JAN Kritik Pelibatan TNI di Kejaksaan: Langkah Keliru yang Nodai Demokrasi

YAKUSA.ID Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) kritisi terhadap keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyeret Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengamankan kantor kejaksaan, mengabaikan peran Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

“Ini langkah keliru yang mencoreng demokrasi!” tegas Koordinator JAN, Romadhon JASN, dalam siaran persnya, Sabtu (17/5/2025).

Kejagung, kata Romadhon, berdalih bahwa status mereka sebagai objek vital nasional membenarkan pelibatan TNI, merujuk UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI Pasal 7 ayat (2) dan MoU dengan TNI. Namun, JAN menuding dalih ini rapuh.

“Mana Keppres yang menetapkan Kejagung sebagai objek vital? Mana bukti ancaman yang cuma bisa ditangani TNI?,” tanya Romadhon.

Ia menegaskan, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri jelas menempatkan pengamanan sipil di tangan polisi, bukan tentara.

“Logika apa ini? Kejaksaan adalah benteng hukum, tapi pintunya dijaga prajurit bersenjata, bukan polisi!,” katanya menyindir.

Menurut JAN, langkah ini bukan soal pengamanan, melainkan pertanda militerisasi yang mengkhianati reformasi 1998.

“Kita susah payah tolak dwifungsi ABRI, sekarang TNI diseret lagi ke ranah sipil. Ini pengkhianatan!,” tegasnya.

Fakta di lapangan, lanjut JAN, semakin memperlemah klaim Kejagung. Berdasarkan Surat KSAD ST/1192/2025, TNI mengerahkan 30 personel di Kejati dan 10 di Kejari sejak 1 Mei 2025. Namun, ancaman spesifik yang memicu langkah ini tak pernah diungkap.

“Isu penguntitan Jampidsus oleh Polri cuma alasan tidak ada bukti. Harusnya diselesaikan dengan investigasi, bukan panggil tentara!,” katanya.

Lebih jauh, JAN menyoroti pelecehan terhadap Polri. “Kalau Polri dianggap tak becus, benahi dong! Jangan lempar tugas ke TNI!,” tegas Romadhon.

Ia menyebut Polri punya Brimob dan Gegana yang terlatih, tapi justru dilangkahi. “Ini bukan cuma rendahkan Polri, tapi bikin rakyat tak percaya pada penegak hukum,” imbuhnya.

Pelibatan TNI, menurut JAN, juga cacat prosedur. Pasal 7 ayat (3) UU TNI mensyaratkan persetujuan presiden untuk tugas seperti ini, tetapi Kejagung bungkam soal itu.

“Mana transparansinya? MoU TNI-Kejagung juga disembunyikan. Ini arogansi kekuasaan!,” tegasnya, menuding Kejagung gagal paham supremasi sipil.

JAN menuntut Kejagung segera cabut pelibatan TNI dan kembalikan tugas pengamanan ke Polri. “Buka MoU itu, jelaskan prosedurnya!,” katanya.

Mereka juga mendesak pemerintah klarifikasi persetujuan presiden agar publik tak curiga. “Hukum harus suci, tak boleh dikawal laras senapan,” tegas Romadhon.

Tak berhenti di situ, JAN mengajak masyarakat sipil mengawal isu ini. “Demokrasi bukan cuma slogan, tapi perjuangan. Kalau kita diam, nanti akan kebablasan!,” katanya.

Mereka berjanji terus mengawasi agar keadilan tak ternodai bayang-bayang militer.

“Rakyat menunggu Kejagung sadar: hukum dijaga polisi, bukan tentara. Jangan biarkan demokrasi kita dikubur dalih pengamanan!,” tutup Romadhon. (YAKUSA.ID-HS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *