Kritik Impor BBM dari AS: Transparansi dan Kemandirian Jadi Kunci

YAKUSA.ID Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menghentikan impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura dan mengalihkannya ke Amerika Serikat (AS) dalam enam bulan memicu sorotan soal ketahanan energi.

Diumumkan 8 Mei 2025, langkah ini menargetkan pengurangan ketergantungan pada Singapura, penyumbang 54-59% impor BBM, sekaligus merespons ancaman tarif dagang AS sebesar 32%.

PT Pertamina, pelaksana penugasan ESDM, menyiapkan dermaga baru untuk kapal besar AS. Tanpa data harga jelas dan strategi domestik, kebijakan ini berisiko memperdalam ketergantungan impor.

Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, memandang kebijakan ini sebagai respons taktis terhadap tekanan global, tetapi lemah dalam membangun kemandirian energi.

Dia mengapresiasi ESDM mencari sumber hemat, namun mempertanyakan klaim BBM AS lebih murah dibandingkan Timur Tengah.

“ESDM harus buka perbandingan harga agar ini bukan sekadar politik dagang,” katanya Minggu, (11/5/2025)

Pengamat energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyoroti minimnya kapasitas kilang domestik sebagai akar impor BBM 54-60%. Ia mendorong percepatan proyek kilang baru, seperti Kilang Tuban, untuk mengurangi ketergantungan.

“Kebijakan jangka pendek ini tak cukup tanpa terobosan hulu migas,” terangnya.

Romadhon menyoroti peran Pertamina dalam menjalankan tugas ESDM. Ia meminta Pertamina memastikan dermaga baru siap dalam enam bulan untuk menekan ongkos kirim kapal besar AS.

“Pertamina harus laporkan progres infrastruktur secara terbuka demi pasokan lancar,” ungkap dia.

Dari lensa geopolitik, Romadhon memandang pengalihan ke AS sebagai konsesi untuk meredam tarif Trump.

Romadhon memperingatkan risiko ketergantungan baru pada AS, yang melemahkan posisi tawar Indonesia. ESDM perlu diversifikasi ke Timur Tengah untuk keseimbangan strategis.

Kita bisa lihat kebijakan ini dipicu tekanan neraca dagang AS, diperparah pelemahan rupiah ke Rp17.000 pada April 2025. Tarif AS memaksa Indonesia impor lebih banyak produk Amerika, termasuk BBM. Langkah ini berat bagi ekonomi domestik.

Romadhon mengkhawatirkan dampak pada hubungan ASEAN. Menghentikan impor dari Singapura, pusat kilang terbesar kawasan, berisiko memicu ketegangan dagang.

“ESDM harus buka dialog dengan Singapura untuk jaga harmoni regional,” pungkasnya.

Gagas Nusantara mendorong ESDM prioritaskan solusi domestik. Romadhon mengusulkan percepatan Kilang Tuban, target operasi 2027, dan insentif pajak untuk energi surya guna kurangi impor BBM. Kemandirian energi harus berpijak pada potensi lokal.

KPPU melalui Aru Armando memperingatkan kebijakan pro-AS dapat merugikan UMKM tanpa perlindungan pasar lokal.

“Impor besar dari AS harus diimbangi kebijakan pro-industri domestik,” katanya.

Romadhon menegaskan visi Gagas Nusantara untuk reformasi energi nasional yang transparan. Ia meminta ESDM libatkan publik dan pastikan Pertamina akuntabel dalam tugasnya.

“Kebijakan energi harus digerakkan sekarang untuk masa depan mandiri,” tutupnya. (YAKUSA.ID-HS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *