Oleh: Akhmad Dadang Kusnindar (Wakabid Ideologi dan Wawasan Kebangsaan DPC PA GMNI Pamekasan)
Mengingat kembali hari bersejarah bagi bangsa Indonesia ini tentang Lahirnya gagasan Philosophy Gronslach Negara Republik Indonesia pada 1 Juni 1945 yang tetap tak tergoyahkan sampai saat ini sebagai Dasar Negara Republik Indonesia walaupun dalam perjalanannya sampai saat ini selalu dipermasalahkan dan dipertentangkan. Sebagaimana sejarah Bangsa Indonesia telah mencatat, di akui maupun tidak mau di akui sejarah bangsa ini telah menjawab dan tak terbantahkan bahwa PANCASILA adalah gagasan orisinilitas Bung Karno Atau Bapak Dr. Ir. Sukarno; Bapak Proklamator Negara Republik Indonesia.
Telah tercatat dalam jejak Fakta Sejarah Bangsa ini, selama zaman pergerakan nasional masa itu, Bung Karno waktu ke waktu mulai memikirkan, merenungkan, menggagas, menulis, merumuskan sampai meluaskan pengaruh atau mengkampanyekan hasil pemikirannya tersebut. Tepatnya mulai sejak masih muda sekitar berumur 20-an tahun. tepatnya tatkala Bung Karno kuliah menjadi Mahasiswa THS (Technich Hoergerman School); Sekarang bernama ITB (Institut Teknologi Bandung). Sejalan seiring waktu itu pula kemudian pada tahun 1927 mendirikan PNI sebagai kendaraan politik untuk lebih efektif mengkampanyekan philosophy Gronslach Bangsa Indonesia yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia kepada rakyat yang terjajah agar mengerti kalau dirinya sedang dijajah dan tertindas oleh sistem Imprialisme dan Kolonialisme Belanda. yang kemudian menjadi alat Perlawanan terhadap sistem Imprialisme dan Kolonialisme Belanda yang telah lama mencengkram tanah air Nusantara ini.
Sampai pada Puncaknya di malam tanggal 31 Mei – dini hari tanggal 1 Juni 1945. Bung Karno berpidato panjang lebar Di depan Forum “BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) / Dokuritsu Junbi Cosakai”, yang dihadiri Banyak para Tokoh/pendiri bangsa ini dari berbagai latar Belakang Sosial, Politik, Agama, Suku, yang kurang lebih Ada 62 peserta forum BPUPK seperti Bung Hatta, H. Agus Salim, KH. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya. Ibarat seperti Dosen yang sedang memberikan kuliah umum selama sekitar 3 jam lamanya. Dengan gaya pidato yang khas nan unik, yang menggunakan bahasa pada zamannya. Yang dirasa mampu membimbing dan memenuhi syarat sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia Merdeka. Yang targetnya adalah Indonesia merdeka berdasarkan PANCASILA.
“… paduka tuan yang mulia meminta dasarnya Indonesia merdeka atau yang dikenal dalam bahasa jerman suatu weltanscaung (filsafat yang sedalam-dalamnya), yang kuberi nama Pancasila ….”
Penggalan kata-kata Bung Karno dalam sidang BPUPK pada 1 juni 1945, dapat menjadi bukti sejarah yang memaknakan bahwa pada tanggal tersebut Pancasila ditetapkan sebagai Dasarnya Indonesia Merdeka. Pancasila (lima dasar) merupakan keluhuran yang tertanam dalam kalbunya Bangsa Indonesia sejak ribuan tahun lamanya yang digali, dikaji dan diformulasikan menjadi dasar berpijaknya kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap kepada tujuan mulia nan luhur Bangsa Indonesia terlahir yaitu terangkatnya harkat dan martabat hidup rakyat Indonesia yakni tegaknya kedaulatan rakyat.
“Saudara-saudara, dalam hubungan ini untuk kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila, bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari ialah sekedar menformulir perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata yang saya namakan “Pancasila”. …………..”
Dari kutipan ini terlihat bahwa Sukarno menempatkan dirinya sebagai orang yang menggali nilai dan norma yang hidup sebagai tradisi masyarakat Indonesia sejak bangsa kita belum menerima pengaruh dari bangsa-bangsa lain. Dalam proses penggalian ini, Sukarno tentunya membekali diri dengan pengetahuan yang diperolehnya dari literatur yang ada dan hasil daripada pengalaman-pengalamannya.
Gagasan Pancasila 1 Juni 1945
Penting untuk dibahas apa itu yang dimaksud Pancasila menurut Bung Karno. Bahwa, Pancasila adalah Panca yakni lima dan sila yaitu dasar atau prinsip. Bung Karno menguraikan lima prinsip itu dengan menggaris bawahi prinsip yang pertama adalah prinsip Nasionalisme, prinsip yang kedua adalah internasionalisme, prinsip yang ketiga adalah permusyawaratan, prinsip yang keempat adalah keadilan sosial, dan prinsip yang kelima adalah Ketuhanan.
Mengapa prinsip Pancasila yang pertama bukan Ketuhanan tapi Nasionalisme atau kebangsaan? Bangsa ini tidak boleh melupakan sejarah, karena ketika BPUPK itu dibentuk Indonesia belum menjadi suatu bangsa yang secara real atau nyata bersatu untuk merdeka. Artinya Bung Karno menyampaikan eksistensi Indonesia dulu yang harus dikedepankan bukan ketuhanan. Logika ini yang dikedepankan terlebih dahulu. Bung Karno pun tak lepas dari inspirasi cita-cita sumpah pemuda 28 Oktober 1928 untuk menjadi bangsa Indonesia.
Membahas soal nasionalisme atau kebangsaan itu adalah konsep kebersatuan. Yang dimaksud kebersatuan itu tidak ada jumlah artinya tidak ada mayoritas atau minoritas, tidak ada bagian besar atau bagian kecil dan tersusun menjadi satu bangsa.
“……. tapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di Kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian ! ……”
Bahwa konsep kebangsaan Indonesia yang utuh bukan kebangsaan Madura, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo dan seterusnya. Artinya tidak didominasi oleh etnis, suku apapun atau siapapun.
Namun bagi Bung Karno mendirikan sebuah bangsa tidak cukup hanya berdasar pada perasaan persamaan nasib dan kehendak ingin bersatu semata. Ada variabel yang tidak terpikirkan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer yang bagi Bung Karno sangat fundamental untuk menyatakan sebuah entitas bisa disebut Bangsa. Variabel itu adalah Tanah Air. Yakni persatuan antara manusia dan tempatnya.
“Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya ….” Kata Bung Karno dalam Pidatonya. Jadi manusia dan tempatnya tidak dapat dipisahkan. Artinya tidak dapat dipisahkan antara rakyat dari bumi yang ada dibawah kakinya. Peranan tanah air, tempat berpijak bagi suatu bangsa merupakan variabel yang sangat sentral dalam pemikiran Bung Karno. Beliau menegaskan berulang kali dalam Pidatonya pada 1 Juni 1945 di Forum BPUPK Bahwa keberadaan tanah air itu sendiri bersifat alamiah adanya, bukan bikinan dan rekayasa manusia, atau disebut “Mother Land” (Tanah Ibu), atau “Patobin” (Istilah bahasa madura). Yang kemudian oleh Bangsa ini lebih dikenal dengan istilah bahasa populer “Ibu Pertiwi”.
Peranan tanah air disini bukan semata-mata sebagai syarat formal adanya sebuah bangsa. Namun, ia terkait dengan keberadaan eksistensial sebuah entitas yang disebut sebagai Bangsa.
Selanjutnya prinsip yang kedua adalah internasionalisme atau perikemanusiaan. Bung Karno mengatakan dalam penggalan pidatonya:
“…… Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip satu dan prinsip dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lainnya.”
Dengan demikian Bung Karno menegaskan bahwa Nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan bukan chauvinisme. Ini sebabnya Bung Karno menyampaikan dengan gamblang dan sejelas-jelasnya, karena paham nasionalisme ada bahayanya, bisa meruncing ke paham chauvinisme, yang memiliki pengertian suatu kesadaran kebangsaan yang menggiring bangsa itu untuk mengalahkan atau menindas bangsa-bangsa yang lain. Seperti contoh Jepang, dan bangsa-bangsa eropa lainnya. Misalkan jepang pada PD II yang mendeklarasikan sebagai saudara tua dari semua bangsa yang ada di Asia. Dan itu tidak bagus bagi fundamental bangsa Indonesia. Karena kata Bung Karno tidak baik suatu bangsa memiliki sikap atau paham kebangsaan yang berlebih-lebihan, yang kemudian bisa berpotensi merendahkan bangsa lain.
Namun internasionalisme yang dimaksud bukan berkonotasi Globalisasi yang ada pada zaman sekarang ini. Yang dimaksud dalam pemikiran Bung Karno lebih menunjukkan kepada prinsip solidaritas atau prinsip kemanusiaan. Bahwa bangsa-bangsa yang ada di dunia ini adalah sama dalam pandangan dan sikap Bangsa Indonesia karena Indonesia berada pada ranah kemanusiaan.
Berikutnya adalah prinsip yang ketiga yaitu permusyawaratan atau mufakat. Bung Karno dalam literaturnya menggunakan filsafat modern yang menyebutkan bahwa yang disebut kekuasaan itu adalah berasal dari rakyat, artinya konsep permusyawaratan itu menghindarkan bangsa Indonesia dari suatu pemerintahan otoriter atau pemerintahan oligarki. Tentunya Bung Karno menggunakan terminologi permusyawaratan adalah corak karakter daripada bangsa Indonesia, dimana bangsa Indonesia ini memiliki suatu gambaran komunitas yang menampilkan jalan rembukan, diskusi, dan setiap anggota mengambil bagian dari dalamnya dan seterusnya.
Prinsip yang keempat adalah keadilan sosial dan atau kesejahteraan. Yang dimaksud Bung Karno mengenai Prinsip ini adalah suatu perjalanan bangsa Indonesia yang hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan keadilan sosial atau Kesejahteraan. Dalam hal ini pemikiran-pemikiran Bung Karno memang banyak dipengaruhi literatur-literatur para filsuf Anglo-Saxon tentang Filsafat Analitik seperti John Locke, ada juga Jean Jaques Rousseu dari Prancis dan seterusnya. Dimana Bung Karno mendeskripsikan atau menggambarkan Negara Commonwealth atau Negara yang makmur, ada kesejahteraan bersama, ada keadilan sosial. Bung Karno telah mengatakan poin penting yang mendasar dalam Pidatonya itu. Meskipun Indonesia pada masa itu belum menjadi Negara, artinya belum memiliki hak otoritas apapun untuk mengatur pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam), Tata ekonomi, perdagangan.
Namun konsep-konsep yang terkait dengan prinsip keadilan sosial itu tidak menjadi tuntas apabila tidak bergandengan erat dengan kearifan gotong royong yang bercorak karakter ke-Indonesia-an. Bung Karno menyatakan pada pidatonya waktu itu, pentingnya kearifan gotong royong. Bagaimana suatu kesejahteraan bersama itu dijamin yaitu bahwa satu sama lainnya memiliki solidaritas yang sangat tinggi pada sesama yang menderita. Oleh karena itu, yang seperti Kita ketahui bersama dalam perjalanan sejarah pasca Indonesia merdeka, bahwa prinsip keadilan sosial ini menjadi tema yang sangat penting bagi Bung Karno dan bahkan sampai saat ini.
Prinsip nomor lima adalah Ketuhanan. Kata Bung Karno dalam Pidatonya, bahwa “Negara Indonesia merdeka itu harus di terangi oleh suatu kepercayaan Kepada Tuhan”. Namun pertanyaannya yang banyak masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam penasaran adalah: Mengapa Ketuhanan menjadi yang terakhir, dalam kerangka pemikiran Bung Karno? Yang dimaksud pemikiran Bung Karno, didalam susunan Pancasila itu tidak boleh menyimpulkan yang nomor satu itu yang lebih penting, yang nomor dua itu yang lebih penting, nomor ketiga yang paling penting, atau nomor empat paling penting, sementara yang nomor lima dianggap tidak penting. Alasan logisnya, Bung Karno menjelaskan tentang isi, tentang konsep Ketuhanan yang bukan dalam arti induknya, bukan juga dalam arti terkait dengan agama. Tetapi indahnya Ketuhanan di sini merujuk kepada relasi bangsa Indonesia, menampilkan religiusitas yang berkebudayaan. Yang memberikan pemahaman dalam bahasa saat ini, kalau kita adalah seorang Islam, atau Kristen, atau Hindu, atau Buddha, atau Konghucu, tentunya kita tetap bangsa Indonesia bukan menjadi secara kultur-kebudayaan orang yang bukan Indonesia. Contoh misalkan kita beragama Islam bukan berarti ber-kebudayaan Timur Tengah atau Arab, Misal kita beragama Hindu tidak harus menjadi seperti kebudayaan India. Melainkan kita harus tetap setia kepada kultur-kebudayaan Indonesia dan Kita adalah orang Indonesia yang menyembah Tuhan sebagai iman dalam hidup kita, yang mencerminkan “Nation and Character Building” ke-Indonesia-an.
