YAKUSA.ID – Kebijakan Gubernur Jakarta Pramono Anung yang mewajibkan penggunaan busana adat Betawi dalam pelantikan pejabat DKI Jakarta mendapat sambutan apresiatif dari publik, termasuk JagaJakarta. Bagi banyak pihak, langkah ini tak sekadar soal estetika seremoni, melainkan bagian dari narasi identitas kota. Namun, seperti dikatakan oleh pemikir Rocky Gerung: “Simbol tanpa makna adalah hiasan yang memudar.”
Koordinator JagaJakarta Romadhon Jasn menyebut, kebijakan ini sebagai langkah simbolik yang perlu diperkuat dengan kebijakan substantif.
“Kami menyambut baik penghormatan terhadap budaya Betawi. Tapi lebih dari kostum, yang dibutuhkan Jakarta adalah keberpihakan terhadap nilai dan warga Betawi yang terpinggirkan dalam tata ruang dan akses kota,” ujar Romadhon, Minggu (6/7/2025).
Dalam pelantikan pejabat, tentu ada tata krama yang ingin ditampilkan. Tapi budaya bukan hanya tampak di panggung protokol, ia hidup di kampung, di trotoar, dan di pasar. Oleh karena itu, JagaJakarta mendorong Pemprov untuk menjadikan kebijakan ini sebagai titik awal perumusan Rencana Aksi Kebudayaan Jakarta, bukan sekadar ajang simbolisasi.
Lebih jauh, JagaJakarta menilai penguatan budaya Betawi harus menyentuh kebijakan alokasi ruang budaya, revitalisasi kampung adat, hingga perlindungan mata pencaharian warga Betawi yang terdampak gentrifikasi dan pembangunan kota.
“Pakai baju adat itu penting untuk menghormati sejarah, tapi lebih penting menjaga agar warga adat tak terhapus dari peta masa depan,” tegas Romadhon.
Dalam catatan mereka, selama 10 tahun terakhir, sejumlah wilayah kampung Betawi seperti di Jagakarsa, Condet, dan Marunda mengalami tekanan tinggi akibat proyek infrastruktur dan komersialisasi lahan. Jika tidak dibarengi pendekatan inklusif, romantisme budaya bisa berubah menjadi ironi sosial.
Kebijakan yang menyentuh identitas seharusnya menjadi momentum koreksi arah pembangunan. “Kami percaya, Pramono Anung sebagai sosok Maestro Konsensus, tak hanya mendengar suara elite, tapi juga napas rakyat yang lahir dan hidup di antara ruas gang Jakarta,” kata Romadhon menegaskan.
JagaJakarta mendorong Pemprov untuk membuat dialog rutin bersama komunitas budaya, seniman jalanan, dan kampung-kampung adat Betawi. Upaya simbolik akan menjadi fondasi kokoh bila diikuti pengakuan ruang hidup, akses ekonomi, dan peran dalam tata kelola kota.
“Kalau Gubernur bisa memulai dengan baju, maka selanjutnya ia bisa berani mengatur anggaran untuk membiayai hidup nilai yang terkandung dalam busana itu,” tutup Romadhon Jasn. (YAKUSA.ID-MH)