Opini  

Kelangkaan Elpiji 3 Kg di Sumenep: Ujian Kepedulian Pemerintah dan Legislatif

Oleh: Zainorrosi(Amir/Yakusa.id)

Oleh: Zainorrosi (Aktivis Sumenep) 

Kelangkaan gas elpiji 3 kilogram di Kabupaten Sumenep telah menjadi persoalan yang kian menguras kesabaran warga, khususnya kalangan menengah ke bawah.

Lembaga Bantuan Hukum Tatetan Legal Justitia pun tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, yang hingga kini belum menunjukkan langkah nyata dalam menanggapi krisis ini.

Padahal, kebutuhan akan gas bersubsidi ini bukan sekadar persoalan kenyamanan, melainkan hajat hidup sehari-hari bagi masyarakat miskin.

Yang mengherankan, fenomena langkanya gas melon ini seakan hanya terjadi di Sumenep.

Di kabupaten tetangga, tidak ada gema keluhan serupa.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: adakah ketidakberesan dalam distribusi atau kebijakan yang justru memperburuk situasi?

Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Sumenep, yang kerap mengklaim diri berpihak pada rakyat kecil, tampak abai.

Bupati Ahmad Fauzi Wongsojudo pun belum memberikan respons memadai.

Apakah kesibukan beliau dalam seremonial atau rotasi jabatan lebih penting daripada mendengar jeritan warga yang kesulitan memperoleh bahan bakar untuk sekadar memasak?

Pemerintahan Bupati Fauzi juga memperkenalkan sejumlah asisten di berbagai bidang, mulai dari pertanian hingga hukum.

Namun, kehadiran mereka seakan tak berarti jika tidak mampu menjawab persoalan mendasar seperti kelangkaan elpiji.

Seharusnya, Asisten Hukum bisa mengambil inisiatif dengan mengusulkan regulasi teknis pendistribusian yang lebih ketat, misalnya melalui Perda yang mengatur kuota pembelian per keluarga miskin atau mekanisme khusus bagi pelaku UMKM.

Dengan begitu, subsidi benar-benar tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.

Sementara itu, DPRD Sumenep juga belum menunjukkan keseriusan dalam mengawal isu ini.

Legislator sejatinya adalah penyambung lidah rakyat, tetapi ketika rakyat menjerit akibat kesulitan memperoleh gas bersubsidi, mereka justru sibuk dengan urusan lain.

Padahal, gas elpiji bukan barang mewah—melainkan kebutuhan primer yang menentukan apakah seorang ibu bisa menyiapkan makanan untuk anaknya sebelum berangkat sekolah.

Jika pemerintah dan legislatif terus bersikap lamban, pertanyaannya sederhana: masih pantaskah mereka disebut sebagai pelayan rakyat? Krisis elpiji ini adalah ujian nyata bagi komitmen mereka terhadap kesejahteraan warga.

Dan sejauh ini, nilai yang terlihat masih jauh dari harapan. (YAKUSA.ID/AM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *