Kuasa Hukum Sri Suhartatik Komentari Pemberitaan Sorotan.co Tentang Kasus Nenek Bahriyah;  Seolah-olah Mau Menunjukkan Bahwa Alat Bukti Penyidik Hanya SPPT 2016

Kuasa Hukum Sri Suhartatik Komentari Pemberitaan Sorotan.co Tentang Kasus Nenek Bahriyah;  Seolah-olah Mau Menunjukkan Bahwa Alat Bukti Penyidik Hanya SPPT 2016.

PAMEKASAN, YAKUSA.ID Kuasa Hukum Sri Suhartatik, Sulaisi Abdurrazaq merespon adanya pemberitaan dari media sorotan.co yang berjudul ‘Kasus Nenek Bahriyah, Oknum Penyidik Polres Pamekasan Terkesan Paksa Saksi-Saksi Akui SPPT 2016’. Menurutnya, pemberitaan tersebut seolah-olah hanya mau menunjukkan bahwa alat bukti yang dimiliki oleh penyidik Polres Pamekasan hanya SPPT 2016.

Sulaisi merespon pemberitaan tersebut melalui akun TikTok pribadinya @sulaisi_abdurrazaq. Dalam video itu Sulaisi menyebutkan satu bukti dari empat alat bukti yang dimiliki oleh penyidik Polres Pamekasan.

“Saya sebutin satu dari empat alat bukti yang dimiliki oleh penyidik. Satu di antaranya, saya menduga ada keterangan menempatkan keterangan palsu di dalam akta autentik berupa sertifikat yang dimiliki oleh terlapor dalam konteks pidana dan penggugat dalam konteks perdata,” katanya dalam video yang diunggah di akun TikToknya @sulaisi_abdurrazaq yang dilihat Yakusa.id, Senin 6 Mei 2024.

“Apa itu, keterangan. Dugaan keterangan palsunya. Saya ingin tegaskan bahwa hibah itu baru diperoleh oleh ibu Bahriyah dalam usianya masih 12 tahun. Mungkin nggak? Itu nggak mungkin bro. Ya itu dilihat dari KTP. Tetapi begitu dilihat tanggal lahirnya di sertifikat, seolah-olah usianya itu bertambah 10 tahun. Jadi dari 1963 itu menjadi 1953 di sertifikat,” imbuhnya.

Menurutnya, menempatkan keterangan palsu di dalam akta autentik itu dapat menjadi temuan bagi penyidik bahwa sesungguhnya bukan hanya SPPT 2016 yang palsu dalam perkara Ibu Bahriyah.

Kemudian, lanjut Sulaisi, ketika mereka mengatakan sertifikat yang diurus itu bermula dari akta hibah. Ternyata di persidangan, begitu diminta, akta hibah itu dimana, ternyata hanya tertulis di letter C, hanya tertulis di e-peda.

“Begitu ditanya mana akta hibahnya, nggak ada akta hibahnya. Jadi saya tegaskan mereka ini tidak punya akta hibah. Itu satu. Yang kedua, mereka bilang bahwa sebelum itu jadi sertifikat, asal kepemilikannya adalah letter C 2208, yang di dalam leter itu tertulis 2208 berasal dari hibah 1371 atas nama Jatim Pak Buntu,” ujar Ketua APSI Jatim itu.

“Tetapi begitu kita minta mana itu letter C 2208, Di pengadilan kita minta, berkas leter C dibawa oleh pihak kelurahan. Ternyata nggak ada. 2208 tidak ada wujudnya,” sambungnya.

Dan di sana itu, kata Sulaisi, juga tidak disebutkan 2208 itu atas nama siapa. Di letter C asli tidak disebutkan.

“Jadi itulah keanehan-keanehan yang kok bisa confidence sekali, kok bisa pede sekali seolah-olah mereka benar lalu menyerang penyidik yang memeriksa perkara ini,” tegasnya.

Dia pun mengatakan bahwa hal tersebut harus diluruskan ke publik. Itu adalah bagian dari kelemahan-kelemahan yang mereka tutupi, sehingga dalam minggu ini mereka tidak bersuara.

“Pada saat saya sidang di pengadilan, keluar dari sana, tidak ada lagi media-media yang mem-framing seolah-olah ini pidana seolah-olah kriminalisasi gitu ya. Tapi malam ini muncul lagi dari orang yang sama. Makanya ini ada respon dari cara saya merespon. Teman-teman yang selama ini mem-framing ibu Bahriyah ini,” katanya.

“Jadi itu, perlu saya tekankan dan saya akan merespon kembali apabila ada lagi cara mem-framing untuk menyerang polres atau penyidik yang memeriksa perkara pidananya. Karena kami ingin menegaskan bahwa pidana itu harus jalan meskipun perdatanya sedang jalan. Kita tunggu saja, kita hormati penegak hukum,” tandasnya.

Pemberitaan di Sorotan.co

Dugaan kriminalisasi terhadap Nenek Bahriyah (71) atas kasus pemalsuan SPPT 2016 bernama Titik yang dilaporan Sri Suhartatik istri oknum polisi terus menjadi kemelut.

Bahkan, dugaan kriminalisasi terhadap  Nenek Bahriyah oleh oknum Polres Pamekasan semakin hari semakin menguat setelah 2 narasumber sekaligus saksi dalam kasus dugaan pemalsuan SPPT 2016 membeberkan ulah oknum Polres Pamekasan yang terkesan mengintimidasi dan tidak profesional.

Sebelumnya, simpatisan Nenek Bahriyah menggelar demo ke Mabes Polri kemudian berlanjut ke Polda Jawa Timur meminta oknum Kapolres Pamekasan, oknum Kasatreskrim, oknum Kanit Idik III beserta penyidik pembantu Satreskrim Polres Pamekasan segera dicopot.

Hal itu dilakukan dalam rangka memperjuangkan nilai- nilai kemanusiaan dan keadilan hukum agar marwah Institusi Polri tidak tercoreng oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Diketahui, sebelum kasus pidana dugaan pemalsuan SPPT tahun 2016 yang menjerat Nenek Bahriyah ditangguhkan di Polda Jatim,  Kapolres Pamekasan AKBP Dani Jazuli Iriawan terkesan ngotot bahwa penetapan tersangka sudah sesuai prosedur. Padahal faktanya, Nenek Bahriyah (71) ditersangkakan saat proses perdatanya berjalan di PN Pamekasan sejak Januari 2024.

Kini, putra Nenek Bahriyah  H. Mohammad  Fauzi bahkan Mantan Lurah Gladak Anyar Syarif Usman yang menjadi saksi dalam kasus tersebut angkat bicara ihwal adanya dugaan intimidasi oknum penyidik Polres Pamekasan dalam penetapan Nenek Bahriyah jadi tersangka dugaan pemalsuan SPPT 2016 atas nama Titik.

“Pada tanggal 7 Desember 2023 tepatnya hari Kamis pukul 09.30 wib, saya  diminta hadir ke Polres guna dilakukan pemeriksaan tambahan sebagai saksi SPPT. Masuk ke poin SPPT, oknum penyidik bernama  Alfian tanya ke saya untuk proses SHM salah satu syaratnya itu harus melampirkan SPPT terakhir, jadi dia tanya ke saya untuk punya Ibu Bahriyah itu tahun berapa. Saya jawab 2015,” katanya.

Lantas,  lanjut H. Fauzi, Alfian mengeluarkan berkas seraya mengatakan bahwa Warkah ibu Bahriyah yang disita dari kantor BPN adalah tahun 2016. “Penyidik ngotot tahun 2016. Namun saya bantah bahwa SPPT yang dilampirkan untuk pengajuan sertifikat ibu Bahriyah itu adalah 2015. Tapi Alfian bilang  2016 dan saya pastikan lagi bahwa tahun 2015,” ucap H. Fauzi saat diwawancarai.

H. Mohammad Fauzi juga menyebut untuk permohonan SHM atas nama ibunya itu di tahun 2016 awal dengan memakai SPPT tahun 2015. “Kepada Alfian saya menyatakan bahwa SPPT yang dilampirkan untuk pengajuan SHM itu tahun 2015. Lagian untuk SPPT yang tahun 2016 ibu saya belum bayar,”  ungkapnya.

Setelah selesai dimintai keterangan oleh penyidik sebelum diparaf, H. Mohammad Fauzi membaca BAP yang tidak sesuai dengan pernyataannya.

“Saya minta ke penyidiknya agar merubah jawaban saya karena tidak sesuai. Penyidiknya bilang yang mana ? untuk jawaban terkait SPPT 2015 bukan tahun 2016. Kemudian dia jawab lagi, disini 2016 dan di lainnya juga 2016 kok. Terus saya bilang, ya sudah bapak ya yang bilang dan menyakinkan di 2016. Dia jawab Ya,” tukasnya.

“Seolah olah waktu dimintai keterangan oleh Penyidik Alfian, saya ditekan dan dipaksa untuk mengakui SPPT tahun 2016,” keluhnya.

Setelah diparaf, penyidik meminta H. Mohammad Fauzi ke Dispenda menemui pak Edi dan  minta bukti SPPT tahun 2016.

“Kalau disana memang ada ya ada, terus setorkan ke saya pak. Terus saya tanya kapan pak ? Penyidiknya bilang semakin cepat semakin lebih baik,” jelas H. Mohammad Fauzi menirukan kalimat penyidik.

Kemudian, keesokan harinya, H. Mohammad Fauzi mendatangi Dispenda untuk mempertanyakan SPPT terakhir ibu Bahriyah.

“Pak Edi memastikan untuk SPPT terakhir ibu Bahriyah itu 2015, saya bilang soalnya kemarin dipanggil ke unit III ketemu pak Alfian terus punya ibu disana 2016 makanya saya kesini untuk menanyakan itu. Kalau di Penyidik tahun  2016 tanya ke BPN-nya. Pak Edi bilang begitu,” ungkapnya.

“Pada hari Senin tanggal 11 Desember 2023 saya ke Polres untuk menerangkan masalah SPPT itu. Disana saya ketemu petugasnnya dan petugasnya tanya ada keperluan apa, saya mau bilang ketemu dengan Alfian. Namun katanya libur piket kompi. Lantas saya chat Alfian minta petunjuk untuk ketemu,” tuturnya.

“Saya sampaikan lagi kepada penyidik bahwa SPPT ibu  tahun 2015 bukan 2016. Kemudian saya minta tolong untuk diperlihatkan warkahnya. Namun dia bilang tidak bisa karena ada di gudang dan pihaknya sedang libur piket,” tandasnya.

Sementara itu, mantan Lurah Gladak Anyar Syarif Usman yang menandatangani dan mengetahui proses sertifikat atas Nama Ibu Bahriyah menyebut bahkan penyidik memang terkesan ngotot.

Ia mengaku dipanggil oleh Penyidik Polres Pamekasan untuk dimintai keterangan sebagai saksi pada tangga 19 Februari 2024.

“Pada saat ditanya oleh penyidik soal SPPT yang dilampirkan pada saat proses sertifikat atas nama Bahriyah saya bilang kepada penyidik kalau proses sertifikat diawal tahun maka SPPT yang dilampirkan itu adalah SPPT tahun sebelumnya bahkan saya menyampaikan secara lisan kepada penyidik lebih dari 2 kali. Akan tetapi penyidik tetap ngotot katanya yang dipakai itu SPPT tahun 2016,” ungkapnya.

“Saya tetap menolak dan menegaskan bahwa SPPT yang dilampirkan untuk pengajuan proses sertifikat nenek Bahriyah itu tahun 2015,” tandas Syarif Usman mantan Lurah Gladak Anyar Pamekasan.

Berkenan dengan pernyataan kedua saksi yang menyebut bahwa SPPT terakhir yang dipakai Nenek Bahriyah adalah tahun 2015, Kasi Humas Polres Pamekasan AKP Sri Sugiarto menyarankan agar langsung menemui Penyidik.

“Mungkin lebih baik sampean ke Polres dan temui penyidiknya mas,” balas Kasi Humas AKP Sri Sugiarto.

(Igusty Madani )

Catatan Persidangan

  1. Penggugat mendalilkan bahwa alat bukti Hak Milik sebelum terbit sertipikat adalah Leter C 2208 yang diperoleh dari hibah dari leter C 1371. Tapi ternyata, setelah leter C asli dibawa Lurah Gladak Anyar, Penggugat tidak punya Akta Hibah dan tidak punya Leter C 2208. Leter C 2208 hanya disebutkan nomornya namun tidak ada dan tidak tercantum atas nama/milik siapa. Karena itu Penggugat tak bisa mengklaim bahwa objek itu miliknya. Adanya hanya dalam IPEDA/SPPT PBB. Sementara IPEDA/SPPT PBB bukan alat bukti hak milik.
  2. Tahun lahir Penggugat 1963 dan hibah 1975. Artinya, Penggugat menerima hibah dalam usia masih 12 tahun. Masih di bawah umur. Fakta ini bertentangan dengan nalar, karena hibah itu harus ada akad antara Pemberi dan Penerima Hibah.
  3. Asal usul objek sengketa adalah harta waris milik Jatim P. Butum. Karena itu seharusnya ditentukan dahulu siapa saja ahli waris dari Jatim P. Butum dan apa saja hartanya. Sebab, jika 100% hibah diberikan kepada satu anak, sementara Jatim P. Butum punya 16 anak, maka hibah itu pasti mengganggu bagian waris dari anak-anak lainnya. Karena itu dapat dikatakan bahwa belum jelas siapa saja ahli waris dari harta milik Jatim P. Butum sehingga untuk menentukan berapa bagian dari masing-masing ahli waris harusnya diajukan melelui Pengadilan yang berwenang. Apabila beragama Islam maka yang berwenang memeriksa dan memutus adalah Pengadilan Agama.
  4. Terdapat penempatan keterangan palsu yang mencolok selain dalam SPPT 2016, salah satunya tahun lahir Penggugat. Dalam gugatan dan KTP, Penggugat lahir 1963, tapi dalam sertipikat Penggugat dimanipulasi menjadi lebih tua, yaitu 1953. (YAKUSA.ID-02/San)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *