JAKARTA, YAKUSA.ID – Ketua Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) Romadhon Jasn, menanggapi revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) yang memberikan kewenangan kepada parlemen untuk mengevaluasi pejabat negara hasil fit and proper test, termasuk Kapolri.
Romadhon menilai bahwa perubahan ini memang memicu perdebatan, tetapi tetap harus dipahami dalam konteks sistem pemerintahan yang berlaku.
Menurut Romadhon, revisi Tatib DPR ini hanya sebatas dorongan dan rekomendasi kepada Presiden, bukan kewenangan mutlak untuk memberhentikan pejabat negara.
“Ini memang menjadi polemik karena menyangkut posisi pejabat negara, tetapi pada akhirnya tetap kembali ke hak prerogatif Presiden. DPR hanya bisa memberi desakan atau rekomendasi, tidak bisa mengambil keputusan akhir,” ujar Ketua JAN, Romadhon Jasn, Jumat (7/2/2025).
Polri Tetap Berada di Bawah Presiden
Polri sendiri telah memberikan tanggapan terkait revisi Tatib ini. Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Bahwasanya, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Bapak Presiden,” ujar Trunoyudo di Mabes Polri, Jakarta Selatan. Ia menegaskan bahwa Polri tetap berfokus pada tugas utamanya, yaitu pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum, serta tidak terpengaruh oleh revisi Tatib tersebut.
JAN: Revisi Tatib Lebih Bersifat Rekomendasi ke Presiden
Romadhon menilai bahwa perubahan Tatib ini lebih mengarah pada upaya DPR untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam mengevaluasi kinerja pejabat negara. Namun, hal ini tidak serta-merta membuat parlemen memiliki kewenangan langsung dalam memberhentikan Kapolri atau pejabat lainnya.
“Dalam sistem ketatanegaraan kita, keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden. DPR bisa memberikan masukan, tetapi tidak memiliki kewenangan eksekutif untuk mencopot pejabat negara,” jelas Romadhon.
Ia juga menambahkan bahwa perubahan Tatib ini harus dipahami dengan baik oleh masyarakat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Ini bukan berarti DPR bisa langsung mengganti Kapolri atau pejabat lain. Mereka hanya bisa meminta Presiden mengevaluasi, dan keputusan tetap berada di tangan kepala negara,” lanjutnya.
Romadhon menegaskan bahwa setiap evaluasi terhadap pejabat negara, termasuk Kapolri, harus didasarkan pada kinerja dan kepentingan nasional, bukan kepentingan politik sesaat.
“Kami mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, tetapi evaluasi terhadap pejabat harus objektif dan berbasis pada kinerja, bukan karena tekanan politik,” ujar Romadhon.
Menurutnya, revisi Tatib DPR ini bisa menjadi mekanisme kontrol yang baik, asalkan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.
“Kita harus tetap mengawal agar perubahan ini tidak dipolitisasi dan benar-benar digunakan untuk kepentingan bangsa,” pungkasnya.
Dengan demikian, Romadhon berharap agar revisi Tatib ini dipahami sebagai langkah demokratis yang tetap menghormati sistem pemerintahan yang berlaku.
Keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden, dan evaluasi terhadap pejabat harus dilakukan secara objektif demi kepentingan negara. (YAKUSA.ID-MH)