Oleh: Muhammad Zeinny S.E, M.B.A. (Dekan Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Teknologi Nusantara)
Fenomena demokrasi ugal- ugalan yang dilatarbelakangi kasus-kasus di Indonesia semakin mencolok saat ini, dimana kasus-kasus terkadang melibatkan Undang-Undang (UU) Pilkada dan praktik politik dinasti, tumbuh subur di tengah permasalahan lain seperti kontroversi di Mahkamah Agung. Mahkamah (Mahkamah Agung), Mahkamah Konstitusi (MK),
Pembahasan UU Pilkada yang Sembrono
Pengesahan UU Pilkada yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan adalah salah satu wajah demokrasi yang sembrono. Undang-undang yang mengatur tata cara pemilihan kepala daerah ini dinilai mengabaikan prinsip dasar demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi masyarakat yang adil. Teori demokrasi deliberatif diperkenalkan oleh Jürgen. Dalam hal ini, pengesahan UU Pilkada yang ditengarai kurang partisipasi masyarakat dan terburu-buru menunjukkan asas musyawarah untuk mufakat belum sepenuhnya dilaksanakan.
Politik Dinasti: Ancaman terhadap Keadilan Demokratis
Praktik politik dinasti—di mana kekuasaan politik dikuasai oleh keluarga atau kelompok tertentu—juga tidak bisa diterima. Dinasti politik mengabaikan prinsip kampanye yang sehat dan adil. Robert Dahl dalam “On Democracy” menekankan pentingnya persaingan politik yang sehat dalam menerjemahkan bahwa semua suara menyelesaikan permasalahan dalam sistem demokrasi. Namun, dominasi politik oleh keluarga tertentu sering kali gagal memberikan peluang seluas-luasnya bagi calon penyandang dana politik
Kekacauan Check and Balance
Sulitnya demokrasi di Indonesia ditunjukkan dengan kontroversi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang dari waktu ke waktu terkesan lebih didorong oleh kepentingan politik dibandingkan tujuan hukum, juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Sementara itu, DPR dalam menjalankan fungsi perwakilannya kerap mendapat kritik karena proses legislasinya tidak transparan dan tidak konsisten dalam mendorong produknya sehingga mencerminkan buruknya check and balances. Alexis de Tocqueville dalam “Democracy in America” menekankan perlunya mekanisme checks and balances untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah otoritas. Ketika mekanisme ini tidak berjalan efektif, legitimasi
Praktik-praktik tersebut berdampak negatif terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Memang benar, teori “democratic deficit” yang dikembangkan oleh berbagai ilmuwan politik menunjukkan bahwa ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat melemahkan legitimasi demokrasi. Jika keputusan politik diambil tanpa keterlibatan masyarakat secara adil atau diambil pada masa dominasi politik oleh dinasti dan kelompok tertentu, masyarakat cenderung merasa semakin terasing dan skeptis terhadap bagaimana Berjalannya negara.