Iqra’ Sosial: Membaca Masyarakat Sebelum Berdakwah

(YKS/IST) HADRATUS SYAIKH ZAINI MUN’IM: Pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Oleh: Moh. Cholid Baidaie

Pagi itu saya membuka Facebook, sebuah aktivitas yang sebenarnya tidak rutin. Biasanya hanya untuk melihat beranda sebentar atau mengunggah tulisan. Tapi hari itu, sebuah repost dari akun bernama Muhammad Shidiq menarik perhatian saya: kutipan Hadratus Syaikh Zaini Mun’im, pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid.

“Bila kelak kalian pulang ke masyarakat, baik ke kampung halaman sendiri atau ke tempat lain, sebaiknya kalian diam dulu tanpa aktivitas apa-apa selama sekurang-kurangnya satu tahun dan selama itu pula banyak-banyaklah minum kopinya tetangga.”

Saya membaca kutipan itu dua kali. Bukan karena asing, justru karena akrab. Tapi dalam keakraban itu ada sesuatu yang terasa belum benar-benar saya pahami, sampai hari ini.

Apa makna diam selama setahun? Mengapa kopi tetangga disebutkan secara khusus? Dan mengapa nasihat ini terasa begitu sunyi, tidak heroik seperti retorika gerakan atau narasi perjuangan?

Banyak orang, terutama mereka yang baru lulus dari pesantren atau kampus dakwah, membawa semangat besar ketika pulang ke masyarakat. Ada yang langsung membuat majelis, ada yang memulai forum kajian, ada pula yang sibuk menegakkan “amar makruf nahi mungkar” dalam waktu seminggu. Saya tidak ingin menyalahkan. Tapi saya juga tahu, bahwa niat baik saja tidak cukup.

Di banyak desa, ada kenangan tentang orang muda yang datang dengan ide besar, tapi pulang dengan kecewa. Karena masyarakat bukan ruang kosong yang siap diisi gagasan. Ia penuh sejarah, nilai, dan kepercayaan yang telah lama tumbuh. Tidak semua bisa disentuh dengan logika. Banyak hal di desa yang hanya bisa dipahami jika seseorang cukup lama duduk bersama, mendengarkan, dan tidak tergesa-gesa mengoreksi.

Barangkali ini yang dimaksud dawuh “diam dan minum kopi”. Sebuah proses menundukkan ego. Proses mengakrabi laku hidup masyarakat tanpa langsung mengintervensi. Sebuah iqra’ dalam arti yang lebih luas: membaca dengan hati, bukan dengan prasangka.

Kata “iqra’” dalam tradisi Islam sering dikaitkan dengan awal wahyu. Tapi membaca bukan hanya soal kitab. Masyarakat pun bisa menjadi mushaf, jika kita mau membacanya perlahan. Ada nilai-nilai di pasar, di langgar, di ruang tamu rumah kiai kampung. Ada filsafat hidup yang tidak ditulis tapi dituturkan sambil menyeduh kopi, antara pukul delapan pagi hingga matahari sepenggalah.

Membaca masyarakat berarti mendengarkan sebelum menilai. Menyimak sebelum menyampaikan. Mengamati sebelum menasihati.

Saya pernah mencoba mempertanyakan kebiasaan kakek dan nenek saya membakar dupa di depan rumah saat malam Jumat, dengan dalih itu bukan ajaran Islam. Saya lupa bahwa dalam masyarakat itu, dupa bukan semata ritual. Ia bagian dari sistem penghormatan kepada leluhur. Butuh waktu untuk memahami itu. Butuh ruang keakraban sebelum menegur.

Dakwah tanpa membaca sering kali justru menyakiti.

Dalam salah satu catatan Paulo Freire, pendidik dari Brasil yang dikenal karena pemikirannya soal “kesadaran kritis”, disebutkan bahwa orang-orang yang ingin mengubah masyarakat harus terlebih dahulu menjadi bagian dari masyarakat itu. Harus “berdiam” bukan sekadar hadir, tetapi hadir dengan hati terbuka. Dakwah pun mestinya demikian.

Bukan langsung mengubah, tapi mengakrabi. Bukan datang sebagai penceramah, tapi sebagai pendengar yang sabar.

Minum kopi tetangga adalah simbol dari keakraban yang tidak dipaksa. Sebuah laku sunyi yang sangat Madura dan sangat pesantren. Ketika seseorang diundang duduk di teras, disuguhi kopi, lalu mendengarkan kisah tentang sawah yang gagal panen, anak yang tidak mau sekolah, atau tetangga yang sakit tapi tidak punya biaya. Dari situ seorang dai, santri, atau siapa pun yang ingin bergerak untuk umat bisa memulai. Bukan dari kitab, tapi dari cerita-cerita kecil yang hidup di rumah-rumah rakyat.

Sebagian orang mungkin menganggap ini lambat. Tapi sebenarnya, ini sangat cepat. Sebab memahami manusia tidak bisa diburu-buru. Dan tak ada perubahan yang bisa bertahan lama jika tidak tumbuh dari kepercayaan.

Saya menulis ini bukan sebagai pengingat untuk orang lain, tapi lebih kepada diri sendiri. Karena saya pun pernah merasa tergesa-gesa. Merasa tahu apa yang dibutuhkan masyarakat, padahal yang saya tahu hanya permukaannya saja.

Kata seorang teman, dunia ini bukan hanya membutuhkan orang pintar. Tapi orang yang tahu kapan waktunya bicara, dan kapan waktunya diam.

Dakwah, dalam pengertian yang paling mendalam, adalah tentang mendekatkan orang kepada kebaikan—dengan cara yang tidak membuat mereka merasa disalahkan. Maka barangkali, sebelum berdakwah, kita memang harus belajar mendengarkan. Dan sebelum mengajak orang minum kopi kita, kita harus belajar dulu minum kopi mereka.

Malam ini saya membayangkan kembali wajah Hadratus Syaikh Zaini Mun’im. Dalam bayangan saya, beliau bukan sedang berceramah. Tapi duduk di serambi masjid, menatap santrinya yang akan pulang ke kampung masing-masing. Dan dawuhnya tentang diam dan kopi bukan ajakan untuk pasif, tapi bekal agar tidak tergesa, agar tidak menyakiti, agar tidak gagal memahami.

Karena hidup bersama masyarakat adalah laku panjang. Dan laku panjang, selalu dimulai dengan duduk, diam, dan mendengarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *