PB HMI Jadi Lelucon Nasional: Apakah Organisasi Kita Disusupi?

Oleh: Amal Yakin (Kader HMI Jakarta)

Di bawah langit Jakarta yang panas oleh polusi dan wacana basi, tiba-tiba PB HMI muncul ke publik bukan dengan gagasan, tapi dengan keberpihakan yang menggelikan. Seolah lupa bahwa mereka mewarisi sejarah panjang gerakan intelektual, Ketua Bidang PTKP PB HMI, Elhakim, mendeklarasikan dukungan terhadap gerakan pemakzulan Wapres Gibran — bukan hasil musyawarah kader, melainkan hasil permenungan sepihak.

Himpunan Mahasiswa Islam, yang mestinya jadi penjaga akal sehat publik, kini malah ikut rombongan pensiunan jenderal dengan narasi usang dan manuver yang tak punya pijakan struktural. Ini bukan lagi organisasi perjuangan, tapi panggung monolog politik yang kehilangan naskah.

Saya membacanya dengan gelisah: 29 Juni 2025 lalu di beberapa media pemberitaan melaporkan bahwa PB HMI melalui Ketua Bidang PTKP-nya, Abdul Hakim El, mendukung penuh langkah Forum Purnawirawan TNI untuk menggugurkan jabatan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Simposium kepemudaan bertajuk “Saatnya Pemuda Memimpin” justru berujung seruan pemakzulan pejabat publik. Pertanyaan adalah, suara mana yang lebih didengar: aspirasi kader HMI atau drama politik para senior?

Padahal HMI adalah organisasi perjuangan berusia 78 tahun (didirikan 1947) berasaskan Islam yang bertujuan mencetak insan akademis dan bertanggung jawab. Terdapat lebih dari 200 cabang HMI di berbagai daerah Indonesia. Sebagai wadah besar, sudah seharusnya setiap sikap politik lahir dari proses kajian bersama, bukan pidato sepihak. Secara internal, aspirasi kader di akar rumput pun harus ditampung rapat PB HMI sebelum bersuara ke publik.

Ironisnya, sikap politik HMI tidak bisa dicetuskan sembarangan. Kita diajarkan bermusyawarah, tapi Abdul Hakim berpidato seolah mewakili ratusan komisariat tanpa konsultasi. Bukankah seharusnya Ketum Bagas Kurniawan memberi koreksi? Atau jangan-jangan Bagas memang sibuk lalu lalang sehingga membiarkan pengurusnya berbicara sendiri (PB HMI tanpa kepemimpinan) Bagas yang diam di masa genting ibarat lampu padam saat panggung kritis bergejolak. Celakanya, kita tidak tahu apakah dia setuju atau cuma diam karena takut citra organisasi tercoreng.

Dari sudut pandang kader HMI Jakarta, situasi ini memalukan dan mengejutkan banyak aktivis. Publik sedang mengusung wacana antidinasti, antikorupsi dan kebijakan merakyat, tapi justru HMI ikut larut pada drama lama. Kader senior dan mahasiswa di luar tertawa sinis melihat organisasi kita berkoalisi dengan pensiunan jenderal untuk persoalan politik nasional. Banyak masalah riil di kampus dan masyarakat menanti solusi, tapi alih-alih itu, simposium HMI “Reformasi Belum Usai” malah terkesan panggung politik usang yang lebih pantas jadi komedi. HMI yang dulu kami banggakan kini malah jadi objek olok-olok.

Nyatanya, gerakan pemakzulan Wapres ini bukan isu enteng. Forum Purnawirawan TNI telah menyurati MPR dan DPR menuntut pemakzulan Gibran pada 2 Juni 2025. Sekretaris forum itu, Bimo Satrio, mengonfirmasi surat sudah dikirim ke DPR, MPR, dan DPD RI pada tanggal tersebut. Lalu kita bertanya-tanya: jika pemerintah dan MK sudah menegaskan Prabowo-Gibran sah serta final, mengapa HMI ikut-ikutan? Apa benar HMI membela konstitusi, atau malah memperuncing konflik dengan klaim suci? Seolah ada kepentingan lain yang ingin kita bela tanpa diskusi jernih.

Sementara itu, dalam forum diskusi lain, mengakui pasangan Prabowo-Gibran sudah mendapat mandat rakyat sah. “Legitimasi itu sah, bukan untuk terus dipertanyakan,”. Para aktivis memperingatkan bahwa narasi pemakzulan justru bisa merusak kepercayaan publik pada pemerintahan baru. Jika aktivis lain sepakat menjaga stabilitas dengan kritik yang sehat, mengapa HMI malah menyebar kegaduhan? Apakah HMI sedang salah paham, termakan informasi keliru, atau tiba-tiba berpihak tanpa kajian matang?

Pemandangan ini tragikomikal: HMI yang dulu vokal soal moral publik kini didegradasi jadi pion sirkus politik. Kami kader hanya melihat satu-dua orasi kilat, sementara PB HMI tak pernah merilis hasil rapat apapun tentang isu krusial ini. Mengutip para pengamat kebajikan publik “politik selalu punya celah. Tapi bukan berarti celah itu harus dijadikan agenda”. Bisa jadi ada kekosongan informasi atau kepentingan tersembunyi di balik klaim pembelaan konstitusi. Jika HMI sampai terjebak menyebar kisah amburadul seperti ini, bukankah itu pertanda ada yang tidak beres di dalam?

Kini HMI bagai ditonton dari tribun ramai oleh publik luas dan kalangan aktivis. Banyak yang menertawakan: dulu organisasi ini dibanggakan sebagai wadah intelektual, kini jadi bahan gurauan. Di media sosial muncul sindiran “Himpunan Membuang Ide” karena HMI dinilai jauh dari marwah aslinya. Sebagai kader, kami sedih melihat hal ini. Kami masuk HMI mencari wacana tajam, tidak mencari sensasi jumpalitan. Apakah ini misi kita?

Mungkin kritik pedas ini memang menyakitkan, tapi kadang perlu untuk membuka mata. HMI semestinya mencerahkan, bukan membuat kekacauan. Bukankah semangat perjuangan HMI selama ini berdasar pada kajian, ilmu, dan akhlak? Jika organisasi ini gagal menegakkan prosedur sendiri, kredibilitas kita musnah sudah. Para founding fathers HMI pasti geleng kepala melihat nama besar mereka dipakai melontarkan pernyataan gegabah. HMI tidak boleh pasrah begitu saja.

Akhir kata, saya mengajak seluruh kader HMI se-Indonesia dan publik berpikir kritis: mari kita tuntut transparansi di PB HMI. Pengurus pusat harus bertanggung jawab – sampaikan hasil musyawarah (jika ada) atau akui kegagalan koordinasi ini. Ketua Umum Bagas Kurniawan, jika masih ada nurani organisasi yang membara, segera angkat bicara. Jangan biarkan HMI menjadi percobaan kepentingan lain. Ingatlah, keutuhan dan marwah HMI lebih tinggi daripada ambisi pribadi menoleh ke kamera. Perjalanan kita ke depan tergantung pada niat bersih, bukan sekadar drama kekuasaan sesaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *