YAKUSA.ID – Pemerintah mengklaim keberhasilan monumental: stok beras nasional menembus 4,15 juta ton, angka tertinggi sepanjang sejarah sejak Perum Bulog berdiri. Di balik pujian dan simbol swasembada, harga beras justru tak bergeming.
Di beberapa wilayah Indonesia Timur, harga beras medium bahkan melampaui Rp19.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Kalau stoknya besar, tapi harga tidak turun, ada yang salah dalam distribusinya,” ujar Direktur Gagas Nusantara Romadhon Jasn, Kamis (3/7/2025).
Masalah distribusi ini bukan hal baru. Sejak awal 2023, sejumlah laporan menunjukkan kerusakan stok beras akibat penumpukan di gudang.
Tahun ini, dugaan 300 ribu ton beras yang mengalami degradasi mutu kembali mencuat.
Bulog membantah, namun media, DPR, dan publik bertanya-tanya: apakah angka stok itu sungguh mencerminkan keberhasilan atau hanya ilusi?
Sorotan pertama mengarah ke Kementerian Pertanian. Lembaga ini bertanggung jawab langsung atas data produksi dan kualitas gabah di tingkat petani. Namun, data dari salah satu media menunjukkan produksi beras secara nasional tak mengalami kenaikan signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Di sisi lain, Kementan tetap mendorong Bulog untuk menyerap gabah besar-besaran, tanpa memilah mutu secara ketat. Akibatnya, gudang Bulog tak hanya penuh, tapi juga menampung risiko.
Di tengah lonjakan serapan gabah yang mencapai 1,46 juta ton, infrastruktur penyimpanan belum siap mengikuti. Bulog bahkan harus menyewa gudang swasta dengan biaya lebih dari Rp200 miliar per tahun.
Ironisnya, program bantuan sosial dan operasi pasar justru berjalan lamban. Data resmi menunjukkan hanya sekitar 15% dari stok tersalurkan dalam enam bulan terakhir. Sisanya, menumpuk dan terancam rusak.
Badan Pangan Nasional (Bapanas), sebagai otoritas koordinasi pangan, juga kena semprit. Sejumlah kebijakan distribusi dinilai reaktif, tak berbasis peta harga dan kebutuhan wilayah.
“Ada tumpang tindih tugas. Koordinasi antar lembaga masih sangat lemah,” kata anggota Komisi IV DPR dalam rapat dengar pendapat di Senayan.
Sementara itu, harga di pasar terus naik. Rata-rata harga beras medium nasional berada di kisaran Rp13.800 per kilogram, naik hampir 10% dibanding bulan lalu. Kenaikan ini terjadi meski cadangan beras pemerintah mencapai rekor. Publik pun mulai menyuarakan kecurigaan: apakah surplus ini nyata memberi manfaat atau hanya angka untuk menenangkan pasar?
Romadhon Jasn menilai, akar persoalan ada pada mentalitas kebijakan yang hanya mengejar volume tanpa efisiensi.
“Kita terjebak pada logika serapan, bukan penyaluran. Akibatnya, petani tidak untung, konsumen tetap terbebani, dan Bulog tekor,” ujarnya.
Ia menyarankan evaluasi total penyerapan gabah dan penataan ulang jalur distribusi agar lebih adaptif dan cepat menyentuh pasar.
Yang paling dirugikan dari paradoks ini adalah rakyat kecil. Di banyak daerah, warga harus membeli beras dengan harga jauh di atas kemampuan mereka, sementara negara menumpuk beras di gudang. Stok besar tanpa distribusi hanya akan menjadi beban logistik dan politik.
Ketahanan pangan sejatinya bukan soal angka, melainkan soal akses dan keberlanjutan. Jika tak segera dibenahi, kebijakan ini tak hanya menciptakan kerugian fiskal, tapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pangan nasional. (YAKUSA.ID-MH)