YAKUSA.ID – Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) kembali menegaskan posisinya sebagai kekuatan moral pemuda yang kritis dan progresif. Melalui Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda (PTKP), PB HMI menyelenggarakan Simposium Kepemudaan bertajuk “Reformasi Belum Usai: Harapan, Realita, dan Tanggung Jawab Generasi Muda”, Sabtu (28/6/2025) di MNC Tower, Jakarta Pusat.
Mengangkat tema “Saatnya Pemuda Memimpin, Bukan Sekadar Mendampingi”, simposium ini menjadi ruang konsolidasi nasional bagi pemuda dalam membaca ulang arah reformasi yang dinilai telah melenceng dari cita-cita awal. Di tengah kebuntuan politik dan maraknya praktik dinasti, PB HMI mengambil sikap tegas: mendukung upaya hukum dan politik untuk menggugurkan posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI.
Abdul Hakim El, Ketua Bidang PTKP PB HMI, menyatakan bahwa pihaknya mendukung penuh langkah Forum Purnawirawan TNI yang tengah menempuh jalur konstitusional guna membatalkan keabsahan Gibran sebagai Wapres. “Kami dari PB HMI menilai keputusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia capres-cawapres yang memberi jalan bagi Gibran adalah keputusan cacat. Itu pelanggaran serius terhadap etika dan logika konstitusi,” tegasnya.
Menurut Abdul Hakim, PB HMI tidak sekadar mengkritik, tapi siap mengkonsolidasikan gerakan ini secara nasional. “Kami akan sampaikan ke seluruh cabang dan komisariat, bahwa pelanggaran konstitusi bukan hal sepele. Bila konstitusi bisa dibengkokkan, maka demokrasi telah mati sebelum waktunya,” ujarnya di hadapan peserta simposium.
Simposium ini turut menghadirkan pembicara nasional seperti Prof. Connie Rahakundini Bakrie, Angela Tanoesoedibjo, Ir. M. Zainal Fatah, Dr. Andi Yuslim Patawari, serta Ketua Umum KNPI, Putri Khairunnisa. Meskipun pembicara berasal dari latar yang beragam, keseluruhan diskusi mengerucut pada perlunya reposisi generasi muda sebagai motor utama perubahan sosial dan politik.
Dalam penutupan acara, Abdul Hakim El kembali menegaskan bahwa gerakan pemuda tak boleh hanya bersifat simbolik. “Kami bukan hanya gelisah, kami bergerak. Kami bukan hanya menonton, kami melawan. Ini bukan soal pribadi Gibran, ini soal keadilan konstitusi,” katanya.
PB HMI menilai keberadaan Gibran sebagai Wapres bukan lahir dari proses demokrasi yang wajar, melainkan akibat rekayasa hukum yang dilakukan melalui lembaga yang seharusnya netral—yakni Mahkamah Konstitusi. Mereka menyebut keputusan itu sebagai noda serius dalam sejarah hukum tata negara Indonesia.
“Bila konstitusi dilanggar di depan mata, maka pemuda yang diam berarti menyetujui pembusukan itu. Kami tidak akan tinggal diam,” pungkas Abdul Hakim El.
Simposium ini mencerminkan tekad PB HMI untuk menjadi poros moral dan intelektual dalam menegakkan kembali semangat reformasi. Saat sebagian besar kekuatan pemuda memilih diam atau kompromi, PB HMI justru menyalakan kembali obor perlawanan konstitusional. Reformasi belum usai—dan PB HMI, sekali lagi, memilih untuk berdiri di garda depan. (YAKUSA.ID-MH)