Dalam kesimpulan Bung Karno terus menekankan saling kecocokan antara kelima prinsip Pancasila dan kesamaan kepenuhannya dengan semangat masyarakat Indonesia. Dua prinsip yang pertama dan kedua, nasionalisme dan internasionalisme, menurut Bung Karno, dapat diperas menjadi satu prinsip tunggal yaitu Sosio-Nasionalisme. Demikian juga, lanjutnya dua prinsip berikutnya permusyawaratan dan keadilan sosial dapat diperas menjadi satu prinsip yaitu Sosio-Demokrasi. Yang kemudian menjadi tiga prinsip saja yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan.
Namun Kemudian Bung Karno masih menyimpulkan ketiga prinsip tersebut masih dapat diperas lagi menjadi satu prinsip khas – corak karakter Indonesia yaitu, “Gotong Royong”. …… “Jadi Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong. Alangkah benar hebatnya, Negara gotong royong !” Kata Bung Karno.
Pancasila Dalam Pemikiran Bung Karno
Sejak mahasiswa, Bung Karno berpikir keras, menggagas, menulis, merumuskan untuk bagaimana Bangsa yang sangat beliau cintai ini, memiliki sebuah sandaran Ideologi atau Dasar Negara. Upaya Bung Karno mengkaji Pancasila memang sangat intens dan tekun mampu menyelami dan menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan segala kemajemukannya untuk kemudian mempersatukannya sebagai Sebuah Bangsa. Sampai pada tatkala Putra “sang fajar” itu dibuang ke Ende, Flores, NTT oleh penguasa Kolonialisme Belanda pada tahun 1933. Begitu banyak permenungan dan menemukan inspirasi tentang konsepsi Pancasila. Dan juga Bung Karno tidak terlepas dari kontribusi pemikiran dua Pastur asal kebangsaan Belanda, dalam menggagas Pancasila waktu di endeh, Flores waktu itu, Yaitu Pater Gerardus Huijtink dan Pater Johanes Bouma, yang seringkali terlibat dalam diskusi intelektual bersamanya.
Pengakuan atas kebenaran pemikiran Bung Karno datang dari berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya dalam negeri tetapi juga dari luar Negeri. Bahkan Pengakuan tersebut juga dari sejumlah tokoh Internasional yang cukup disegani. Beliau memberikan pernyataan seperti ini, “Saya belum sebesar Presiden Pertama Indonesia, Sukarno. Pencapaian Saya belum bisa disejajarkan dengan Presiden Sukarno. Keberhasilannya mentari Indonesia yang terdiri dari atas berbagai Suku bangsa dan mencakup wilayah yang sangat luas itu tidak bisa dibandingkan dengan saya yang hanya memimpin negara yang baik penduduk maupun luasnya hanya sepersepuluh Indonesia.” Merupakan pernyataan rendah hati dari Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang di sampaikan wawancara yang dilakukan oleh sebuah stasiun telivisi (Kompas, 23 Maret 2003), Dan sekaligus merupakan pengakuan tulus atas kebesaran Bung Karno. Dari pernyataan tersebut, terbaca bahwa Mahathir menangkap dengan baik kemampuan Bung Karno yang telah mengantarkannya untuk melahirkan pikiran-pikiran fundamental berupa konsepsi yang cerdas bagi Bangsa Indonesia Dan umat manusia.
Bung Karno adalah seorang visioner yang mampu melihat dan memberikan pandangan ke depan yang jauh melampaui zamannya, sehingga dengan demikian mampu memberikan bimbingan dan acuan perjuangan bagi bangsa Indonesia Serta umat manusia dalam membangun peradaban dan kesejahteraan hidupnya. Berkat kemampuan visioner-nyalah Bung Karno juga dapat julukan sebagai seorang HISTORIS Telescopic.
Demikian sedikit uraian tentang Pancasila 1 Juni 1945 ini. Mari hidup berbangsa dengan waras !
Salam Pancasila !!!