sekali lagi, guru. Guru dalam pembicaraan ini mengarah pada konteks pendidikan. Sekali lagi, pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus memberikan perhatian serius pada ranah pendidikan jika ingin generasi mudanya mencapai Indonesia Emas 2045. Selamat Hari Pendidikan!