Oleh: Sulaisi Abdurrazaq*)
TAK dapat dipercaya, partai-partai Islamis yang punya konstituen berbasis kultural ideologis dan riil di Sumenep, khususnya PKB dan PPP, vooter-nya pada Pemilu Legislatif 2024 sangat mudah direbut PDIP. Meski PDIP Sumenep tak punya basis ideologis.
Bahkan Partai Gerindra, partai nasionalis besutan presiden terpilih Prabowo Subianto, meski dipimpin ulama kharismatik, tak kuasa melawan PDIP. Basis Partai Gerindra disikat habis, kursinya ambruk ditanduk Banteng.
Saya ingin menyebut partai-partai Islamis dengan “Partai Bulan Sabit” dan PDIP sebagai “Partai Banteng”.
Bulan sabit secara simbolik sering dikaitkan dengan umat Islam. Jika digandeng dengan bintang selalu dimaknai kejayaan umat Islam seluruh dunia.
Meski cukup lama PKB dan PPP berkuasa merawat peradaban Sumenep agar kultur pesantren/santri/Islam terajut secara harmonis dengan budaya keraton, tak butuh tiga tahun bagi kader Banteng untuk meruntuhkan adab itu.
Hiburan malam di Lotus, Mr. Ball, DJ di tempat terbuka yang dapat diakses oleh anak kecil sekalipun, selama Achmad Fauzi Wongsojudo berkuasa, mengandung daya rusak yang dahsyat pada per-adab-an yang dengan susah payah dibangun oleh kelompok Islamis.
Sikap bupati tak marhaenis itu sama dengan mempersilahkan peradaban Barat menjamur di Bumi Sumekar. Sementara adab Islam dan budaya keraton cukup secara simbolik digambarkan melalui songkok, odheng, lalu seragam batik.
Selebihnya, seolah-olah ingin berpesan, warga Sumenep silahkan teler, pangku cewek-cewek cantik dan geleng-geleng, asal dipilih lagi pada Pilkada Sumenep 2024.
Untuk mengantisipasi protes rakyat banyak, Bupati Wongsojudo punya jurus andalan, yaitu: JANJI.
NU Sumenep saja dihibur dengan janji busuk akan dibantu bangun RSI NU, warga pulau diberi makan janji, petani dan rakyat miskin diberi janji, dan seterusnya.
Saya yakin, begitu masuk Pilkada 2024 dia akan berjanji lagi dengan alasan untuk memenuhi janji yang belum ditunaikan.
Pada saat nuansa kebatinan tenang menikmati janji, jelang Pilkada 2024, PKB dan PPP rawan “disihir” Banteng, karena keterbatasan kuasa dan kapital.
Bahkan PAN dan PBB, meski saya kira adalah partai Bulan Sabit yang rasional-modern dan paling bertanggungjawab terhadap kelestarian moral anak bangsa, ternyata menjadi yang paling bangga jatuh ke pelukan Banteng.
Ada rumor yang menyengat akhir-akhir ini bahwa PKB berusaha dikunci agar tunduk dibawah “ketiak” Banteng dan PPP dikunci agar tidak merekomendasi Ketua PPP untuk Bacabup Sumenep.
Skemanya, Ketua PKB Sumenep yang notabene ulama kharismatik diisukan sepakat “kawin” jadi Wakil Wongsojudo. Lawannya “boneka” saja. Cegah Ketua PPP dapat rekom. Entah shahih atau tidak rumor ini.
Bagi saya, jika rumor itu shahih, sungguh innalillah, karena umat terlanjur berharap PKB dan PPP konsisten menjadi kompas, penentu arah bagi umat. Saya kecewa jika bulan sabit menyerah dan puas meringkuk di perut Banteng.
Wakil Bupati tak dapat menjadi pandu umat, karena tidak punya kuasa penuh. Dewi Khalifah (Nyai Eva) adalah cermin masa kini. Tak diberi ruang yang cukup untuk berbuat. Apakah ulama/Ketua PKB Sumenep mau diperlakukan seperti Nyai Eva?.
Jika rumor itu shahih dan Ketua PKB rela menjadi “sepatu” Ketua PDIP dengan komposisi Bacabup dan Bacawabup, maka harus ada peran “istana” untuk melawan kesombongan Banteng.
Harus ada “revolusi pelangi” agar terbentuk mozaik dan harmoni yang indah antara Partai Bulan Sabit, Partai Koalisi Indonesia Maju dan partai lain yang mungkin untuk “kawin”, meski ada isyarat kuat, elit Parpol di Jakarta telah diborong tuan botak.
Menurut saya, hanya tangan “istana” yang dapat merajut “revolusi pelangi”. Tanpa peran “istana”, jangan bermimpi menaklukkan kekuatan Banteng di Sumenep.
Salam!
*) Penulis adalah alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.