Opini  

Menantang Carok Etnis Papua, Makna Carok Justru Digeser Orang Madura Sendiri di Yogyakarta

Oleh: Muqsid Mahfudz*

Menanggapi maraknya premanisme yang dilakukan etnis Papua terhadap beberapa penjaga warung Madura di Yogyakarta, Forum Keluarga Madura Yogyakarta (FKMY) melayangkan surat terbuka kepada ketua etnis Papua Yogyakarta, Hendardo Novriansiroen. Surat edaran itu tertanggal 7 Februari 2025 M.

Diketahui, aksi premanisme yang dilakukan etnis Papua di Yogyakarta, yaitu mengambil barang tidak bayar, mengancam, memukul dan merusak tempat usaha warung Madura. Sehingga Ketua FKMY, RB Jugil Adiningrat meminta sikap kepada tokoh Etnis Papua Yogyakarta guna mengambil tindakan atas premanisme tersebut.

Dalam surat yang telah beredar luas, FKMY meminta jaminan bergaransi pada ketua etnis Papua untuk tidak melakukan premanisme lagi. Jika tidak, mereka menantang Etnis Papua untuk melakukan ‘Carok’ di waktu dan tempat yang dikehendaki pihak lawan.

Pergeseran Makna Carok

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri carok diartikan sebagai perkelahian dengan senjata tajam secara kesatria satu lawan satu (duel).

Sementara penggunaan kata carok dalam surat edaran tersebut, dalam benak penulis cenderung berkonotasi perang etnis daripada sebuah gertakan.

Sharisya Kusuma Rahmanda di laman tempo.com, 21 November 2024, menjelaskan jika memang sejak tahun 1970 M, makna dan perilaku carok sudah mulai bergeser dari kejantanan menjadi perilaku brutal dan egois dengan adanya kejadian “nyelep” atau menikam dari belakang yang dilakukan orang-orang madura. Disusul kejadian pengeroyokan dan dehumanisasi yang secara terbuka dilakukan sebagaiman juga bertebar di media.

Penggunaan kata “carok” dalam surat edaran Forum Keluarga Madura Yogyakarta, menjadi aneh sebab ditulis oleh masyarakat Madura sendiri, dan ditandatangani Ketua dan Sekretaris yang sama-sama bergelar Sarjana Hukum. Sementara dari akun instagram @official_fsmkmy, masyarakat Madura di Yogyakarta juga banyak terdiri dari orang terpelajar, baik mahasiswa atau bahkan dosen kampus-kampus ternama di Yogyakarta. Hal ini justru seakan mengafirmasi stereotip watak keras dan suka membunuh yang memang melekat pada masyarakat Madura hingga detik ini.

Dalam istilah lain dikenal self-fulfilling prophecies, yakni fenomena mayakinkan yang muncul dari tubuh atau perilaku sendiri. Dimana seharusnya, orang-orang terpelajar seperti mereka melakukan upaya pemantasan atau social desirability sebagaimana dipaparkan dalam buku Psikologi dan Teknologi Informasi terbitan Himpunan Psikologi Indonesia.

Demikian itu juga kontras dengan narasi-narasi genealogis yang bertebar di media, serta ditulis oleh akademisi Madura untuk meredam labeling buruk tersebut. Dikatakan bahwa carok, dehumanisasi, dan watak keras Madura juga dipengaruhi kolonialisme dan pemberitaan media-media terhadap tindak kekerasan dan kriminal orang-orang Madura.

Misalnya sebagaimana penulis pahami dari tulisan Royhan Fajar dalam “Demaduralogi: Merobek Studi Kolonial Madura,” di laman basabasi.co, tulisan M. Faizi dalam “Sarung, Madura dan Inferioritas” di laman alif.id, serta tulisan Widya Lestari Ningsih dalam “Carok, Duel Celurit di Madura Hasil Adu Domba Belanda” di laman kompas.com.
Stigma Internal Masyarakat Madura, meski surat itu bisa dipandang sebagai gertakan, serta pergeseran perilaku carok sudah sejak dulu dilakukan oleh masyarakat Madura sendiri, namun penggunaan makna paradigmatik dari kata ‘carok’ di mata penulis tidak seharusnya keluar dari orang terpelajar dan mengerti hukum seperti Ketua dan Sekretaris Forum Keluarga Madura Yogyakarta.

Di mana seharusnya, mereka dan orang-orang terpelajar di Yogyakarta, mampu membina dan melayangkan sejumlah narasi yang bisa meredam tensi emosi masyarakat Madura, serta mempertipis labeling buruk yang melekat di sekujur tubuh kebudayaan masyarakat Madura. Lebih-lebih di ruang-ruang publik atau media sosial.

Sejalan dengan konsep global village McLuhan yang diuraikan Cahyo Pamungkas dalam “Global village dan Globalisasi dalam Konteks keIndonesiaan”, bahwa digitalisasi menciptakan ruang komunikasi global yang simultan. Sehingga narasi-narasi lokal akan mengalami perubahan konteks menjadi global di ruang digital seperti media sosial.

Saiful Hadi dalam Dialektika Madura dalam Pusaran Stigma mengatakan, jika labeling buruk pada Madura juga mempengaruhi diri individunya. Sehingga lahirlah sebuah Stigma Internal atau bagaimana individu Madura memaknai diri, yang terbentuk dari cara orang lain memandang mereka.

Kesimpulan

Agaknya kondisi itulah yang pas menggambarkan isi umum surat edaran terbitan Forum Keluarga Madura Yogyakarta, dimana mereka menggertak sembari melabeli diri sendiri sebagai orang yang sedikit sedang bertaruh nyawa dengan sesama Indonesia. Sekian.

*) Penulis merupakan mas-mas yang lahir di Pamekasan, Madura. Pernah kuliah di STAI Al-Anwar Sarang, Rembang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *