Disinformasi Greenpeace Soal Pulau Gag: Fitnah Lingkungan atau Agenda Terselubung?

YAKUSA.ID Pemerintah telah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua Barat Daya, setelah evaluasi bersama antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Namun, PT Gag Nikel tetap diperbolehkan beroperasi karena memenuhi seluruh prasyarat legal, termasuk dokumen AMDAL dan izin pinjam pakai kawasan hutan. Langkah ini menandai komitmen negara untuk menjaga keseimbangan antara investasi dan konservasi.

Meski demikian, publik dikejutkan oleh beredarnya laporan Greenpeace yang menampilkan visual laut keruh di sekitar Pulau Gag dan menuduh adanya pelanggaran lingkungan.

Setelah ditelusuri, sejumlah foto dan video tersebut tidak mencerminkan kondisi aktual dan menimbulkan kegaduhan di ruang publik. Pemerintah menilai penyebaran informasi visual yang tidak akurat berpotensi menyesatkan opini masyarakat.

“Visualisasi yang digunakan dalam kampanye Greenpeace perlu diklarifikasi. Jika terbukti tidak sesuai fakta lapangan, maka ini bukan sekadar kekeliruan, melainkan bentuk disinformasi yang berbahaya,” kata Direktur Gagas Nusantara Romadhon Jasn, Rabu (11/6/2025).

Ia menekankan bahwa publik berhak mendapatkan informasi yang proporsional dan berbasis bukti, bukan asumsi visual yang bias.

Kementerian ESDM telah menyampaikan bahwa evaluasi menyeluruh atas seluruh izin tambang dilakukan secara transparan dan ilmiah. Dari lima IUP di wilayah Raja Ampat, hanya PT Gag Nikel yang lolos verifikasi administratif dan teknis.

“Perusahaan ini sudah mengantongi AMDAL sejak 2014 dan baru membuka 130 hektare dari total konsesi 13.000 hektare,” ujar Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian ESDM.

Romadhon menilai, framing visual yang dipublikasikan tanpa konteks dapat merusak reputasi negara dan menimbulkan keraguan terhadap legitimasi kebijakan nasional.

“Jika benar manipulatif, maka sudah masuk ranah pencemaran nama baik institusi negara dan perlu diproses secara hukum,” ungkapnya.

Pemerintah daerah melalui Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, juga telah menyatakan bahwa laut di sekitar Pulau Gag tidak mengalami pencemaran.

Fenomena warna cokelat yang muncul di foto viral disebut akibat gelombang pasang dan aktivitas alami, bukan dampak tambang. Hal ini diperkuat hasil inspeksi KLHK dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam.

Romadhon mendesak agar pemerintah membentuk tim independen untuk mengaudit kebenaran data visual yang beredar dan menelusuri motif aktor internasional dalam menyebarkan kampanye lingkungan yang diduga bias.

“Jangan sampai isu lingkungan dijadikan alat adu domba dan tekanan politik terhadap kedaulatan negara,” ujarnya.

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 28 ayat (1) mengatur larangan menyebarkan informasi bohong yang menimbulkan kerugian publik.

Jika terbukti ada unsur kesengajaan menyebar disinformasi oleh lembaga asing, maka pemerintah dapat menempuh jalur diplomatik atau bahkan membatasi operasional lembaga tersebut di Indonesia.

Romadhon menambahkan bahwa kampanye yang tidak akurat bukan hanya merugikan investasi nasional, tetapi juga dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat lokal yang bergantung pada aktivitas ekonomi resmi.

“Kami akan mengkaji kemungkinan laporan hukum ke pihak berwenang bila ditemukan indikasi kuat pelanggaran oleh lembaga asing,” pungkasnya.

Gagas Nusantara mendorong pemerintah untuk tidak ragu mengambil sikap tegas terhadap bentuk intervensi naratif yang tidak berdasar. Indonesia berhak membela integritas kebijakan lingkungannya sendiri dengan pendekatan ilmiah, transparan, dan berdaulat di atas tekanan luar negeri. (YAKUSA.ID/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *